ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari RA, Nabi
SAW bersabda :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian ia mengikutkannya
dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka sama halnya ia berpuasa seperti
setahun penuh.”[HR Muslim]
Catatan Alvers
Bulan ramadhan telah pergi dengan segala
keutamaan dan semangat ibadah di dalamnya, namun bukan berarti kita patah
semangat sehingga berhenti beribadah dan memperbanyak amalan shalih di bulan
syawal ini. Syeikh Muhammad Hisan, menulis buku dengan judul yang merupakan
inti dari nasehatnya :
كُنْ رَبَّنِيًّا وَلَا
تَكُنْ رَمَضَانِيًّا
Jadilah engkau sebagai Hamba Allah, Jangan
engkau menjadi hambanya Ramadhan.
Perkataan ini menegaskan bahwa meskipun Ramadan telah pergi tapi baca qur’an, shalat lima waktu, shalat malam, harus tetap terjaga! Ingat, Ramadhan kita memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Di bulan Syawwal kita juga mempunyai waktu 24 jam dalam sehari. Allah pencipta bulan Ramadhan, Allah pulalah yang menciptakan bulan Syawwal. Jadi barang siapa yang beribadah karena Ramadhan maka ketahuilah bahwa Ramadhan telah pergi, Dan barang siapa yang beribadah kerena Allah (Lillahi Ta’ala), maka ketahuilah bahwa Allah itu akan terus ada dan terus menerima amal ibadah kita.
Di bulan syawal ini kita dianjurkan untuk berpuasa
selama 6 hari, sesuai dengan hadits utama di atas. Al-Hafidz Ibnu Rajab
Al-Hambali berkata : Membiasakan puasa pasca puasa ramadhan adalah tanda
diterimanya puasa ramadhan. Beliau memberikan alasannya :
فَإِنَّ
اللهَ إِذَا تَقَبَّلَ عَمَلَ عَبْدٍ وَفَّقَهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ بَعْدَهُ
Jika Allah menerima amalan seseorang maka Allah
akan memberinya petunjuk kepada amalan shalih setelahnya (amal sebelumnya). [Lathaiful Ma’arif]
Sebagian ulama berkata “Pahala dari suatu kebaikan
adalah mampu melakukan kebaikan yang lain setelahnya” maka orang yang beramal
baik kemudian ia beramal kebaikan lagi setelahnya itu menjadi pertanda
diterimanya amalan yang pertama dan sebaliknya, jika ada orang yang beramal
kebaikan namun kemudian ia mengikutinya dengan kejelekan maka itu menjadi pertanda
tertolaknya amal kebaikannya. [Lathaiful Ma’arif]
Dalam hadits utama disebutkan : “Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan kemudian ia mengikutkannya dengan puasa enam hari di
bulan Syawal, maka sama halnya ia berpuasa seperti setahun penuh”.[HR
Muslim] Mengapa puasa tersebut bernilai setahun? Rasul SAW memberikan
penjelasannya. Diriwayatkan dari Tsauban RA, Rasul Saw bersabda :
صِيَامُ
رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ السِّتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ
صِيَامُ السَّنَةِ
Puasa ramadhan bernilai puasa 10 bulan dan puasa
6 hari (bulan Syawal) bernilai 2 bulan maka total keseluruhan adalah puasa satu
tahun. [HR Ibnu Khuzaimah]
Jadi kalau puasa tersebut dikalkulasi, Bulan
Ramadhan (30 Hari) dikalikan dengan 10 = 300 hari. Sedangkan puasa 6 hari di
bulan Syawal dikalikan 10 = 60 hari sehingga kalau di total 300 hari + 60 Hari
= 360 Hari dan ini setara Satu tahun. [Lihat Syarah Muslim] dan jika seseorang berpuasa
ramadhan dan 6 hari syawal setiap tahunnya sepanjang usianya maka sama halnya ia
berpuasa “dahr” (seumur hidupnya).
