ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry RA, Rasul
SAW bersabda :
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Tuntunlah “mawta” kalian dengan bacaan “Lailaha
Illallah” [HR Al-Hakim]
Catatan Alvers
Pernah viral kesalahan seseorang
dalam mentashrif lafadz kafir. Ia berkata bahwa kata kafir berasal dari tashrif
“kaffaro - yukaffiru – kufron”. Statement ini dilontarkan oleh seorang pemuka
masyarakat bahkan memiliki jabatan yang tinggi dalm mejelis ulama yang semestinya
kesalahan seperti itu tidak terjadi. Oleh Karena itulah kesalahan ini menjadi
viral dan akhirnya mendapat bulliyan dan netizen saat itu. Menyindir kesalahan
fatal tersebut seorang netizen mentashrif juga kata “Taba – Yatubu – Youtuban”.
Di sinilah pentingnya
belajar ilmu agama sedini mungkin. Sayyidina Umar RA berkata :
تَفَقَّهُوا
قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
Belajarlah sebelum kalian dijadikan
sebagai orang yang terpandang atau dimuliakan. [Shahih Bukhari]
Agama islam itu bersumber dari Al-Quran dan
hadits yang berbahasa Arab. Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-Quran
yang berbahasa arab supaya kalian memahaminya. [QS Yusuf : 2]
Ibnu Katsir menjelaskan :
وذلك لأَنَّ لُغَةَ الْعَرَبِ أَفْصَحُ
اللُّغَاتِ وَأَبْيَنُهَا وَأَوْسَعُهَا، وَأَكْثَرُهَا تَأْدِيَةً لِلْمَعَانِي
الَّتِي تَقُوْمُ بِالنُّفُوْسِ
“Yang demikian itu
(bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab merupakan bahasa
yang paling fasih, jelas, luas, dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk
jiwa manusia. [Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]
Lebih lanjut beliau mengatakan : “Oleh karena
itu kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling
mulia (Muhammad SAW), dengan bahasa yang termulia (bahasa Arab), melalui
perantara malaikat yang paling mulia (Jibril), ditambah diturunkan pada dataran
yang paling muia diatas muka bumi (tanah Arab), serta awal turunnya pun pada
bulan yang paling mulia (Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari
segala sisi.” [Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim]
Dengan demikian merupakan satu keniscayaan
bagi orang yang hendak mempelajari agama Islam agar dia menguasai bahasa Arab. Mujahid
Berkata :
لَا يَحِلُّ
لِأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللهِ
إِذَا لَمْ يَكُنْ عَالِماً بِلُغَاتِ الْعَرَبِ
Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak
diperbolehkan ia berkata mengenai Kalamullah jika ia tidak mengetahui “Lughat” (bahasa)
Arab. [Al-Itqan]
Bahasa Arab bisa dipahami dengan mempelajari ilmu-ilmu
bahasa, diantaranya adalah Nahwu Sharaf. Dan dari keduanya, Ilmu Nahwu yang
lebih penting didahulukan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi (w 890 H/1485 M) dalam
nadzamnya :
وَالنَّحْوُ أَوْلٰى أَوَّلًا أَنْ
يُعْلَمَا :: إِذِ الْكَلَامُ
دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Ilmu nahwu itu lebih berhak
pertama kali untuk dipelajari, karena kalam arab tanpa nahwu, tidak akan bisa
dipahami. [Nadzam Imrithy]
Namun pendapat lain
mengatakan :
إِنَّ الصَّرْفَ أُمُّ الْعُلُوْمِ وَالنَّحْوُ
أَبُوْهَا فَعَلَيْكَ أَنْ تُقَدِّمَ الْأُمَّ عَلَى الْأَبِ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ
تَحْتَ أَقْدَامِ الْأُمَّهَاتِ
Ketahuilah, bahwa shorof
adalah induk dari segala ilmu dan nahwu adalah ayahnya. Hendaklah kamu
mendahulukan ibu atas ayah, karena surga dibawah telapak kaki ibu.[ kitab al qowa’id
aAs Shorfiyah]
Senada dengan pendapat ini, Ibnu Faris
berkata :
وَمَنْ فَاتَهُ
عِلْمُهُ فَاتَهُ الْمُعْظَمُ
Barang siapa yang tidak menguasai ilmu sharaf
maka ia akan kehilangan sebagian besar ilmu. [Al-Itqan]
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut
maka ilmu nahwu dan sharaf adalah sama-sama penting untuk dipelajari. Ilmu Nahwu terfokus
mempelajari seputar struktur (susunan kalimat serta harakat) sementara Ilmu Sharaf
fokus untuk mempelajari berbagai perubahan bentuk kata ke bentuk yang lainnya.
