ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan oleh ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
Tidaklah (mendengar) berita itu seperti
melihat langsung dengan mata kepala [HR Ahmad]
Catatan Alvers
Dalam
suatu pembelajaran, metode visual jauh lebih efektif dari pada metode ceramah. Dengan
melihat, seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang lebih kompleks dari pada
sekedar mendengar. Di samping itu, melihat akan lebih mudah dicerna dan
diingat. Maka baginda Rasul SAW dalam hadits utama di atas bersabda : Tidaklah (mendengar) berita itu seperti
melihat langsung dengan mata kepala [HR Ahmad] Lalu dalam lanjutan dari hadits
tersebut, Rasul SAW memberikan contohnya. Beliau bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَخْبَرَ مُوسَى بِمَا صَنَعَ قَوْمُهُ فِي الْعِجْلِ
فَلَمْ يُلْقِ الْأَلْوَاحَ فَلَمَّا عَايَنَ مَا صَنَعُوا أَلْقَى الْأَلْوَاحَ
فَانْكَسَرَتْ
Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa
Jalla- mengabarkan kepada Nabi Musa mengenai apa yang diperbuat oleh kaumnya
terhadap patung anak sapi, dan ketika itu (Musa) tidak melemparkan
lembaran-lembaran (Kitab suci Taurat) namun ketika ia melihat langsung apa yang
mereka perbuat; (Nabi Musa marah dan) melemparkan lembaran-lembaran itu sampai
robek (rusak). [HR Ahmad]
Begitu
pula yang terjadi dalam kisah Nabi Ibrahim AS. Allah SWT berfirman :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي
كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ
لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku, perlihatkanlah padaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah
kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang
(mantap dengan imanku)....[QS Al-Baqarah: 260]
Itulah
mengapa Rasul menyuruh para sahabat untuk melihat langsung ketika mengajarkan
suatu ibadah. Misalnya urusan shalat, beliau bersabda :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. [HR Bukhari]
Begitu
pula dalam urusan ibadah haji. Rasul SAW
bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ
فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا
“Wahai
manusia, ambilah manasik (tata cara berhaji) kalian (dariku), karena
sesungguhnya aku tidak mengetahui boleh jadi aku tidak berhaji (lagi) setelah
tahun ini”. [HR Muslim]
Dengan
melihat suatu contoh, seseorang lebih mudah untuk menirukannya. Tak terkecuali menirukan
perbuatan, hal itu lebih mudah
dilakukan. Hal ini selaras dengan teori imitasinya Gabriel Tarde (1843-1904), sosiolog
asal Perancis, yang berkata : ”Society is imitation”. Masyarakat selalu dalam
proses meniru. [Kompas com]
Selanjutnya
Tarde berkata : “Manusia cenderung meniru perbuatan orang lain, semata-mata
karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis mereka untuk melakukan hal
tersebut. Semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai
atau melebihi) tindakan di sekitarnya” [sinaukomunikasi wordpress com]
Dari
sini kita ketahui betapa pentingnya teladan dalam kehidupan. Anak-anak tidak
cukup dicekoki dengan materi-materi kebaikan, namun mereka juga memerlukan
figur teladan dalam kehidupannya, bahkan hal inilah yang sebenarnya lebih
mereka butuhkan. Pendidikan karakter minus keteladanan akan nihil tanpa hasil maka
setiap guru harus memposisikan dirinya sebagai teladan sehingga pendidikan
karakter tidak sebatas kata-kata dan teori belaka.
Kata
guru jamak dikenal sebagai singkatan dari digugu (dituruti) dan ditiru
(dicontoh). Dalam kamus besar bahasa indonesia, gugu, menggugu2/gu·gu,
meng·gu·gu berasal dari bahasa jawa yang berarti mempercayai; menuruti;
mengindahkan. “Digugu” berarti guru bisa dipercaya sehingga ia dituruti dan “ditiru”
berarti guru bisa ditiru segala kebaikannya oleh murid-muridnya. [KBBI] Pepatah mengatakan:
لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ
“Lidah
perbuatan (teladan) lebih fasih daripada lidah ucapan.”
Dikatakan
juga :
عَمَلُ رَجُلٍ في أَلْفِ رَجُلٍ أَبْلَغُ مِنْ
قَوْلِ أَلْفِ رَجُلٍ فِي رَجُلٍ
Teladan
satu orang (guru) dalam 1000 orang (murid) itu lebih efektif daripada nasehat
1000 orang (guru) kepada satu orang (murid). [Tafsir Ar-Razi]
Pepatah
yang lain mengatakan :
مَنْ وَعَظَ بِقَوْلِهِ ضَاعَ كَلَامُهُ وَمَنْ
وَعَظَ بِفِعْلِهِ نَفَذَتْ سِهَامُهُ
Barang
siapa yang menasehati dengan perkataannya maka perkataannya akan hilang tanpa
bekas dan barang siapa yang menasehati dengan perbuatannya (teladan) maka itu
akan mengenai bagai anak panah yang mengenai sasarannya. [Tafsir Ar-Razi]
Maka
guru yang bermutu bukan dilihat dari universitasnya, atau IPK nya, namun guru
yang bisa digugu dan ditiru itulah guru yang bermutu. Orang bijak mengatakan “Orang
hebat bisa melahirkan beberapa karya yang bermutu namun guru yang bermutu akan
melahirkan orang-orang hebat.Guru bukanlah orang hebat tetapi semua orang hebat
adalah berkat jasa dari seorang guru”.
Metode
keteladanan ini pula yang menjadi kunci keberhasilan (alm) KH.M.Badruddin Anwar, guru sekaligus
ayah penulis dalam memberikan pembelajaran kepada santri dan masyarakatnya baik
di dalam kelas maupun dalam kehidupan sehari-hari. Beliau bisa menjadi teladan,
baik sebagai ayah, sebagai kakak, sebagai suami, sebagai santri, sebagai guru,
sebagai sahabat maupun sebagai ulama terpandang.
Efektifitas
keteladanan tidak hanya berlaku dalam hal yang positif, namun juga dalam hal
negatif. Bahkan dalam hal negatif akan lebih mudah lagi ditiru sehingga dalam
peribahasa disebutkan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya murid
biasanya mencontoh gurunya mentah-mentah, maka guru sebaiknya jangan memberikan
contoh yang buruk. Jika guru melakukan kejelekan maka para murid akan berbuat
lebih buruk daripada yang dilakukan oleh guru tersebut. Wallahu A’lam. Semoga
Allah Al-Bari menjaga diri kita dari kejelekan supaya terus menjadi inspirasi
kebaikan untuk lingkungan kita.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari Alvers
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren Lho!
NB.
Hak Cipta berupa Karya Ilmiyah ini dilindungi oleh
Allah SWT. Mengubah dan menjiplaknya akan terkena hisab di akhirat kelak.
*Silahkan Share tanpa mengedit artikel ini*. Sesungguhnya orang yang copas
perkataan orang lain tanpa menisbatkan
kepadanya maka ia adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah
tercela [Imam Abdullah Alhaddad]
0 komentar:
Post a Comment