ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abu Umamah RA, Rasul SAW bersabda :
إِنَّ سِيَاحَةَ
أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah
jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]
Catatan Alvers
Momen akhir tahun seperti sekarang ini banyak
dimanfaatkan oleh orang-orang dengan jalan-jalan. Berbicara mengenai
jalan-jalan, ternyata banyak sekali macamnya. Orang-orang terdahulu mengadakan
perjalanan jauh dengan tujuan ibadah menurut kepercayaan mereka seperti
mengembara untuk mencari kitab suci seperti yang ditayangkan di film-film atau mereka
yang menganggap bahwa perjalanan itu bisa menjadi sarana untuk mengekang nafsu
dan meletihkan raga sebagai wujud zuhud (menjauhi) terhadap urusan duniawi sebagaimana dilakukan oleh para pertapa.
Perjalanan yang demikian tidaklah di syariatkan dalam agama
islam. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya mana yang lebih disukai antara seseorang
yang berkelana (mengadakan perjalanan jauh dengan pengertian di atas) ataukah
orang yang menetap di daerahnya? Beliau menjawab :
مَا السِّيَاحَةُ
مِنَ الْإِسْلَامِ فِي شَيْءٍ ، وَلَا مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّيِنَ وَلَا الصَّالِحِيْنَ
Perjalanan (seperti di atas) sama sekali
bukan ajaran Islam dan tidak pernah dilakukan oleh para Nabi dan Orang-orang
shalih. [Talbisu Iblis]
Ibnu Rajab Al-Hambaly berkata : Perjalanan
(yang demikian) itu dilakukan oleh golongan yang ahli ibadah dengan kesungguhan
namun tidak disertai ilmu (syariat). Di antara mereka ada yang berhenti dari
hal tersebut ketika sudah mengetahui syariatnya. [Fathul Bari Libni Rajab]
Suatu ketika ada seseorang yang
menghadap Nabi SAW meminta ijin untuk mengadakan perjalanan (mengembara seperti
pengertian di atas), maka Nabi SAW melarangnya dan bersabda :
إِنَّ سِيَاحَةَ
أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى
“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah
jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]
Dalam Islam, perjalanan yang disyariatkan
berkenaan dengan ibadah adalah perjalanan ke tanah suci mekkah untuk menunaikan
rukun islam yang ke lima yaitu ibadah haji dan umrah. Perjalanan juga
dianjurkan jika bertujuan untuk menuntut ilmu. Dahulu, para ulama mengadakan
perjalanan jauh untuk mencari hadits. Jabir bin Abdillah RA berkata :
بَلَغَنِي عَنْ رَجُلٍ
حَدِيْثٌ سَمِعَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاشْتَرَيْتُ بَعِيْرًا
ثُمَّ شَدَدْتُ رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا
“Pernah aku mendengar ada hadits yang
dimiliki oleh seseorang yang didengar langsung dari Nabi SAW, lalu aku membeli
unta (kendaraan) kemudian aku mengadakan perjalanan menuju alamatnya selama
satu bulan”. [Fathul Bari]
Selaras dengan hal ini, kata “As-Sa’ihun”
[QS At-Taubah : 112] menurut satu pendapat (Ikrimah) adalah :
هُمْ طَلَبَةُ
الْعِلْمِ يَسِيْحُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَطْلُبُوْنَهُ فِي مَظَانِّهِ
(orang-orang yang mengadakan perjalanan)
mereka adalah para penuntut ilmu, mereka mengadakan perjalanan di atas bumi
untuk mencari ilmu di tempat dimana ilmu itu berada. [Tafsir Al-Kassyaf]
Mengadakan perjalanan yang juga
dianjurkan adalah dalam rangka dakwah, mengajarakan syariat islam dan mengajak
masyarakatnya masuk islam serta mengamalkan ajaran Islam sebagaimana hal
tersebut adalah tugas para rasul terdahulu dan diteruskan oleh para sahabat lalu
generasi setelahnya, hingga para wali seperti yang terkenal yaitu wali songo yang
menyebarkan islam di bumi nusantara ini.
Lantas bagaimana dengan perjalanan dengan
tujuan jalan-jalan, rekreasi atau wisata sebagaimana dipahami sekarang ini? “Siyahah”
pada masa kini dimaknai sebagai :
التَّنَقُّلُ مِنْ بَلَدٍ إلى
آخَرَ لِقَصْدِ الرَّاحَةِ والتَّنَزُّهِ وَحُبِّ الاسْتِطْلاعِ
adalah berpindah (perjalanan) dari satu tempat ke tempat
lain dengan tujuan mencari ketenangan atau rekreasi atau kesenangan dengan melihat-lihat
(pemandangan dll.) [Qamus Al-Ma’any]
Sedangkan “Tanazzuh” atau rekreasi dimaknai
sebagai :
رُؤْيَةُ مَا
تَنْبَسِطُ بِهِ النَّفْسُ لِإِزَالَةِ هُمُوْمِ الدُّنْيَا
Melihat sesuatu (pemandangan dll.) yang dapat melapangkan
hati untuk menghilangkan kesumpekan urusan duniawi. [Al-Jamal]
Kedua kata ini saling berkaitan karena “Siyahah” itu
adalah perjalanannya sedangkan “tanazzuh” merupakan salah satu tujuannya.
Ketika ulama fiqih membahas Shalat Jamak Qashar maka mereka
menetapkan syarat diantaranya adalah “Safar Mubah” (perjalanan yang diperbolehkan,
yakni bukan karena maksiat) dan “Gharad Shahih” (tujuan yang benar, seperti berkunjung
atau silaturahim, berdagang atau berhaji). Maka perjalanan yang tidak termasuk
kategori “Gharad Shahih” itu tidak diperbolehkan qashar. Contohnya sebagaimana
disebutkan :
وَلَا لِمَنْ
سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ
Tidaklah (diperbolehkan shalat dengan cara qashar) bagi musafir
yang bertujuan hanya melihat-lihat satu negara atau daerah. [I’anatut Thalibin]
Dari keterangan ini dipahami bahwa orang yang ber-rekreasi tidak boleh
menjalankan shalat dengan cara qashar karena wisata atau rekreasi termasuk
perjalanan yang boleh namun tidak dianggap sebagai tujuan yang benar. Namun
pemahaman ini diluruskan oleh Ibnu Hajar. Beliau membedakan diantara keduanya; rekreasi
vs hanya melihat-lihat satu tempat. Beliau berkata : “Rekreasi itu termasuk kategori
tujuan yang benar, karena biasanya rekreasi bertujuan untuk pengobatan (relaksasi,
memenangkan pikiran), menghilangkan kesumpekan dan motivasi. Berbeda dengan
hanya sekedar melihat satu daerah tanpa ada tujuan seperti di atas, seperti hanya
ingin melihat-lihat bangunannya, berasal dari material apa, dan bagaimana bentuk
bangunannya besar atau kecil, dan lain sebagainya. Ini lebih menyerupai “Abats”
(perbuatan yang sia-sia). Maka dari itu, perjalanan untuk rekreasi boleh qashar
sementara perjalanan yang hanya untuk melihat-lihat satu daerah maka tidak
boleh mengqashar”. [Al-fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra]
Maka lebih baik lagi jika wisata atau jalan-jalan juga diniati
untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT, menikmati indahnya alam nan
agung sebagai sarana memperkuat keimanan. Allah SWT berfirman:
قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ
فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ
إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan Makhluk dari permulaannya, kemudian
Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. [QS Al-Ankabut : 20]
Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan
fikiran kita untuk melihat makhluknya sebagai ciptaan-Nya yang agung sehingga
kita bertambah iman kepada Allah sang pencipta yang maha agung.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya
kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang
ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._
[At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment