ONE
DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas RA, Ia berkata :
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak pernah melihat Nabi SAW menyengaja
berpuasa di suatu hari yang beliau utamakan dari hari lainnya melainkan hari
ini yakni hari Asyura dan bulan ini yakni bulan ramadhan. [HR Bukhari]
Catatan Alvers
Beberapa hari lagi tepatnya pada hari rabo,
12 oktober 2016 kita akan sampai pada hari Asyura. Penetapan hari asyura ini
mundur satu hari dari perhitungan kalender setelah Lembaga Falakiyah PBNU mengeluarkan ikhbar
bahwa tanggal 1 Muharram 1438 H jatuh pada Senin, 3 Oktober 2016. Hal ini
dikarenakan Tim rukyat yang tersebar di berbagai daerah melaporkan tidak
melihat hilal sehingga jumlah bulan Dzulhijjah disempurnakan menjadi 30 hari
(istikmal). [Situs resmi NU]
Hari Asyura menjadi istimewa karena Rasul SAW
sendiri menyengaja berpuasa pada hari itu yang mana beliau utamakan dari hari lainnya. Hadits tersebut mengisyaratkan
bahwa hari asyura adalah hari terbaik setelah ramadhan untuk berpuasa. Pemahaman
ini sejalan dengan sabda Rasul SAW:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan
adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram.”[HR Muslim]
Jika memang demikian maka apakah tidak
terjadi kontradiksi dengan hadits berikut, Abu
Qatadah Al-Anshari berkata :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ
الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Nabi SAW ditanya mengenai
keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa
setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai
keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa
setahun yang lalu.” [HR Muslim]
Hadits Abu Qatadah ini mengisyaratkan hal sebaliknya yaitu puasa
arafah lebih baik dari pada puasa Asyura yang mana hal ini dipahami dari ukuran
pahalanya. Dalam hadits tersebut, puasa hari arafah lebih besar pahalanya (melebur
dosa 2 tahun) dari pada pahala puasa Asyura (melebur dosa 1 tahun).
Menjawab kerancuan ini, Ibnu Hajar al-Atsqalani berkata :
إِنَّ
يَوْمَ عَاشُورَاء مَنْسُوبٌ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام وَيَوْمَ عَرَفَة
مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِذَلِكَ كَانَ
أَفْضَلَ .
Hari Asyura dinisbatkan kepada Nabi Musa AS
sedangkan hari Arafah dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW maka dari itulah
puasa Arafah lebih banyak pahalanya [Fathul Bari]
Dari mulianya hari asyura, hari itu pernah
diwajibkan berpuasa oleh Rasul SAW. Imam Haramain dalam kitabnya, menuqil
keterangan dari Muadz bin jabal RA yang berkata :
فُرض صوم يوم عاشوراء، ثم نسخ وجوبه، وفُرض صيام ثلاثة
أيامٍ من كل شهر، وهي الأيام البيض، ثم نسخت فرضيتُها بصوم رمضان
Puasa hari Asyura dahulu diwajibkan kemudian
dihapus kewajiban itu dan diwajibkanlah puasa tiga hari setiap bulan yakni pada
ayyamul Bidl (13,14,15 Bulan Hijriyah) kemudian dinasakh (hapus) dengan
diwajibkannya puasa bulan ramadhan [Nihayatul Mathlab]
Namun demikian penting dan mulianya puasa hari
asyura, bagi seorang istri haruslah mendapat ijin dari suaminya sebab Rasul SAW
bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ
بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang
wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali
dengan izin suaminya.”[HR Bukhari]
Mayoritas ulama memahami larangan
hadits ini sebagai keharaman. Maka haram hukumnya seorang istri berpuasa tanpa
ijin suaminya jika suaminya ada di rumah dan ia tidak berpuasa hari itu. Jika si
istri bersikukuh untuk berpuasa tanpa ijin maka puasanya tetap sah namun tidak
mendapat pahala. Rasul SAW bersabda :
وَمِنْ
حَقّ الزَّوْج عَلَى زَوْجَته أَنْ لَا تَصُوم تَطَوُّعًا إِلَّا بِإِذْنِهِ ،
فَإِنْ فَعَلَتْ لَمْ يُقْبَل مِنْهَا
Termasuk hak suami atas istrinya
adalah si istri tidak berpuasa sunnah kecuali mendapat ijin darinya, jika sang
istri tetap berpuasa tanpa ijinnya maka puasanya tidak diterima (oleh Allah swt)
[HR Thabrani]
Mengapa demikian?, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
وَفِي
الْحَدِيث أَنَّ حَقّ الزَّوْج آكَد عَلَى الْمَرْأَة مِنْ التَّطَوُّع
بِالْخَيْرِ ، لِأَنَّ حَقّه وَاجِب وَالْقِيَام بِالْوَاجِبِ مُقَدَّم عَلَى
الْقِيَام بِالتَّطَوُّعِ
“Dalam hadits tersebut terdapat pemahaman bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada
menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah
suatu kewajiban sedangkan menjalankan perkara wajib tentunya didahulukan dari
menjalankan ibadah sunnah.” [Fathul Bari]
Selanjutnya, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
dipahami (secara mafhum mukhalafah) dari hadits tersebut bahwa seorang istri
boleh berpuasa sunnah tanpa ijin jika suaminya bepergian. Dan Jika suami datang
di siang hari maka boleh sang istri membatalkan puasanya tanpa makruh. [Fathul
Bari]
Boleh juga membatalkan puasa sunnah ketika bertamu dan disuguhi
makanan bahkan sunnah baginya membatalkan puasanya jika seandainya ia tidak
memakan suguhan tersebut dapat menyinggung perasaan tuan rumahnya. Bahkan menurut
Imam Syafi'i secara muthlaq sunnah membatalkan puasa sunnahnya tanpa pertimbangan
ada atau tidaknya ketersinggungan tuan rumah. [I’anatut Thalibin] dalam faidah
disebutkan :
من تلبس بصوم تطوع أو صلاته فله قطعهما
Barang siapa melakukan
puasa sunnah atau sholat sunnah maka boleh baginya untuk memutuskan puasa atau
sholatnya tersebut. [Fathul Mu’in] Wallahu A’lam.
Wallahu
A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk melakukan
ibadah sesuai ilmu dan ajaran-Nya.
Salam Satu Hadith,
DR.H.Fathul Bari,
Malang, Ind
ONE DAY ONE HADITH
Kajian Hadits
Sistem SPA (Singkat, Padat, Akurat)
READY STOCK BUKU
ONE DAY#1
Distributor :
081216742626
0 komentar:
Post a Comment