Baik perubahan harakat (Nahwu) atau perubahan bentuk kata (sharaf) sama-sama
mempengaruhi terhadap perubahan makna.
Tidak hanya bentuk kata yang berubah menjadikan
makna yang berbeda, satu kata dalam satu bentuk bisa memiliki makna yang
berbeda yang diketahui dengan ilmu sharaf. Semisal kata “wajada” itu merupakan
kalimat yang mubham (samar) jika kita mentashrifnya maka baru akan menjadi
jelas maksudnya dengan mengetahui mashdarnya. Lafadz tersebut sama-sama dibaca “wajada”
namun jika mashdarnya berupa “wijdan” maka artinya tergelincir, jatuh dari
kendaraan, atau jika mashdarnya berupa “wujudan” maka artinya menemukan, atau jika
mashdarnya berupa “mawjidatan” maka artinya marah, jika mashdarnya berupa “wujdan”
maka artinya kaya atau jika mashdarnya berupa “wajdan” maka artinya cinta. [Al-Isra’ilyyat
wal Mawdlu’at fi kutubit tafsir]
Ada orang yang berpendapat bahwa mempelajari
ilmu sharaf itu tidaklah penting karena kita cukup menukil kalimat-kalimat dari
orang arab tanpa menambah atau menguranginya. Statement seperti ini tampaknya benar
jika kalimat tersebut digunakan tanpa ada perubahan bentuk sama sekali, namun
jika seseorang ingin mengubah kalimat tersebut dalam bentuk tashgir misalnya,
atau bentuk jamak atau nisbah maka di sini diperlukan ilmu sharaf. Apa saja
huruf ashal dari kalimat tadi, huruf tambahannya apa saja dan adakah huruf yang
dibuang atau diganti dari kalimat tadi. Sebut satu misal, tanyakan kepada ahli
nahwu yang taka mengerti sharaf bagaimana bentuk tashgir dari kata “idltiraab”?.
Dalam teori nahwu, jika ada kalimat yang terdiri
dari lima huruf dan ada huruf tambahannya seperti kata “munthaliqun” maka ketika
membuat bentuk tashgir, huruf tambahannya harus dibuang. Huruf tambahannya adalah mim dan nun, hanya
saja huruf mim merupakan huruf tambahan yang mendatangkan makna sehingga yang dibuang
hanya huruf nun saja. Maka bentuk tashgirnya sesuai kaidah adalah “Muthayliqun”.
Dengan teori seperti ini maka ahli nahwu
mengatakan bahwa huruf tambahan [ada kata “idltiraab” adalah alif saja, maka
alif saja yang dibuang sehingga dalam bentuk tashgirnya menjadi “dluthayribun”.
Sang ahli nahwu lupa bahwa pada kata “idltiraab”
terdapat huruf yang diganti yaitu huruf dlad yang aslinya adalah huruf ta’ maka
semestinya dalam bentuk tashgir huruf gantian dikembalikan ke huruf asalnya yaitu
ta’ sehingga tashgirnya menjadi “Dlutayribun”.
Maka Ibnul Atsir al-Katib berkata :
فَإِنَّ هَذَا لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا التَّصْرِيْفِيُّ
Maka sesungguhnya hal ini tidaklah diketahui
kecuali oleh ahli ilmu sharaf. [Al-Mataslus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]
Az-Zamakhsyari berkata : termasuk contoh bid’ah
(kekeliruan) dalam tafsir adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat :
يَوْمَ نَدْعُواْ
كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
artinya adalah : “Hari dimana kami memanggil setiap
orang dengan nama ibunya bukan dengan nama ayahnya”.
Karena kata “Imam” pada ayat tersebut merupakan
bentuk jamak
dari kata “umm” (ibu).
Beliau berkata :
وَهَذَا غَلَطٌ
أَوْجَبَهُ جَهْلُهُ بِالتَّصْرِيْفِ، فَإِنَّ "أُمَاً" لَا تُجْمَعُ عَلَى
إِمَامٍ".
Ini adalah kesalahan yang disebabkan oleh
kejahilannya akan ilmu sharaf karena lafadz “Umm” tidak dijamakkan dengan
lafadz “Imam” (namun jamaknya dalaha lafadz “ummahat”). [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]
Dalam bacaan Al-qur’an (qira’at), Abu ustman
al-Mazani menyalahkan satu bacaan dalam qira’at Imam Nafi’ bin Abi nu’aim yang beliau
merupakan kategori imam qira’ah sab’ah dimana imam nafi’ membaca kata”Ma’ayis”
dengan kata “Ma’aais”. Hal ini dikarenakan kata”Ma’ayis” tidak boleh ya’nya diganti
dengan hamzah menurup ijma’ para ulama bahasa Arab karena ya’ dalam kalimat
tersebut bukan gantian dari hamzah. [Al-Matsalus Sa’ir Fi Adabil Katib Was Sya’ir]
Ilmu sharaf juga mewarnai pemahaman dalam hadits.
Saya kemukakan hadits talqin sebagaimana hadits utama di atas. Kata “Mawta”
dalam hadits tersebut diartikan sebagai “muhtadlar” yakni orang yang hendak meninggal
dengan merujuk kepada bentuk mufrad “mayyitun” yang bermakna demikian. Hal ini
sebagaimana pendapat mayoritas ulama yang mengartikan hadits tersebut sebagai anjuran
talqin (menuntun kalimat tahlil) kepada orang yang hendak meninggal. Dan bisa
juga kata “Mawta” tersebut diartikan sebagai orang yang sudah meninggal atau
dikubur dengan merujuk kepada bentuk mufrad “maytun”. Hal ini lazim disebut “talqin
ba’dad dafn” sebab kata “mawta” merupakan jamak dari mufrad “mayyitun” dan bisa
juga dari mufrad “maytun” sebagaimana dikatakan oleh Abu Amr :
وَتَسْأَلُنِي تَفْسِيْرَ مَيْتِ وَمَيِّتٍ :: فَدُوْنَكَ
قَدْ فَسَّرْتُ إِنْ كُنْتَ تَعْقِلُ
فَمَنْ كاَنَ ذَا رُوْحٍ
فَذَلِكَ مَيِّتٌ :: وَمَا الْمَيْتُ إِلَّا مَنْ إِلَى الْقَبْرِ يُحْمَلُ
Engkau meminta
penjelasan kata “maytun” dan “mayyitun” dan berikut penjelasannya. Orang yang
masih memiliki ruh (hampir mati) maka disebut dengan “mayyitun”. Adapun yang
disebut “maytun” adalah orang yang dibawa ke kuburan (orang yang sudah hilang
ruhnya). [Tafsir An-Nasafi]
Dan wawasan ini bukan
hanya teori sharaf namun juga dikatakan oleh para ulama. Zainul Arab berkata :
وَلَا بَأْسَ بِإِطْلَاقِ
كِلَيْهِمَا
Kata “mawta” pada hadits talqin boleh
diartikan dengan keduanya (Talqin utk orang yang mau meninggal dan talqin di
atas kubur). [Mirqatul Mafatih]
Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan
fikiran kita untuk semakin semangat mempelajari ilmu sharaf
sebagai dasar pijakan kita dalam memahami perkataan para ulama dalam menafsiri al-Quran
dan hadits.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share
sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata :
_Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka
sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment