ONE DAY ONE HADITH
Dari al-Bara’ (bin ‘Azib) ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ
مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ
يَتَفَرَّقَاَ
“Tidaklah dua orang muslim
bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum
berpisah.” [HR. Abu Dawud]
Catatan Alvers
Silaturrahmi identik dengan berjabat tangan (bersalam-salaman). Berjabat
tangan dalam satu pertemuan akan menciptakan kesan pertama yang positif
sekaligus membuka pembicaraan ke tahap selanjutnya. Dalam banyak budaya di
dunia ini, Berjabat tangan dianggap sebagai cara terbaik untuk menunjukkan
keramahan. Lydia Ramsey, pakar etika bisnis dan penulis menyebutkan tata cara
bersalaman dalam pergaulan internasional. Di Jepang, cara memberikan salam
adalah dengan bersalaman atau membungkukkan badan atau kombinasi dari keduanya.
Di Amerika Selatan, jabat tangan umum di kalangan pria. Sesama wanita atau pria
dan wanita biasanya saling memberi salam dengan cara cipika-cipiki. Di Amerika
Utara, jabat tangan yang bertenaga dianggap sebagai lambang profesionalisme dan
percaya diri. Seringkali sebelum melepaskan tangan, kedua orang yang berjabat
tangan saling menjentikkan jari (finger snap). Di China, bersalaman dilakukan dengan
kuat sambil menggoyang-goyangkan tangan.
Lalu bagaimana dengan Berjabat tangan? Apakah ia merupakan budaya ataukah
syariat Nabi? Seorang tabi’in, Qatadah bin Da’amah bertanya kepada Sahabat Nabi
Anas bin malik RA:
أَكَانَتْ
الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
نَعَمْ
Apakah Berjabat tangan pernah
terjadi pada masa para sahabat nabi SAW? Anas menjawab ya. [HR Bukhari]
Jadi Berjabat tangan tidak hanya budaya namun ia telah menjadi syariat
yang berpahala meruntuhkan dosa-dosa sebagaimana keterangan hadits utama di
atas.
Selanjutnya terdapat hadits dari Anas RA berkata:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي
لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ
أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ
ada orang bertanya, “Ya Rasulullah, apabila seorang di antara kami
bertemu saudara atau temannya, apakah ia menundukkan (inhina) badannya? “
Beliau menjawab, “Tidak”. Ia bertanya lagi, “Apakah ia memeluk dan menciumnya?”
Beliau menjawab, “Tidak.” Ia bertanya lagi, “Apakah ia memegang tangan
saudaranya dan menjabatnya?” Beliau menjawab, “Ya” [HR Tirmidzi]
Al-Mubarakfuri berkata :
اِسْتَدَلَّ
بِهَذَا الْحَدِيثِ مَنْ كَرِهَ الْمُعَانَقَةَ وَالتَّقْبِيلَ
Hadits ini dijadikan argemtasi bagi ulama yang memakruhkan salam dengan
cara berpelukan dan mencium. [Tuhfatu ahwadzi]
Namun demikian, ternyata ada beberapa hadits-hadits yang lain diantaranya
:
كَانَ
أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلاَقَوْا
تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا
Para shahabat Nabi SAW apabila mereka bertemu, mereka saling berjabat
tangan dan apabila kembali dari perjalanan mereka saling berangkulan [HR
Thabrani]
A’isyah RA menceritakan :
قَدِمَ
زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ الْمَدِينَةَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي فَأَتَاهُ فَقَرَعَ الْبَابَ فَقَامَ إِلَيْهِ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرْيَانًا يَجُرُّ ثَوْبَهُ وَاللَّهِ
مَا رَأَيْتُهُ عُرْيَانًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ فَاعْتَنَقَهُ وَقَبَّلَهُ
Dari Asiyah ra berkata, “Zaid bin Haritsah datang ke Madinah dan saat
itu Rasulullah saw berada di rumahku. Lalu ia mengetuk pintu. Kemudian
Rasulullah saw tanpa sorban, menarik bajunya -demi Allah aku tidak pernah
melihat beliau menanggalkan sorbannya sebelum dan sesudahnya- kemudian beliau memeluk
serta mencium Zaid” [HR: Tirmidzi]
Hadits-hadits di atas seakan-akan bertentangan dan saling menafikan,
maka dari itulah jika seseorang baru mendapati satu hadits (pertama misalnya) tanpa
mengkaji hadits-hadits yang lain ia akan salah dalam menyimpulkan dan merasa
pendapatnya benar sendiri. Ulama sekaliber Imam malik saja pernah memakruhkan
bersalaman namun kemudian meralatnya.
وَقَدْ
اِسْتَحَبَّهَا مَالِكٌ بَعْدَ كَرَاهَتِهِ
Sungguh Imam Malik men-Sunnahkan bersalaman setelah ia memakruhkannya
(pada pendapat sebelumnya) [Tuhfatul Ahwadzi]
Jika imam malik yang kaya perbendaharaan hadits saja sempat mengalami kekeliruan
dan merevisinya, maka bagaimana dengan seseorang yang baru mengenal satu atau
dua hadits saja lalu berfatwa, niscaya dia akan membid’ah-bid’ahkan pendapat
lain bahkan mensyirikkannya. Seperti halnya pernah terjadi seseorang yang gesa melarang
inhina’ (membungkukkan badan) saat berjabat tangan dengan dalil HR Tirmidzi di
atas. Terdapat kisah seseorang yang bertanya kepada Habib Umar bin Hafidz :
"Mengapa kamu membenarkan anak muridmu menundukkan badan lalu mencium
tanganmu, kamu tidak sadar telah melakukan perbuatan syirik kepada Allah dan
sepatutnya yang kita sembah hanya Allah Swt bukan mahkluk, kamu ini mengajarkan
anak muridmu perbuatan yang syirik tanya seorang itu". Habib Umar hanya tersenyum
lalu mengambil pulpen yang berada di kantung baju lelaki tersebut dan menjatuhkannya
ke lantai, lalu orang itu pun menunduk ingin mengambil pulpennya namun Habib
Umar menahann nya sambil berkata : "Apa yang akan engkau lakukan jangan
menunduk kebawah”, kemudian Orang tersebut berkata :"tidak, aku hanya
ingin mengambil pulpen ku saja", Lalu Habib Umar kembali berkata : "Engkau tidak boleh menunduk ke bawah
menyembah pulpen yang kita sembah adalah hanya Allah Swt Orang itu berkata
kembali : "Tidak, aku bukan menyembah pulpen aku hanya berniat mengambil
pulpen ku saja bukan untuk menyembah", lalu Habib Umar tersenyum dan
berkata kembali : "Begitu pula santri santriku mereka hanya bersalaman
dengan menundukkan badan bukan karena ingin menyembahku namun mereka cuma ingin
menghormatiku sebagai Guru mereka meskipun aku tidak menginginkan / meminta
mereka seperti itu, dengan jawaban yang singkat itu dia akhirnya mengerti makna
yang sebenarnya. Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran
kita untuk selalu mengikuti petunjuk as-sunnah dalam berjabat tangan berdasarkan
pemahaman para ulama.
0 komentar:
Post a Comment