ONE
DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda,
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ
رَفَعَهُ اللَّهُ
Tidaklah
seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah
akan meninggikan (derajat)nya.” [HR Muslim]
Catatan
Alvers
Setiap
orang ingin hidup bahagia namun dalam mewujudkannya banyak orang yang salah
dalam menempuh jalan menuju kebahagiaan tersebut. Diantara mereka memandang
bahwa kebahagiaan itu berada pandangan orang lain bahwa mereka bahagia karena
memiliki harta dan kedudukan.
Mereka
tertipu, Mereka berusaha terlihat hidup bahagia menurut pandangan orang lain
namun pada hakikatnya mereka tidak merasakan kebahagiaan sama sekali dalam
kehidupan mereka sendiri. Bagaimana tidak, mereka mengalami tekanan batin dan
tersiksa dengan bergaya hidup bahagia dengan harta yang tidak dimilikinya.
Orang bijak mengatakan “Hukum Fisika mengatakan bahwa tekanan itu berbanding lurus
dengan gaya. Maka kalau hidupmu penuh tekanan, berarti kamu kebanyakan gaya!.
Ada juga yang mengatakan “Biaya hidup itu murah, Yang mahal adalah gaya
hidup."
Di
samping kebehagiaan semu, Orang-orang seperti mereka boleh jadi akan
mendapatkan kehinaan yang sesungguhnya. Amr bin syaibah berkisah,ketika aku
berada di makkah antara bukit shafa dan marwa aku melihat seorang lelaki
mengendarai baghlah dan di depannya para pemuda (pengawalnya). Mereka berbuat
kasar kepada orang lain (menyuruh untuk minggir). Setelah sekian lama, aku
masuk kota baghdad dan saat itu aku berada di atas sebuah jembatan, aku
berpapasan dengan seorang laki-laki tanpa penutup kepala, tanpa alas kaki dan
berambut panjang yang sepertinya aku pernah melihatnya. Aku mengamati dengan pandangan
yang mendalam. Lelaki itu bertanya : Mengapa engkau melihatku demikian? Amr
menjawab: Dulu Aku pernah melihat orang yang mirip denganmu diantara shafa dan
marwa. Lalu Akupun menceritakan kejadian di atas. Lalu Ia menjawab : Iya, Itu
adalah aku. Amr bertanya: Apa yang terjadi? Lelaki menjawab:
إِنِّي تَرَفَّعْتُ فِي مَوْضِعٍ يَتَوَاضَعُ
فِيْهِ النَّاسُ فَوَضَعَنِيَ اللهُ حَيْثُ يَتَرَفَّعُ النَّاسُ
Aku
merasa mulia (sombong) di tempat di mana manusia sama-sama merendahkan dirinya
maka Allah menghinakan diriku ditempat dimana orang-orang menjadi mulia.[Ihya
Ulumuddin]
Di
akhiratpun mereka akan celaka. Qatadah berkata :
مَنْ أُعْطِيَ مَالًا أَوْ جَمَالًا أَوْ
ثِيَابًا أَوْ عِلْمًا ثُمَّ لَمْ يَتَوَاضَعْ فِيْهِ كَانَ عَلَيْهِ وَبَالًا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Barang
siapa yang dianugerahi harta, ketampanan, pakaian atau ilmu namun ia tidak
tawadlu’ maka semua itu akan menjadi kerusakan (siksa) di hari kiamat.[Ihya
Ulumuddin]
Maka
raihlah kebahagiaan hidup ini dengan tawadlu (rendah hati). Orang yang tawadlu
akan ditinggikan derajatnya oleh Allah swt. Abu sulaiman berkata :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ اطَّلَعَ عَىَت
قُلُوْبِ الْآدَمِيِّيْنَ فَلَمْ يَجِدْ قَلْبًا أَشَدَّ تَوَاضُعًا مِنْ قَلْبِ
مُوْسَى عليه السلام فَخَصَّهُ مِنْ بَيْنِهِمْ بِالْكَاَىمِ
Allah
Azza wa jalla memeriksa hati anak adam dan tidak menemukan hati yang lebih
tawadlu daripada Nabi musa AS. Maka Allah memberikannya keistimewaan berupa
kalam (bisa berkomunikasi dengan Allah swt) [Ihya Ulumuddin]
Maka
dari itu, Marilah kita bersikap tawadlu. Rasul SAW bersabda :
إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا
حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ
Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga
tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan
tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain. [HR Muslim]
Umar
bin khattab RA ketika berceramah di atas mimbar “Wahai manusia, tawadlu’lah
kalian karena aku mendengar Rasul SAW bersabda :
مَنْ تَوَاضَعَ للهِ رَفَعَهُ اللهُ فَهُوَ فِي
نَفْسِهِ صَغِيْرٌ وَفِي أَعْيُنِ النَّاسِ عَظِيْمٌ ، وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ
اللهُ عز وجل فَهُوَ فِي أَعْيُنِ النَّاسِ صَغِيْرٌ وَفِي نَفْسِهِ كَبِيْرٌ ،
وَحَتَّى لَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِمْ مِنْ كَلْبٍ أَوْ خِنْزِيْرٍ
Barang
siapa tawadlu karena Allah maka Allah akan mengangkat derajatnya. Sehingga ia
merasa kecil di dalam dirinya namun ia besar pada pandangan manusia. Barang
siapa sombong maka Allah Azza wa jalla akan menghinakannya sehingga ia kecil
(hina) pada pandangan manusia namun merasa besar di dalam dirinya sendiri
sampai-sampai menurut padangan manusia ia lebih hina daripada anjing atau babi
[Musnad As-Syihab Al-Qudla’i]
Lantas
apakah tawadlu itu? Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Tahukah kalian apa itu
tawadlu’? Tawadlu’ adalah
أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَلاَ تَلْقَى مُسْلِماً
إِلاَّ رَأَيْتَ لَهُ عَلَيْكَ فَضْلاً
engkau
keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau
merasa bahwa ia lebih mulia darimu.” [Ihya Ulumuddin]
Imam
Asy Syafi’i berkata,
أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ
، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ
“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah
orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia
adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul
Iman]
Sayyid
Abdullah Al-Haddad menjelaskan tanda-tanda orang tawadlu’, beliau berkata :
فَمِنْ أَمَارَاتِ التَّوَاضُعِ حُبُّ الْخُمُوْلِ
وَكَرَاهِيَةُ الشُّهْرَةِ وَقَبُوْلُ الْحَقِّ مِمَّنْ جَاءَ بِهِ مِنْ شَرِيْفٍ
أَوْ وَضِيْعٍ. وَمِنْهَا مَحَبَّةُ الْفُقَرَاءِ وَمُخَالَطَتِهِمْ وَمُجَالَسَتِهِمْ.
