ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata :
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ
الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ
“Sesungguhnya Nabi SAW telah menetapkan miqat bagi penduduk
Madinah yaitu Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam yaitu Juhfah, bagi penduduk Najed
yaitu Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman yaitu Yalamlam. [HR Bukhari]
Catatan Alvers
Ibnu Abbas RA
berkata : Ketika Nabi
Ibrahim AS selesai membangun baitullah (Ka’bah) maka diperintahkanlah kepadanya
agar menyerukan manusia untuk berhaji ke baitullah. Nabi Ibrahim AS berkata :
wahai tuhanku, suaraku tidak sampai kepada semua manusia. Allah SWT menjawab :
Panggillah dan aku yang akan menyampaikan (seruanmu kepada mereka). Maka Nabi
Ibrahim AS berseru : “Wahai sekalian
manusia, telah diwajibkan haji ke baitullah atas kalian semua.” Lalu seruan itu
didengar oleh semua makhluk yang ada di antara langit dan bumi. Maka kalian
tidak melihat bahwasannya manusia berdatangan dari belahan bumi yang sangat
jauh untuk memenuhi panggilannya. [Fathul Bari] Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT :
يَأْتِينَ
مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Mereka datang dari segenap penjuru yang
jauh. [QS Al-Hajj : 27]
Setiap orang yang datang dari berbagai penjuru
dunia yang hendak berhaji atau berumroh, maka mereka wajib berihram sebelum
mereka sampai di tanah suci. Mengenai tempat-tempat tersebut, ‘Abdullah bin ‘Abbas RA berkata : “Nabi SAW menetapkan
miqat untuk penduduk Madinah yaitu Dzul Hulaifah (Bir Aly, 450 KM), penduduk
Syam yaitu Juhfah (190 KM), penduduk Nejd yaitu Qarnul Manazil (80 KM) dan
penduduk Yaman yaitu Yalamlam (92 KM).” [HR Bukhari]
Lalu ‘Abdullah bin ‘Abbas RA berkata :
هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى
عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ ، وَمَنْ
كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ
“Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk
masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati
kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah
haji atau umrah. Barangsiapa yang berada dalam kawasan miqat tersebut, maka
miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga
dari Makkah.” [HR Bukhari]
Penduduk Mekkah yang hendak berhaji maka miqatnya adalah tempat
tinggal mereka masing-masing. Adapun khusus miqat umroh, Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata :
وَأَمَّا الْمُعْتَمِرُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ
يَخْرُجَ إِلَى أَدْنَى الْحِلِّ
Adapun orang yang berumrah maka ia wajib keluar menuju tanah
halal terdekat. [Fathul Bari] Seperti Tan'im (8 KM), hudaibiyah (25 KM) dan
Ji'ranah (29 KM).
Hikmah dibedakannya miqat haji dan umrah, adalah
keberadaan seluruh akitivitas umrah yang dilaksanakan di tanah haram bahkan
terbatas di area Masjidil Haram saja dan sama sekali tidak sampai keluar ke
tanah halal, sehingga ia diperintahkan keluar untuk berihram dari tanah halal.
Adapun haji, maka aktivitasnya tidak semuanya di tanah haram, namun meluas
sampai ke tanah halal yaitu Arafah sehingga ia tidak diharuskan ketika berihram
untuk pergi keluar tanah haram.
Dan Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
اَلْأَفْضَلُ فِي كُلِّ مِيْقَاتٍ أَنْ يُحْرِمَ
مِنْ طَرَفِهِ الْأَبْعَدِ مِنْ مَكَّةَ ، فَلَوْ أَحْرَمَ مِنْ طَرَفِهِ الْأَقْرَبِ
جَازَ .