Hal ini berdasarkan teori minimal balasan
kebaikan secara umum sebagaimana disebutkan oleh Rasul SAW :
الْحَسَنَةُ
بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
Setiap kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh
kali lipat bahkan hingga 700 kali lipat. [HR An-Nasai]
Cara berpuasa syawal yang paling afdhal adalah
dilakukan langsung tanggal 2–7 syawal secara bersambung atau berurutan. Imam
Nawawi berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْأَفْضَلُ
أَنْ تُصَامَ السِّتَّةُ مُتَوَالِيَةً عَقِبَ يَوْمِ الْفِطْرِ فَإِنْ فَرَّقَهَا
أَوْ أَخَّرَهَا عَنْ أَوَائِلِ شَوَّالٍ إِلَى أَوَاخِرِهِ حَصَلَتْ فَضِيْلَةُ
الْمُتَابَعَةِ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
Para pengikut kalangan syafi’i menilai yang
lebih utama menjalani puasa 6 hari syawal dengan berurutan secara terus-menerus
(mulai hari kedua syawal) namun andaikan dilakukan dengan dipisah-pisah atau
dilakukan di akhir bulan syawal pun juga masih mendapatkan keutamaan “mutaba’ah”
(mengikutkan puasa syawal dengan puasa ramadhan) karena meskipun dikerjakan
secara terpisah dan di akhir bulan syawal masih termasuk kategori“mutaba’ah”.[Syarah Muslim]
Bolehkah niat puasa syawal digabung dengan puasa
yang lainnya? Menggabung niat puasa sunnah seperti puasa Syawal dengan puasa
senin - kamis adalah boleh dan dinyatakan mendapatkan pahala keduanya. Sayyed
Bakri berkata :
اَلصَّوْمُ فِي الْاَياَّمِ
الْمُتَأَكَّدِ صَوْمُهَا مُنْصَرِفٌ إِلَيْهَا بَلْ لَوْ نَوَى بِهِ غَيْرَهَا حَصَلَتْ...
وَذَكَرَ غَيْرُهُ أَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ مَا لَوِ اتَّفَقَ فِي يَوْمٍ رَاتِبَانِ كَعَرَفَةَ
يَوْمَ الْخَمِيْسِ
Puasa yang dilaksanakan bertepatan pada
hari-hari yang disunnahkan secara muakkad untuk berpuasa (misalnya puasa
syawal) akan jatuh (sah) menjadi puasa sunnah muakkad tersebut (puasa syawal
tadi). Bahkan jika pada hari-hari tersebut (misalnya syawal), seseorang berniat
puasa lainnya (misalnya berniat puasa sunnah senin pada bulan syawal) maka puasanya
akan sah sebagai puasa yang sunnah muakkad tadi (puasa syawal)... Selain
Al-Barizi, menyebutkan bahwa contohnya adalah jika satu hari bertepatan dengan
dua sunnah puasa seperti hari arafah yang jatuh pada hari kamis. [I’anatut Thalibin]
Bagaimana jika seseorang masih memiliki
tanggungan qadla puasa ramadhan? Bolehkah ia berpuasa sunnah Syawal?. Secara
teori, seseorang wajib mendahulukan yang wajib jika memang kewajiban qadla tersebut
bersifat “faur” (segera). Syeikh Abu Makhramah dengan mengikuti pendapat Syeikh
as-samhudi menyatakan jika seseorang berpuasa dengan dua niat, (qadla dan
syawal misalnya) maka tidak sah kedua-duanya. Hal ini sebagaimana seseorang melaksanakan
shalat dengan dua niat, yaitu shalat dzuhur dan sunnahnya bahkan selanjutnya
Sayyed Abdurrahman Ba’alawi berkata :
رَجَّحَ أَبُو مَخْرَمَةَ
عَدَمَ صِحَّةِ صَوْمِ السِّتِّ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ مُطْلَقاً
Syeikh Abu Makhramah mengunggulkan pendapat yang
menilai tidak sahnya puasa syawal bagi orang yang masih memiliki tanggungan
qadla ramadhan secara mutlak. [Bughyatul Mustarsyidin]
Namun sebagai alternatif, perlu diketahui bahwa menurut imam Ramli yang bergelar “as-Syafi’i
As-Shagir” (Imam Syafi’i Junior) berfatwa sah hukumnya berpuasa qadla ramadhan
sambil berpuasa syawal dengan digabung secara “two in one” dan ia akan mendapatkan
pahala keduanya. Selanjutnya Beliau berkata :
كَتَحِيَّةِ
الْمَسْجِدِ لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ وُجُوْدُ صَوْمٍ فِيْهَا
Hal ini dianalogikan dengan shalat tahiyyatal
masjid karena yang dimaksudkan dari sunnahnya berpuasa pada hari-hari tertentu
semisal enam hari syawal adalah adanya aktifitas puasa pada hari tersebut. [Nihayatul Muhtaj]