وَمِنْهَا كَمَالُ الْقِيَامِ بِحُقُوْقِ الْإِخْوَانِ حَسَبَ الْإِمْكَانِ مَعَ شُكْرِ
مَنْ قَامَ مِنْهُمْ بِحَقِّهِ وَعُذْرُمَنْ قَصَّرَ
Di
antara tanda-tanda tawadlu’ adalah lebih senang khumul (tidak terkenal) dan
benci ketenaran, menerima kebenaran dari siapa pun baik dari orang terpandang
maupun dari orang yang rendah kedudukannya, mencintai fakir miskin dan bergaul
bersama mereka; bersedia mengurusi kepentingan orang lain dengan sebaik
mungkin; berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantunya dan memaafkan
mereka yang melalaikannya.” [Risalatul Mu‘awanah]
Saya
teringat dengan sayyidil Walid KH Badruddin Anwar. Beliau suka khumul dan
menghindari ketenaran serta tidak pernah bercerita dengan menonjolkan dirinya.
Meskipun beliau menjadi orang terpandang namun beliau lebih suka bergaul dengan
orang-orang miskin. Suatu saat ada yang bertanya “kyai, kenapa anda suka
bergaul dengan orang-orang (rendahan) seperti saya?. Beliau menjawab dengan
nada bercanda : “Aku bisa bergaul dengan orang-orang papan atas, namun jika aku
lakukan hal itu lantas siapa yang akan mau bergaul denganmu?”.
Al-Ghazali
menukil maqalah :
اَلتَّوَاضُعُ فِي الْخَلْقِ كُلِّهِمْ حَسَنٌ
وَفِي الْأَغْنِيَاءِ أَحْسَنُ وَالتَّكَبُّرُ فِي الْخَلْقِ كُلِّهِمْ قَبِيْحٌ وَفِي
الْفُقَرَاءِ أَقْبَحُ
Tawadlu
itu baik untuk semua kalangan manusia. Namun orang kaya yang Tawadlu akan lebih
baik. Takabbur itu jelek untuk semua kalangan manusia namun orang miskin yang
takabbur akan lebih jelek. [Ihya Ulumuddin]
Bagaimana
kiat kita supaya bisa menjadi pribadi yang tawadlu’? Syaikh Muhammad Nawawi
Al-bantani menukil pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kepada muridnya :
اِذَا لَقِيْتَ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ رَأَيْتَ
الْفَضْلَ لَهُ عَلَيْكَ وَتَقُوْلُ عَسَى أَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ اللهِ خَيْرًا مِنِّي
وَأَرْفَعَ دَرَجَةً
Jikalau
kamu berjumpa dengan seseorang maka hendaklah engkau melihat keunggulannya atas
dirimu. Dan kamu mengucapkan (dalam hati) boleh jadi orang ini lebih baik dari
aku dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah swt"
Beliau
memberikan alasannya :
“Apabila
ia adalah anak kecil, hendaklah berkata (dalam hati) dia ini belum (banyak)
bermaksiat (karena umurnya lebih muda) sementara aku telah (banyak) bermaksiat.
Jika ia adalah orang yang tua, hendaklah berkata orang ini telah beribadah
kepada Allah sebelum aku. Apabila ia adalah orang 'alim, hendaklah berkata
(dalam hati) dia telah diberi sesuatu (pengetahuan) yang aku belum aku capai,
dan dia telah memperoleh sesuatu yang aku belum peroleh dan dia juga telah
mengerti apa yang aku tidak mengetahuinya serta dia telah mengamalkan ilmunya.
Apabila ia adalah orang yang bodoh, hendaklah berkata orang ini bermaksiat
karena ketidak tahuannya, sedangkan aku bermaksiat padahal aku mengetahui
(larangannya). Sungguh aku tidak tahu apakah beban (siksa) yang diberikan
kepadaku dan tidak diberikan kepadanya? [Nashaihul Ibad] Wallahu A’lam. Semoga
Allah Al-Bari membuka hati kita untuk senantiasa bersifat tawadlu (rendah hati)
dan tidak suka merendahkan orang lain.
Salam
Satu Hadits,
Dr.
H. Fathul Bari Alvers
Pondok
Pesantren Wisata
AN-NUR
2 Malang Jatim
Sarana
Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo
Mondok! Mondok Itu Keren Lho!
NB.
Hak
Cipta berupa Karya Ilmiyah ini dilindungi oleh Allah SWT. Mengubah dan
menjiplaknya akan terkena hisab di akhirat kelak. *Silahkan Share tanpa
mengedit artikel ini*. Sesungguhnya orang yang copas perkataan orang lain tanpa menisbatkan kepadanya maka ia
adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam
Alhaddad]
0 komentar:
Post a Comment