Bismillahirrahmanirrahim
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ النِّكَاحَ سُنَّةَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ
قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً (الرعد: 38). وَجَعَلَهُ سَبَبًا لِلنَّسْلِ الَّذِي بِهِ بَقَاءُ الْإِنْسَانِ
إِلَى يَوْمِ الِّديْنِ ، قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً (النساء: 1). أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
الَّذِى أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِي قُلُوْبِ الْمُتَزَوِّجِيْنَ ، قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
(الروم 21) . اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ أَفْضَلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ الْقَائِلِ : أَصُومُ
وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (رواه البخاري)
وَعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. وَبَعْدُ,
“Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah
adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara
tiada tara adalah keluarga.” Itulah lirik lagu yang berjudul “Harta
Berharga” yang menjadi Ost. (original soundtrack) dari film Keluarga
cemara yang yang diadaptasi dari novel berseri karya Arswendo
Atmowiloto dan sinetron dengan judul yang sama.
Dari lirik lagu ini saya kemudian tertarik untuk mencari tahu isi dari
film tersebut. Sedikit saya sampaikan bahwa Novel atau film tersebut
mengisahkan seorang kepala keluarga yang dipanggil “Abah” yang
awalnya menjadi pengusaha kaya raya sehingga keluarganya memiliki
fasilitas yang serba ada dan dipenuhi dengan keceriaan dan
kebahagiaan namun kemudian bangkrut sehabis-habisnya karena
terkena tipu rekan kerjanya. Saat itulah keluarga ini menjalani hidup
yang berat sekali, orang yang pernah tinggal dengan fasilitas serba ada,
sekarang harus pindah ke rumah petak serba terbatas. Disinilah Abah
memiliki tugas yang berat untuk menjadikan anak istri bisa menerima
keadaan dan lambat laun mereka mendapatkan kebahagiaan yang
dahulu pernah mereka dapatkan walaupun kondisi sekarang berbeda
180 derajat karena mereka sekarang dalam kondisi serba terbatas.
Kisah tersebut memberikan contoh nyata dimana hidup dalam
keterbatasan (baca: kemiskinan) tidak menghalangi mereka untuk
mendapatkan kebahagiannya. Dan memanglah demikian, karena
bahagia bukanlah monopoli keluarga sultan yang kaya raya dengan
bergelimang fasilitas yang serba ada namun bahagia juga bisa
didapatkan oleh siapa saja yang tahu cara mendapatkannya lalu
menerapkannya.
Keluarga itu sendiri adalah sumber kebahagiaan yang utama dalam
kehidupan. Orang yang bergelimang harta, memiliki jabatan tinggi
namun ia hidup sendirian, tidak memiliki keluarga maka
kebahagiaannya tidak akan sempurna. Bukankah kenikmatan surga
dengan semua fasilitas yang serba ada, dirasa hampa oleh Nabi Adam
dan kurang sempurna tanpa kehadiran Siti Hawa di sisinya.
Kebahagiaan dalam keluarga tercermin dalam 3 perkara yaitu Sakinah,
mawaddah wa rahmah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam
firmannya :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan
dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh
sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan
rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-
tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” [QS Ar-Rum : 21]
Menurut ayat tersebut, pernikahan merupakan keterpaduan antara
ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang
(rahmah) atau disingkat SAMARA.
Ibnu Katsir berkata : Mawaddah berarti mahabbah atau cinta, Rahmah
berarti ra’fah atau belas kasih. Seorang suami tetap mempertahankan
rumahtangganya boleh jadi karena masih cinta kepada istrinya, atau
karena belas kasihan kepadanya karena pertimbangan anaknya, atau si
istri membutuhkan nafkah darinya atau karena ulfah, saling cinta dari
keduanya. [Tafsir Ibnu Katsir] Dan Ibnu Abbas RA berkata :
اَلْمَوَدَّةُ حُبُّ الرَّجُلِ اِمْرَأَتَهُ ، وَالرَّحْمَةُ رَحْمَتُهُ إِيَّاهَا أَنْ يَصِيْبَهَا بِسُوْءٍ
“Mawaddah adalah rasa cinta kasih seorang laki-laki kepada istrinya,
sementara rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya yang
membuatnya khawatir istri tertimpa kejelekan atau bahaya.[Tafsir Al-
Qurthubi]
Rumah (tangga) sebagai tempat tinggal keluarga dalam bahasa Arab
disebut dengan “Maskan” yang berarti tempat sakinah (ketenangan).
Benarlah demikian, jika seseorang memiliki masalah di tempat kerja
maka ketika ia sampai di rumah ia akan menjadi tenang, jika seseorang
memiliki masalah di jalan maka ketika ia sudah berada di rumah ia akan
menjadi tenang, namun bagaimana jika ia memiliki masalah di dalam
rumah? tentu ini akan menjadi masalah yang sangat besar karena
dimana lagi ia akan menemukan ketenangannya?
Keluarga merupakan hal yang sangat penting untuk kita perhatikan
dalam kehidupan kita maka dari itu Rasul SAW menjadikan kebaikan
kepada keluarga sebagai barometer kebaikan sebagaimana Rasul SAW
bersabda :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Lelaki terbaik diantara kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya
dan aku adalah lelaki terbaik untuk keluarganya” [HR Turmudzi]
Hadits ini juga menegaskan bahwa Nabi SAW merupakan Uswah
hasanah (suri tauladan) dalam urusan keluarga. Dengan demikian
seharusnya kita sebagai kaum muslimin, ummat Nabi Muhammad SAW
menjadikan beliau sebagai suri tauladan dalam kehidupan keluarga kita
sehai-hari. Dan buku serial ODOH ke 6 ini memuat berbagai teladan dan
ajaran Nabi Muhammad SAW dalam lingkup keluarga untuk kita jadikan
pedoman dalam membina keluarga samara, sakinah mawaddah wa
rahmah.
Pembahasan dalam buku ini dimulai dengan motivasi menikah dan cara
memilih wanita yang akan dinikahi. Kemudian membahas masalah
prosesi khitbah (melamar), menetapkan mahar hingga hal ihwal
penyelenggaraan pernikahan.
Pada bagian kedua buku ini menyuguhkan pengertian keluarga samara
dilanjut dengan suri tauladan Nabi SAW dalam urusan keluarga,
bagaimana keromantisan beliau dengan istri dan potret kehidupan
keluarga beliau.
Pada bagian ketiga, membahas perspektif dan kiat-kiat membina rumah
tangga bahagia. Dan Pada bagian keempat, membahas problematika
rumah tangga dan solusinya mulai menyambut buah hati, mengelola
kecemburuan, selingkuh hingga perceraian.
Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu
meneladani suri taudalan Nabi SAW dalam berbagai sendi kehidupan
termasuk dalam upaya membina keluarga sehingga keluarga kita
menjadi sakinah mawaddah wa rahmah. Amin..
Malang, 3 Mei 2022
Penulis,
DR.H.Fathul Bari, SS.,M.Ag