(Kata Sambutan ODOH 6)
Di bahasa Inggris dikenal home dan house yang keduanya bermakna rumah.
Apakah perbedaan keduanya? House mengacu pada bangunan fisik, berbeda dengan
penggunaan kata home. Home lebih mengacu pada sebuah tempat seseorang bisa
merasakan rasa nyaman dan terikat secara emosional.
Menurut saya, rumah tidak hanya mengacu kepada bangunan saja, tetapi juga
mengacu kepada suasana di dalamnya. Lihat saja rumah sakit! Bangunannya bagus
dan mewah. Orang tidak suka tinggal di sana meskipun gratis. Saya pernah melihat
rumah besar dan megah. Seandainya punya uang, saya ingin membangun rumah
seperti itu. Sayangnya, rumah itu sepi. Rumah sebesar itu diiisi penjaga dan pembantu.
Sementara, pemiliknya sibuk entah ke mana.
Di dalam agama Islam, rumah tidak hanya mengacu kepada bangunan fisik saja,
tetapi lebih pada suasana dan terbentuknya keluarga. Di dalamnya ada visi dan misi
hidup yang luhur. Saya jadi ingat agar kita menjaga diri dan keluarga kita dari api
neraka. Itulah sebabnya, berbicara rumah, tidak bisa dilepaskan dengan berbicara
keluarga dan berumah tangga. Untuk itu, kita perlu menikah terlebih dahulu.
Untuk menikah perlu persiapan. Pernikahan merupakan pertemuan antara
seorang pria dan wanita. Pertemuan dua pribadi yang berbeda. Perbedaan dari latar
belakang sosial, psikologi, budaya, dan lainnya akan menjadi hal menarik ketika
dipertemukan. Itulah sebabnya, Allah menyatakan bahwa pernikahan merupakan
tanda-tanda kekuasaan-Nya. Simak saja Al Quran surat Ar Rum ayat 21.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”
Pernikahan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Siapa jodoh kita, tempatnya di
mana, dengan cara apa kita bisa menikah, berapa jumlah anak kita, bagaimana rupa
anak kita, semuanya adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Saya dikaruniai tiga anak.
Semuanya dari rahim yang sama. Ternyata wajahnya berbeda-beda meskipun ada
garis kemiripannya. Ada anak yang merupakan gabungan dari wajah saya dan wajah
istri; ada yang dominan wajah saya, ada yang dominan wajah istri saya. Saat anak saya
bersama keluarga besar saya, wajah mereka mirip. Anehnya, saat mereka berkumpul
dengan keluarga besar istri saya, wajah mereka juga mirip. Padahal, wajah saya dan
istri saya tidak mirip. Mata saya sipit, sementara mata istri saya lebar; hidung istri saya
mancung dan kecil, sementara hidung saya sedikit besar. Ini berlum berbicara tentang
sifat, kemampuan, kebiasaan, gaya berbicara, gaya berjalan, sungguh semuanya
merupakan kebesaran Allah.
Supaya tenteram, kita perlu menikah. Saya sering bepergian. Semua pulau
besar di Indonesia sudah pernah saya kunjungi. Sering kali, perjalanan ke suatu daerah
memakan waktu yang tidak singkat. Pernah saya pergi ke Sumatra, dijemput oleh travel
pukul 2 atau 3 untuk berangkat ke bandara. Perjalanan ke bandara, menunggu
penerbangan, naik pesawat, ditambah perjalanan darat , ternyata sampai di tujuan
pukul 4 pagi hari berikutnya. Istirahat beberapa jam, dilanjutkan dengan kegiatan.
Dalam kondisi semacam ini, kata pulang atau rumah merupakan saat-saat yang saya
tunggu. Kelelahan selama perjalanan, bisa hilang atau reda setelah tiba di rumah,
bertemu istri dan anak. Ada rasa tentram yang tidak bisa saya jelaskan setelah di
rumah.
Saya pernah mengikuti penataran selama 26 hari di Balai Bahasa Jakarta.
Panitianya begitu baik. Mereka paham betul bahwa para peserta datang dari seluruh
Indonesia yang memiliki keragaman budaya. Oleh karena itu, materi dan penyajinya
pun dipilih. Tidak hanya itu, makanan yang disajikan setiap hari berganti-ganti. Tetapi
tetap saja, semakin lama, saya dilanda kebosanan. Mandi tidak terasa segar dan yang
tidak bisa dibohongi adalah saya rindu pada masakan istri di rumah dan ingin pulang.
Rumah menjadi tempat yang tenteram.
Bila ingin mengenal arti mencintai-dicintai dan menyayangi-disayangi,
menikahlah. Mengapa? Karena dengan menikah kita akan belajar mencintai-dicintai
dan menyayangi-disayangi istri atau suami beserta keluarga besar mereka, juga anak-
anak kita.
Pernikahan merupakan proses belajar yang tidak pernah berhenti. Kita akan
belajar mengenal pasangan kita yang jelas berbeda jenis kelaminnya, berbeda
kebiasaan, selera, etika, norma, adat, organisasi, dan pikiran. Pengenalan ini tidak
hanya dalam hitungan satu dua hari, minggu, atau bulan. Kita perlu mengenal
pasangan kita seumur pernikahan kita. Tidak hanya mengenal, kita perlu menyesuaikan
diri. Penyesuaian diri ini bisa memberi dan menerima, menambah dan mengurangi.
Pasangan bisa menjadi karunia bisa menjadi cobaan buat kita.Tidak hanya pasangan
yang menjadi karunia atau cobaan, anak juga bisa mempunyai kedudukan yang sama.
Saya harus menyesuaikan diri dengan istri, demikian juga sebaliknya. Waktu
kecil, saya sering senang ketika menerima pemberian. Setelah menikah, barulah
merasakan bahwa kebahagiaan itu ketika berbagi. Saat menerima hadiah makanan
atau kue yang enak, yang justru teringat adalah istri dan anak. Kita merasa senang
kalau bisa membawa oleh-oleh ke rumah.
Untuk menikah, tidak perlu harus menunggu mapan dulu. Kita bisa kaya dengan
menikah. Jika kita miskin, Allah akan menjadikan kita mampu dengan karunia-Nya,
bukankah Allah Mahaluas dan Maha Mengetahui. Hal ini dapat kita baca di Al Quran
surat An Nur ayat 32 dan surat An-Nahl ayat 72. Sebelum menikah, gaji saya cukup
untuk keperluan saya selama sebulan, tanpa bisa menabung. Setelah menikah, dengan
penghasilan yang sama, ternyata saya bisa menabung. Setelah itu, penghasilan pun
semakin bertambah dan bertambah.
Setelah menikah, ternyata banyak hal yang saya pelajari. Saya belajar
memperbaiki diri melalui pergauan saya dengan istri. Saya banyak belajar bagaimana
cara mendidik anak dan menata hati melalui anak-anak saya. Saya merasa bahwa
rumah tangga benar-benar sekolah buat saya yang tidak pernah selesai untuk terus
belajar dan belajar lagi.
Saya merasakan bahwa betapa saya menikah tanpa persiapan dan pemahaman
tentang bagaimana berrumah tangga yang ideal menurut agama Islam. Saya menikah
tanpa mengetahui bagaimana membuat visi dan misi, mewujudkannya dalam
kehidupan sehari-hari bersama istri dan anak. Saya merasa sangat terlambat menjadi
imam, ayah, dan suami yang baik. Saya tidak ingin hal ini terjadi pada orang lain.
Sebelum berumah tangga, kita bisa belajar bagaimana membangun mimpi dan
mewujudkannya sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Bagi calon pengantin dan yang sudah berumah tangga, buku ini sangat menarik
untuk dibaca. Buku ini tidak hanya membahas persiapan kita sebelum menikah, tetapi
juga bagaimana membina rumah tangga yang tenang, penuh cinta, kasih, dan sayang.
Buku yang ditulis ahlinya ini membahas problematika dalam rumah tangga beserta
pemecahannya. Tidak hanya itu, buku ini juga membicarakan bagaimana
merencanakan buah hati sebagai investasi dan penerus generasi pejuang umat.
Semoga yang membaca buku ini dikaruniai rumah tangga yang penuh dengan
kedamaian, ketenangan, kelembutan, cinta, kasih, sayang, dan kebahagiaan. Semoga
Dr. H. Fathul Bari, S.S., M.Ag. yang sudah berbagi ilmu melalui buku ini dibalas oleh
Allah SWT dengan kesehatan, pahala yang berlimpah, rejeki yang barokah, keluarga
yang sakinah, mawadah, warohmah, dan jannah. Aamiin.
Prof. Dr. Wahyudi Siswanto
Guru Besar UM Malang