Mengenai shalat tahiyyatal masjid, Imam Haramain
berkata :
وَمَنْ
دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى صَلَّى صَلَاةً مَفْرُوْضَةً أَوْ مَسْنُوْنَةً
فَقَدْ حَصَلَتْ تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ وَإِنْ لَمْ يَنْوِهَا
Barang siapa datang ke masjid dan ia belum duduk
di sana sehingga ia melaksanakan shalat fardlu ataupun shalat sunnah (yang lain
semisal qabliyah) maka shalat tersebut sudah bernilai sunnah tahiyyatal masjid
meskipun tanpa disebut dalam niatnya. [Nihayatul Mathlab]
Bahkan keabsahan satu hari puasa dengan dua niat
puasa sunnah lebih tegas disampaikan oleh Imam Al-Barizi dalam fatwanya :
بِأَنَّهُ لَوْ صَامَ
فِيْهِ قَضَاءً أَوْ نَحْوَهُ حَصَلَا نَوَاهُ مَعَهُ أَوْ لَا
Jika seseorang berpuasa untuk qadla (ramadhan
misalnya) atau lainnya
di hari yang disunnahkan puasa (semisal syawal) maka
puasa hari tersebut sah sebagai keduanya (puasa qadla dan puasa syawal) baik ia
berniat dengan menyebutkan puasa sunnah syawal ataupun tidak. [I’anatut Thalibin]
Lantas apakah yang dimaksudkan dengan kata “hasil”
pada keterangan tersebut? Apakah maksudnya tuntutan atau anjuran sunnah-sunnah
itu gugur dari orang tersebut, ataukah orang tersebut juga mendapat pahala dari
sunnah-sunnah itu?. Menjawab hal ini, Imam As-Syarwani berkata:
الظَّاهِرُ
مِنْ قَوْلِ الشَّارِحِ م ر لَوْ طُلِبَتْ مِنْهُ أَغْسَالٌ مُسْتَحَبَّةٌ كَعِيْدٍ
وَكُسُوْفٍ وَاسْتِسْقَاءٍ وَجُمْعَةٍ وَنَوَى أَحَدَهَا حَصَلَ الْجَمِيْعُ إلخ حُصُوْلُ
ثَوَابِ الْكُلِّ
Secara dzahir dari penkataan Imam Ramli “Jika terkumpul
pada diri seseorang, beberapa mandi sunnah seperti mandi sunnah di hari raya, mandi
sunnah untuk kusuf, mandi sunnah istisqa, mandi sunnah jumat sementara ia
berniat satu saja maka semua mandi sunnahnya hasil (dst)” bisa disimpulkan
bahwa yang dimaksud hasil adalah mendapat pahala dari semua sunnah-sunnah yang
tidak diniatkannya. [Hasyiyah As-Syarwani]
Terakhir, sebagai tambahan wawasan bahwa Imam
Malik dan Abu hanifah mengatakan bahwa puasa syawal tersebut hukumnya makruh. Imam
Malik berkata dalam Al-Muwattha’ “aku tidak pernah melihat ahlul ilmi yang berpuasa
pada bulan syawal. Mereka memebrikan beralasannya, mereka berkata “Makruh
hukumnya berpuasa syawal supaya tidak disangka sebagai kewajiban”. Namun
pendapat Imam Syafii dan para ulama yang sejalan dengan beliau yang mengatakan bahwa
puasa syawal hukumnya sunnah adalah beradasar pada hadits utama diatas yang
berstatus shahih dan sharih (jelas). Maka Suatu kesunnahan jika sudah jelas
statusnya maka janganlah engkau meninggalkannya hanya karena sebagian orang
tidak mengerjakannya, atau sebagian besar dari mereka bahkan semua manusia
meninggalkannya. Dan janganlah juga engkau meninggalkannya hanya karena
orang-orang ada yang menyangkanya sebagai amalan wajib. Hal ini (meninggalkan
amalan karena khawatir orang-orang ada yang menyangkanya sebagai amalan wajib) bisa
tertolak dengan puasa-puasa sunnah lainnya seperti puasa arafah, asyura dll. [Al-Minhaj
Lil Nawawi] Bukankah kita tetap berpuasa sunnah arafah tanpa memperdulikan
orang orang menyangka bahwa puasa tersebut hukumnya wajib?. Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati kita untuk menunaikanpuasa syawal secara istiqamah sehingga kita dinilai berpuasa seumur hidup di sisis Allah SWT.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
Hak cipta berupa karya ilmiyah ini dilindungi
oleh Allah SWT. Dilarang mengubahnya tanpa izin tertulis. Silahkan Share tanpa
mengedit artikel ini. Sesungguhnya orang yang copas perkataan orang lain tanpa menisbatkan kepadanya maka ia
adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam Al-haddad]
0 komentar:
Post a Comment