Yang paling Afdhal dalam setiap miqat adalah berihram
dari tempat yang terjauh dari Mekkah. Jika seseorang berihram dari arah yang
dekat maka boleh saja. [Fathul Bari]
Di antara miqat-miqat di atas, miqat yang paling jauh
jaraknya dari Mekkah adalah Dzul Hulaifah yaitu 450 KM, yaitu miqatnya penduduk
madinah. Mengapa demikian? Ibnu Hajar berkata : Ada pendapat mengatakan bahwa hikmahnya
adalah memperbesar pahala penduduk Madinah dan ada pula yang berpendapat bahwa
hal itu untuk meringankan beban ihram bagi penduduk selain penduduk Madinah
karena madinah adalah tempat terdekat ke Mekkah. [Fathul Bari]
Setelah kawasan Islam bertambah luas maka diperlukan
adanya miqat “baru” sebagaimana Miqat Dzatu Irqi bagi penduduk Iraq yang baru
ditetapkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA dengan mengambil garis
sejajar dengan Miqat yang ada yaitu Qarnul
Manazil. Ibnu Umar juga meriwayatkan miqat-miqat sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin
‘Abbas RA di atas lalu Ibnu Umar berkata : “Telah sampai kepadaku bahwasannya Nabi
SAW bersabda : Miqat penduduk Yaman adalah Yalamlam, dan disebutkan pula miqat
penduduk Iraq”. Dan Ibnu Umar berkata :
لَمْ يَكُنْ عِرَاقٌ يَوْمَئِذٍ
Saat itu belum ada Iraq. [HR Bukhari]
Ibnu Hajar berkata : Maksudnya saat masa Nabi SAW, Negara iraq
belum masuk dalam kawasan Islam. Iraq masih dikuasai oleh Raja Kisra Persia.
Jadi Penduduk Iraq belum ada yang masuk Islam sehingga Nabi saat itu belum menetapkan
miqat bagi penduduk Iraq. [Fathul Bari]
Ibnu 'Umar RA berkata: Ketika kedua negeri ini (Bashrah dan Kufah
; Iraq) telah ditaklukan, penduduknya datang menghadap 'Umar lalu mereka
berkata: "Wahai Amirul Mukminin, Rasul SAW telah menetapkan batas miqat
bagi penduduk Nejd di Qarnul Manazil, dan itu sangat jauh bila dilihat dari
jalan kami, dan bila kami ingin menempuh ke sana sangat memberatkan kami".
Maka dia ('Umar) berkata:
فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ
"Perhatikanlah
batas sejajarnya dari jalan kalian".
Lalu Umar menetapkan miqat mereka (penduduk Iraq) yaitu Dzatu 'Irq
(94 KM).
[HR Bukhari]
Apalagi di zaman sekarang di mana jamaah haji juga tidak
hanya berasal dari miqat-miqat di zaman Nabi, melainkan berasal hampir dari
seluruh penjuru dunia. Di antaranya dari dataran Asia, Afrika, Amerika, Eropa,
dan sudut dunia lainnya. Di sisi lain,
jamaah haji yang datang dari berbagai daerah di seluruh dunia tidak lagi
menggunakan jalur darat dan laut tetapi mayoritas menggunakan tranportasi
udara. Maka dari itu diperlukan adanya miqat “baru” seperti Jeddah. Namun karena
keberadaan Jeddah sebagai miqat “baru” maka jeddah menjadi pro kontra bagi jamaah
haji dan umroh asal Indonesia.
Pesawat yang digunakan oleh Jamaah haji dan umrah asal Indonesia
akan melintasi miqat Yalamlam sebelum mendarat di jeddah sehingga sebagian dari
mereka mengambil miqat dari atas udara saat melintasi Yalamlam. Miqat dari atas
pesawat akan menimbukan permasalahan keamanan pada pesawat jika para jamaah mengganti
kain ihram secara bersamaan dan jika mengenakan pakaian Ihram dari bandara Indonesia
maka hal itu tentunya akan mendatangkan masaqqat (kesulitan).
Mengamati perkembangan tersebut, Komisi Fatwa MUI pada tahun
1980, 1981 dan 2006 memutuskan bahwa Miqat Makani bagi Jama’ah Haji Indonesia, adalah
Bandara Jeddah (King Abdul Aziz) bagi yang langsung ke Makkah dan Bir Ali bagi
yang lebih dahulu ke Madinah. Fatwa tersebut tidak berarti menambah miqat baru karena
Jarak antara Bandara King Abdul Aziz Jeddah dengan Makkah telah melampaui dua
marhalah (80+ Km). Kebolehan berihram dari jarak seperti itu termasuk hal yang
telah disepakati oleh para ulama. [mui or id ] Keputusan yang sama juga
ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU yang sebelumnya dibahas di Komisi Bahtsul
Masail Maudlu'iyah, di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada tahun 2023. [jabar nu or id]
Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati dan
pikiran kita agar memahami ajaran Islam sesuai situasi kondisi terkini dan
tentunya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Nabi SAW.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari, SS., M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok itu Keren!
WhatsApp Center :
0858-2222-1979
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share
sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata :
_Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka
sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment