Saturday, December 14, 2024

JALAN-JALAN

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Umamah RA, Rasul SAW bersabda :

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]

 

Catatan Alvers

 

Momen akhir tahun seperti sekarang ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang dengan jalan-jalan. Berbicara mengenai jalan-jalan, ternyata banyak sekali macamnya. Orang-orang terdahulu mengadakan perjalanan jauh dengan tujuan ibadah menurut kepercayaan mereka seperti mengembara untuk mencari kitab suci seperti yang ditayangkan di film-film atau mereka yang menganggap bahwa perjalanan itu bisa menjadi sarana untuk mengekang nafsu dan meletihkan raga sebagai wujud zuhud (menjauhi) terhadap urusan duniawi sebagaimana dilakukan oleh para pertapa.

 

Perjalanan yang demikian tidaklah di syariatkan dalam agama islam. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya mana yang lebih disukai antara seseorang yang berkelana (mengadakan perjalanan jauh dengan pengertian di atas) ataukah orang yang menetap di daerahnya? Beliau menjawab :

مَا السِّيَاحَةُ مِنَ الْإِسْلَامِ فِي شَيْءٍ ، وَلَا مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّيِنَ وَلَا الصَّالِحِيْنَ

Perjalanan (seperti di atas) sama sekali bukan ajaran Islam dan tidak pernah dilakukan oleh para Nabi dan Orang-orang shalih. [Talbisu Iblis]

 

Ibnu Rajab Al-Hambaly berkata : Perjalanan (yang demikian) itu dilakukan oleh golongan yang ahli ibadah dengan kesungguhan namun tidak disertai ilmu (syariat). Di antara mereka ada yang berhenti dari hal tersebut ketika sudah mengetahui syariatnya. [Fathul Bari Libni Rajab]

 

Suatu ketika ada seseorang yang menghadap Nabi SAW meminta ijin untuk mengadakan perjalanan (mengembara seperti pengertian di atas), maka Nabi SAW melarangnya dan bersabda :

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]

 

Dalam Islam, perjalanan yang disyariatkan berkenaan dengan ibadah adalah perjalanan ke tanah suci mekkah untuk menunaikan rukun islam yang ke lima yaitu ibadah haji dan umrah. Perjalanan juga dianjurkan jika bertujuan untuk menuntut ilmu. Dahulu, para ulama mengadakan perjalanan jauh untuk mencari hadits. Jabir bin Abdillah RA berkata :

بَلَغَنِي عَنْ رَجُلٍ حَدِيْثٌ سَمِعَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاشْتَرَيْتُ بَعِيْرًا ثُمَّ شَدَدْتُ رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا

“Pernah aku mendengar ada hadits yang dimiliki oleh seseorang yang didengar langsung dari Nabi SAW, lalu aku membeli unta (kendaraan) kemudian aku mengadakan perjalanan menuju alamatnya selama satu bulan”. [Fathul Bari]

 

Selaras dengan hal ini, kata “As-Sa’ihun” [QS At-Taubah : 112] menurut satu pendapat (Ikrimah) adalah :

هُمْ طَلَبَةُ الْعِلْمِ يَسِيْحُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَطْلُبُوْنَهُ فِي مَظَانِّهِ

(orang-orang yang mengadakan perjalanan) mereka adalah para penuntut ilmu, mereka mengadakan perjalanan di atas bumi untuk mencari ilmu di tempat dimana ilmu itu berada. [Tafsir Al-Kassyaf]

Mengadakan perjalanan yang juga dianjurkan adalah dalam rangka dakwah, mengajarakan syariat islam dan mengajak masyarakatnya masuk islam serta mengamalkan ajaran Islam sebagaimana hal tersebut adalah tugas para rasul terdahulu dan diteruskan oleh para sahabat lalu generasi setelahnya, hingga para wali seperti yang terkenal yaitu wali songo yang menyebarkan islam di bumi nusantara ini.

Lantas bagaimana dengan perjalanan dengan tujuan jalan-jalan, rekreasi atau wisata sebagaimana dipahami sekarang ini? “Siyahah” pada masa kini dimaknai sebagai :

التَّنَقُّلُ مِنْ بَلَدٍ إلى آخَرَ لِقَصْدِ الرَّاحَةِ والتَّنَزُّهِ وَحُبِّ الاسْتِطْلاعِ

adalah berpindah (perjalanan) dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mencari ketenangan atau rekreasi atau kesenangan dengan melihat-lihat (pemandangan dll.) [Qamus Al-Ma’any]

 

Sedangkan “Tanazzuh” atau rekreasi dimaknai sebagai :

رُؤْيَةُ مَا تَنْبَسِطُ بِهِ النَّفْسُ لِإِزَالَةِ هُمُوْمِ الدُّنْيَا

Melihat sesuatu (pemandangan dll.) yang dapat melapangkan hati untuk menghilangkan kesumpekan urusan duniawi. [Al-Jamal]

Kedua kata ini saling berkaitan karena “Siyahah” itu adalah perjalanannya sedangkan “tanazzuh” merupakan salah satu tujuannya.

 

Ketika ulama fiqih membahas Shalat Jamak Qashar maka mereka menetapkan syarat diantaranya adalah “Safar Mubah” (perjalanan yang diperbolehkan, yakni bukan karena maksiat) dan “Gharad Shahih” (tujuan yang benar, seperti berkunjung atau silaturahim, berdagang atau berhaji). Maka perjalanan yang tidak termasuk kategori “Gharad Shahih” itu tidak diperbolehkan qashar. Contohnya sebagaimana disebutkan :

وَلَا لِمَنْ سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ

Tidaklah (diperbolehkan shalat dengan cara qashar) bagi musafir yang bertujuan hanya melihat-lihat satu negara atau daerah. [I’anatut Thalibin]

 

Dari keterangan ini dipahami  bahwa orang yang ber-rekreasi tidak boleh menjalankan shalat dengan cara qashar karena wisata atau rekreasi termasuk perjalanan yang boleh namun tidak dianggap sebagai tujuan yang benar. Namun pemahaman ini diluruskan oleh Ibnu Hajar. Beliau membedakan diantara keduanya; rekreasi vs hanya melihat-lihat satu tempat. Beliau berkata : “Rekreasi itu termasuk kategori tujuan yang benar, karena biasanya rekreasi bertujuan untuk pengobatan (relaksasi, memenangkan pikiran), menghilangkan kesumpekan dan motivasi.  Berbeda dengan hanya sekedar melihat satu daerah tanpa ada tujuan seperti di atas, seperti hanya ingin melihat-lihat bangunannya, berasal dari material apa, dan bagaimana bentuk bangunannya besar atau kecil, dan lain sebagainya. Ini lebih menyerupai “Abats” (perbuatan yang sia-sia). Maka dari itu, perjalanan untuk rekreasi boleh qashar sementara perjalanan yang hanya untuk melihat-lihat satu daerah maka tidak boleh mengqashar”. [Al-fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra]

 

Maka lebih baik lagi jika wisata atau jalan-jalan juga diniati untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT, menikmati indahnya alam nan agung sebagai sarana memperkuat keimanan. Allah SWT berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  

 

Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan Makhluk dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS Al-Ankabut : 20]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk melihat makhluknya sebagai ciptaan-Nya yang agung sehingga kita bertambah iman kepada Allah sang pencipta yang maha agung.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

0 komentar:

Post a Comment