ONE
DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Ubadah bin shamit RA bahwa suatu ketika Rasul SAW ditanya mengenai meminta
ijin untuk masuk rumah orang lain maka beliau bersabda :
مَنْ دَخَلَتْ عَيْنهُ
قَبْلَ اَنْ يَسْتَأْذِنَ وَ يُسَلِّمَ فَلاَ اِذْنَ وَ قَدْ عَصَى رَبَّهُ.
الطبرانى
“Barangsiapa
yang matanya melihat-lihat ke dalam rumah sebelum minta izin dan mengucapkan salam,
maka tidak ada izin (baginya) dan sungguh dia telah bermaksiat kepada Tuhannya”.
[HR Thabrani]
Catatan
Alvers
Di
dunia maya dengan bahasa gaulnya sering kita temui istilah kepo. Pernahkah anda
mendengar atau membacanya? So pasti, pernah membacanya bukan? Bukankah barusan
anda membacanya?!. Menurut berbagai sumber, kepo adalah akronim dari Knowing Every
Particular Object yang artinya sebutan untuk orang yang serba ingin tahu urusan
orang lain sampai kepada hal yang detail hingga sepele yang tidak ada sangkut
pautnya dengan urusan dirinya. Sumber lain mengatakan, kata kepo berasal dari bahasa
inggris yaitu "Care Full" artinya "Peduli banget"dalam
artian yang negatif. Kata 'Care Full' ini mengalami transformasi dan adaptasi
dalam bahas indonesia sehingga menjadi Kepo.
Orang
kepo biasanya banyak bertanya tentang segala urusan bahkan hal yang sepele
namun orang kepo akut (kronis, stadium III) ia akan berprilaku seperti
detektif, mencari-cari informasi, mencuri pendengaran, menyadap pembicaraan bahkan
mengintip langsung apa yang ingin diketahuinya. Kepo pada tingkatan ini adalah
kepo yang merugikan orang lain dan ini secara tegas dilarang dalam ajaran
islam. Bagaimana tidak, orang yang hendak bertamu dengan niat baik saja seperti
silaturrahmi kemudian dia mengetuk pintu dan mengucap salam, lalu untuk
memastikan apakah pemilik rumah ada di dalam apakah tidak dia mengintip dari
kaca atau lubang kunci rumah tersebut maka sebagaimana hadits utama di atas
termasuk perbuatan maksiat. Dalam hadits lain bahkan lebih tegas, Rasul SAW
bersabda :
مَنِ
اطَّلَعَ فِى بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ اِذْنِهِمْ فَفَقَئُوْا عَيْنَهُ فَلاَ
دِيَةَ لَهُ وَ لاَ قِصَاصَ.
“Barangsiapa
mengintip rumah suatu kaum tanpa seizin mereka, lalu kaum itu mencongkel (culek
: jawa) matanya, maka tidak ada diyat (tebusan) baginya dan tidak ada pula
qishash (pembalasan). [HR Nasa’i]
Hal
yang demikian pernah menimpa baginda Nabi sendiri. Ada seorang laki-laki
mengintip sebagian kamar Nabi SAW, maka Nabi SAW berdiri dan berjalan kepadanya
dengan membawa sebuah anak panah atau beberapa anak panah, seolah-olah beliau
berjalan pelan-pelan mengintai untuk menikam orang tersebut. [HR. Bukhari-
Muslim] Lebih jelas lagi hadits ini, disebutkan dengan redaksi lain, yaitu:
اَنَّ
اَعْرَابِيُّا اَتَى بَابَ النَّبِيِّ ص فَاَلْقَمَ عَيْنَهُ خَصَاصَةَ اْلبَابِ فَبَصُرَ
بِهِ النَّبِيُّ ص فَتَوَخَّاهُ بِحَدِيْدَةٍ اَوْ عُوْدٍ لِيَفْقَأَ عَيْنَهُ
فَلَمَّا اَنْ اَبْصَرَهُ انْقَمَعَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: اَمَا اِنَّكَ
لَوْ ثَبَتَ عَلَيْكَ لَفَقَأْتُ عَيْنَكَ.
Sesungguhnya
ada seorang Arab gunung mendatangi pintu Nabi SAW, lalu orang tersebut
mengintip lewat celah-celah pintu. Kemudian Nabi SAW melihatnya, maka beliau
bermaksud menculek matanya dengan besi atau sebatang kayu. Setelah orang
tersebut melihatnya, dia menjadi bingung. Lalu Nabi SAW bersabda, “Ketahuilah,
sungguh jika kamu tetap mengintip begitu akan kuculek matamu”. [HR Nasa’i]
Rasul
SAW sangatlah menjaga privasi seseorang, sehingga orang kepo yang tanpa ijin
mengintip rumah diancam dengan menculek matanya. Rasul SAW menjelaskan bahwa
syariat meminta ijin masuk rumah orang lain supaya tidak mengintip. Beliau
bersabda :
اِنَّمَا
جُعِلَ اْلاِسْتِئْذَانُ مِنْ اَجْلِ اْلبَصَرِ
Bahwasannya
dijadikannya minta izin masuk rumah orang lain itu (untuk menjaga) pandangan
mata”. [HR. Bukhari, Muslim]
Melihat
ke dalam rumah seseorang sebelum ia meminta ijin sama halnya ia telah masuk
rumah tanpa ijin. Rasul SAW bersabda :
ثَلاَثٌ
لاَ يَحِلُّ ِلأَحِدٍ اَنْ يَفْعَلَهُنَّ: لاَ يَؤُمُّ رَجُلٌ قَوْمًا فَيَخُصَّ
نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ دُوْنَهُمْ فَاِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ وَ لاَ يَنْظُرُ
فِى قَعْرِ بَيْتٍ قَبْلَ اَنْ يَسْتَأْذِنَ فَاِنْ فَعَلَ فَقَدْ دَخَلَ وَ لاَ
يُصَلِّى وَ هُوَ حَقِنٌ حَتَّى يَتَخَفَّفَ
“Ada tiga perkara yang tidak halal bagi
seseorang untuk melakukannya : 1. Tidak boleh seseorang memimpin suatu kaum untuk
berdoa namun ia hanya mendoakan kebaikan dirinya sendiri tanpa mendoakan
kebaikan untuk kaumnya. Apabila demikian, maka sungguh dia telah berkhianat
kepada kaumnya, 2. Tidak boleh seseorang melihat ke dalam rumah sebelum meminta
izin, Jika demikian maka sama halnya ia telah masuk rumah tersebut, dan 3. Tidak
boleh seseorang shalat dengan menahan hadats sehingga ia menjadi ringan (dengan
kencing atau buang air terlebih dahulu). [HR Abu Dawud]
Selanjutnya,
Orang kepo akut rawan jatuh kepada perilaku tajassus yang dilarang Allah SWT dalam
Al-Qur’an [QS al-Hujurat : 12] dan Rasul SAW menambahkan larangan ini :
وَ
لاَ تَحَسَّسُوْا وَ لاَ تَجَسَّسُوْا
“Janganlah
kalian bertahassus dan jangan bertajassus”. [HR Muslim]
Ulama
berpendapat keduanya adalah sama maksudnya yaitu menyelidiki saudaranya supaya
terlihat aibnya, baik dilakukan sendiri ataupun dengan menyuruh orang lain, Baik
secara langsung ataupun dengan cara menyadap telepon dengan alat elektronik dan
kecanggikhan teknologi. Selanjutnya Imam Nawawi menukil pendapat sebagian ulama,
berkata :
التحسس
بالحاء الاستماع لحديث القوم والجيم البحث عن العورات. وقيل : بالجيم أن تطلبه لغيرك وبالحاء
أن تطلبه لنفسك
Tahassus
itu mendengarkan perkataan orang lain sedangkan tajassus adalah mencari-cari
aib orang lain. Pendapat lain mengatakan tajassus adalah mencarikan informasi
untuk orang lain sedangkan tahassus adalah mencari informasi kejelekan orang
lain untuk kepentingan diri sendiri [Syarah Muslim]
Perbuatan
mendengarkan percakapan orang lain diancam dengan adzab yang keras, Rasul SAW
bersabda :
مَنِ
اسْتَمَعَ إِلىَ حَدِيْثِ قَوْمٍ وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ أَوْ يَفِرُّوْنَ
مِنْهُ صُبَّ فىِ أُذُنِهِ اْلآنَكُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Barangsiapa
yang menguping pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka tidak menyukainya atau
mereka lari menghindar darinya, maka ia akan dituangkan timah cair di
telinganya pada hari kiamat”. [HR al-Bukhari]
Adapun
mengenai balasan di dunia untuk mereka, Abu Barzah al-Aslami RA berkata,
Rasul SAW bersabda :
مَنِ
اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ
عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فىِ بَيْتِهِ
Barangsiapa
yang menyelidiki aib mereka (kaum muslimin), maka Allah akan menyelidiki
aibnya. Dan barangsiapa yang diselidiki aibnya oleh Allah, maka Allah akan
membongkar (aib)nya (yang dikerjakan) di rumahnya”. [HR Abu Dawud]
Dalam perkembangan
teknologi, perbuatan mendengarkan percakapan orang lain melalui alat
telekomunikasi atau disebut dengan menyadap diatur juga undang-undang. Pasal 40
UU Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan
penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam
bentuk apapun, kecuali telah untuk alasan yang diperkenankan oleh UU, yakni
untuk keperluan proses peradilan pidana. Pelanggaran terhadap UU ini dapat
diancam hukuman penjara 15 tahun (pasal 56).
Ternyata
Islam dan UU negara sepakat akan bahayanya menyelidiki aib orang lain yang
merugikan. Perkecualian dalam UU diatas adalah berdasar kepada prinsip
kemaslahatan bersama. Hal yang sama pernah dilakukan juga oleh Khalifah Umar,
ia ingin menyelidiki hal-ihwal rakyatnya dan bagaimana hasil kepemimpinannya. Sebagaimana
dikisahkan oleh at-Thabari, Ia bersama Aslam untuk mengunjungi kampung
terpencil di sekitar Madinah. Khalifah Umar mendapati sebuah tenda lusuh dengan
suara tangisan anak anak kecil karena menahan lapar. Keduanya melihat
kedalamnya dan mereka menemukan seorang wanita tengah duduk di depan perapian mengaduk-aduk
bejana. Wanita itu berkata :
ماء
أسكتهم به حتى يناموا الله بيننا وبين عمر... يتولى أمرنا ويغفل عنا
"Aku
memasak batu-batu ini supaya anak-anakku terdiam dan tertidur. Allah berada
antara kami dan Umar, Ia berkuasa namun melupakan urusan kami”.
Wanita
itu tidak tahu yang ada di hadapannya adalah Khalifah Umar bin Khattab. Segeralah
Ia pergi cepat-cepat ke Baitul Mal untuk mengambil sekarung gandum.
Sekembalinya, sang khalifah menyiapkan makanan untuk wanita itu dan anak-anaknya.
Wanita itu berterimakasih dan berkata :
جزاك
الله خيرا أنت أولى بهذا الأمر من أمير المؤمنين
Semoga
Allah membalas kebaikanmu, Engkau lebih mulia dalam urusan ini dari pada
Khalifah Umar! [Kitab : Tarikh at-Thabari, Tarikhul Umam Wal Muluk] Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan
fikiran kita untuk meneliti aib sendiri sehingga lupa akan melihat aib orang
lain.
Salam Hormat,
DR.H.Fathul Bari, Malang, Ind
0 komentar:
Post a Comment