ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari An Nu’man bin Basyir RA, Rasulul SAW bersabda :
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا
مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ
وَقَعَ فِى الْحَرَامِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun
jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang
tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari
perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa
yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara
haram. [HR Muslim]
Catatan Alvers
Dalam hadits ini Nabi menegaskan bahwa segala sesuatu tidak
terlepas dari tiga kondisi : (1) Perkara yang jelas kehalalannya, yang tidak
ada keraguan padanya. Maka hukumnya adalah halal dan seseorang tidak berdosa
untuk melakukannya seperti halalnya hewan ternak. (2) Perkara yang jelas
keharamannya, yang tidak ada keraguan padanya. Perkara yang haram, hukumnya pun
haram, seseorang akan mendapat dosa jika melakukannya seperti haramnya meminum
khamr (minuman keras). (3) Adapun yang ketiga adalah perkara yang syubhat
(meragukan) dari segi hukumnya; apakah itu hukumnya halal ataukah haram? Hukum
hal itu samar bagi kebanyakan manusia. Perkara yang ketiga inilah yang disinyalir
oleh Rasulullah untuk kita bersikap hati-hati dengan meninggalkan perkara
tersebut sehingga kita tidak terjerumus ke dalam perkara yang haram. Rasul
bersabda dalam hadits di atas “Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara
syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram”.
Selanjutnya Rasul SAW memberikan analoginya, Rasul bersabda :
كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ
أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar
tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki
tanah larangan dan tanah larangan Allah adalah perkara-perkara yang
diharamkan-Nya.” [HR Muslim]
Di sini, Nabi SAW memberikan perumpamaan perkara syubhat dengan keberadaan
seorang penggembala yang menggembala hewan ternaknya di dekat tanah larangan (daerah
terlarang), yaitu tanah yang dimiliki oleh raja, tempat yang hijau karena
sangat dirawat oleh pegawai raja. Tempat itu menarik hewan ternak untuk
berjalan ke sana dan merumput di dalamnya. Maka Siapa saja yang memasuki tanah
larangan ini ia akan dihukum oleh raja. Dan sebaliknya siapa yang menjauhi
tanah larangan ia akan aman dan jauh dari hukuman sang raja. Seperti itu pula
jika seseorang memasuki area syubhat, ia akan terseret ke dalam daerah larangan
Allah. [Syarah Muslim Lil Imam Nawawi]
Imam Nawawi menjelaskan bahwa status syubhat itu itu berlaku bagi
orang awam. Adapun bagi ulama mujtahid maka hal itu akan menjadi jelas hukumnya
baik dengan nash, qiyas, istishab atau metode istinbath hukum lainnya. Namun
terkadang dalam beberapa kasus metode-metode tersebut tidak dapat menjelaskan
hukumnya sehingga perkara tersebut tetap tidak jelas hukumnya. Jika memang
demikian maka dalam menyikapinya terdapat 4 pendapat. Yaitu (1) Tidak dihukumi
halal, haram, mubah dan lainnya karena penetapan hukum itu harus berdasarkan
syariat. (2) Hukumnya haram (3) Mubah (4) Tawaqquf (berhenti, diam sampai ada
dalilnya). [Syarah Muslim Lil Imam Nawawi]
Dalam hadits di atas, Rasul menjelaskan manfaat menjauhi syubhat
dengan sabda beliau :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. [HR Muslim]
Al-Imam Qusyairi meriwayatkan sebuah kisah mengenai pentingnya
menjauhi perkara syubhat. Beliau menukil perkataan Ibrahim bin Adham (tahun
100-165H/718-782M) yang menuturkan kisahnya sendiri: aku pernah menginap di Masjidil Aqsha dan
tertidur di bawah as-shakhrah (batu besar yang disucikan oleh orang yahudi) di
sana. Pada waktu itu turunlah dua malaikat dan salah satu malaikat bertanya
: Siapa yang berada di tempat ini?
Malaikat satunya menjawab : Ibrahim bin Adham. Lalu Malaikat berkata:
ذاك الذي حط بالله سبحانه درجة من درجاته
Dia itulah orang yang diturunkan derajatnya oleh Allah swt.
Malaikat bertanya: mengapa demikian? Malaikat satunya menjawab :
Satu saat ia membeli kurma di bashrah dan ketika sang penjual menakar kurmanya
ternyata ada kurma milik penjual yang
jatuh ke wadahnya ibrahim bin adham namun ia tidak mengembalikannya.
Mendengar hal ini ibrahim terbangun karena kagetnya. Keesokan
harinya ia bergegas menuju bashrah untuk mencari sang penjual kurma. Setibanya
di tempat tersebut, ibrahim bin adham membeli kurma dan ia mengembalikan
sejumlah kurma ke penjual sebagai ganti kurma yang jatuh pada pembelian
sebelumnya. Setelah itu, ibrahim bin adham kembali ke ke Masjidil Aqsha dan
menginap disana. Saa ia tertidur di bawah as-shakhrah ia melihat dua malaikat turun dari langit dan
salah satu malaikat bertanya : Siapa
yang berada di tempat ini? Malaikat satunya menjawab : Ibrahim bin Adham. Lalu
Malaikat berkata:
ذلك الذي رد الله مكانه، ورُفعت درجته
Dia itulah orang yang dikembalikan derajatnya oleh Allah swt bahkan
ditinggikan derajatnya. [Ar-Risalah Al-Qusyairiyah]
Kisah menarik lainnya
adalah disampaikan oleh Muhammad bin Muhammad Al-Abdari Al-Fasi dalam kitab al-Madkhal,
Yaitu Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berhasil menguasai Iraq dimana rakyat
irak mendoakan celaka kepada pemimpin yang dzalim sebelumnya dan tidak lama doa
mereka terkabul. Khawatir doa rakyat irak mendatangkan kesialan keapda diri
hajjaj maka ia memerintahkan penduduk Iraq berkumpul di masjid
Jami’ dengan membawa sebutir telur ayam dan meletakkannya di beranda masjid.
Setelah
semua orang selesai mengumpulkan telur, Hajjaj mempersilakan mereka untuk membawa
pulang telur-telur itu. Mereka tak sadar telur siapa yang dibawa pulang.
Disinilah rakyat irak terjerumus kepada perkara syubhat. Mereka makan telur kepunyaan
orang lain. Al-Fasi kemudian melanjutkan cerita ini dengan perkataannya :
فلما أن علم الحجاج
أنهم تصرفوا في ذلك مد يده إليهم فدعوا عليه على عادتهم فمنعوا الإجابة
Setelah hajjaj mengetahui bahwa mereka telah terjerumus dalam
perkara (telur) syubhat itu maka ia berbuat dzalim sesuka hati dan kali ini doa
laknat mereka tidak diijabahi oleh Allah. [Al-Madkhal Ila Tanmiyatil A’mal] Semoga Allah al-Bari senantiasa menunjukkan
kita kepada perkara halal dan menghindarkan diri kita dan keluarga dari perkara
syubhat dan haram.
0 komentar:
Post a Comment