ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abu Hatim al-Muzani RA, ia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda :
إِذَا
جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا
تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ
كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ
فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Jika datang kepada kalian (untuk meminang puteri kalian) seseorang yang
kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putri kalian).
Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan. Para sahabat
berkata : Wahai Rasul, Meskipun terdapat sesuatu? Rasul menjawab: Jika datang
kepada kalian (untuk meminang puteri kalian) seseorang yang kalian ridhai agama
dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putri kalian). 3x [HR Turmudzi]
Catatan Alvers
khitbah atau biasa disebut lamaran atau pinangan adalah sebuah
permintaan dari laki-laki kepada pihak perempuan untuk mengawininya, baik
dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun dengan perantara pihak lain
yang dipercayai sesuai dengan ketentuan agama. Pihak perempuan boleh menolak
atau menerima, namun sesuai dengan hadits di atas maka hendaklah pihak
perempuan menerima pinangan seseorang yang baik agamanya dan akhlaknya dan tidak mempertimbangkan faktor
harta atau gengsi. Inilah yang dimaksdukan dengan peetanyaan sahabat “Meskipun
terdapat sesuatu?”. Lebih lanjut dijelaskan :
أَيْ
شَيْءٌ مِنْ قِلَّةِ الْمَالِ أَوْ عَدَمِ الْكَفَاءَةِ .
Maksudnya: “sesuatu” adalah sedikitnya harta atau tidak sebanding
(kufu) [Tuhfatul Ahwadzi]
Meminang tidaklah selamanya dari pihak laki-laki namun boleh juga dari
pihak perempuan. Imam Al-Bukhari menulis : “Bab : Seorang wanita menawarkan dirinya
kepada seorang lelaki yang sholeh”, lalu beliau mengemukakan hadits Anas bin
Malik RA :
جَاءَتْ
امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرِضُ
عَلَيْهِ نَفْسَهَا
“Seorang wanita datang kepada
Rasulullah SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi).” [HR
Bukhari]
Dalam lanjutan hadits di atas, Putri Anas berkomentar : betapa tidak
tau mau wanita tersebut!. Anas menjawab: Wanita tersebut lebih baik darimu. Ia
menyukai Nabi SAW kemudian ia menawarkan dirinya kepada beliau. [HR Bukhari]
Ketika lamaran diajukan oleh wakil maka boleh jadi calon suami tidak
kenal atau belum pernah melihat calon istrinya. Dalam kasus seperti ini Rasul
SAW menganjurkan si priaa melihat calon istri yang dipinangnya. Beliau bersabda
:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا
يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Jika salah seorang di antara
kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa
membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”. [HR. Abu
Daud]
Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya
melihatnya dengan sembunyi-sembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya
saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka
sayapun menikahinya”. [HR. Abu Daud]
Untuk menerima sebuah pinangan hendaknya meminta petunjuk dari Allah
dengan melakukan shalat istikharah. Hal ini ditunjukkan dalam kisah Nabi SAW
ketika Mengutus Zaid bin Haritsah untuk melamar Zainab RA. Anas bin Malik RA
berkata, Ketika masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah SAW
berkata kepada Zaid, “Sampaikanlah kepadanya (zainab) bahwa aku akan
meminangnya”. Lalu Zaid pergi mendatangi Zainab dan berkata, ‘Wahai Zainab,
bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu. maka
Zainab berkata:
مَا
أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أُوَامِرَ رَبِّي
“Saya tidak akan melakukan
sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”.
[HR. Muslim]. Maka Ia (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di (musholla) dalam rumahnya”.
[HR. Muslim]. Maka Ia (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di (musholla) dalam rumahnya”.
Imam Nawawi mengatakan : Hadits ini merupakan dasar kesunnahan shalat
istikharah bagi orang yang hendak melakukan sesuatu, baik sesuatu itu sudah
jelas kebaikannya atau tidak. Disini Zainab beristikharah apakah menerima
pinangan Nabi atau tidak, Hal ini bukan berarti Rasul bukanlah suami yang tidak
baik untuk zainab, akan tetapi zainab beristikharah karena Ia khawatir tidak
bisa maksimal melayani Nabi SAW [Syarah Muslim]
Ketika pinangan sudah diterima maka si wanita tidak boleh dipinang
orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ
أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ
أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ
(Seorang) mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak
halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidak pula
meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.’[HR Muslim]
Namun jika takdir berkata lain, ditengah menunggu masa pernikahan ternyata
calon istri berubah pikiran maka apakah boleh menggagalkan tunangan? Wahbah
Zuahily menjawab : Menurut mayoritas ulama, bagi si pria pelamar dan wanita
yang dilamar boleh untuk berpaling dari lamarannya (membatalkan). Sebab belum
ada akad sama sekali, sehingga tidak ada kewajiban dan kesanggupan (untuk tetap
meneruskan). Hanya saja dianjurkan sebagai bentuk etika bagi salah satunya
untuk tidak merusak janjinya kecuali memang ada darurat atau keadaan mendesak.
(Demikian itu) guna menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan si wanitanya [Al-Fiqh
Al-Islami Wa Adiallatuh]
Lantas bagaimana dengan haidah yang biasanya dibawa pihak calon suami? Yang
biasa dalam adat Jawa, dikenal dengan peningset dan seserahan. Seperti pakaian
dan perhiasan yang akan dikenakan calon istri mulai ujung rambut hingga kaki
dan juga kue-kue bawaan lainnya. Apakah si Calon suami boleh memintanya
kembali? Imam Ramli menjawab :
بأن له الرجوع
بما أنفقه على من دفعه له سواء كان مأكلا أم مشربا أم ملبسا أم حليا، وسواء رجع هو
أم مجيبه أم مات أحدهما لأنه إنما أنفق لأجل تزوجها فيرجع به إن بقي وببدله إن
تلف.
Boleh menarik kembali pemberian berupa makanan, minuman, pakaian dan
perhiasan. Sama halnya kegagalan lamaran karena dibatalkan oleh calon suami,
wali perempuan atau wakilnya atau karena salah satu calon mempelai meninggal
dunia. Hal ini dikarenakan calon suami memberikan hadiah tersebut karena kepentingan menikahinya. Maka boleh
baginya menarik kembali hadiahnya jika masih ada atau minta ganti jika sudah
rusak. [Ia’anatu Thalibin]. Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati
dan fikiran kita untuk menyikapi segala sesuatu dengan lapang dada sesuai hukum
yang ditetapkan Allah swt.
DR.H.Fathul Bari
0 komentar:
Post a Comment