ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Habibah Binti Abi Tajrah, Rasul
SAW bersabda :
اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ
السَّعْيَ
Lakukanlah sa’i, sesungguhnya Allah telah
mewajibkan sa’i atas kalian. [HR Ahmad]
Catatan Alvers
Di antara rukun haji dan umrah adalah sai. Rukun
berarti tidak boleh ditinggalkan karena jika ditinggalkan makan akan menjadikan
haji atau umrahnya batal alias tidak sah. Hal Ini menegaskan betapa pentingnya
ritual sa’i ini. Secara bahasa, sa’i berarti berjalan atau berlari kecil. Dan
secara istilah, Sa’i adalah berjalan atau berlari kecil antara bukit shafa dan
marwa sebanyak tujuh kali dalam rangka menunaikan ibadah haji atau umrah.
Dahulu para sahabat bertanya : (Dari mana kita
memulai sa’i) apakah dari shafa ataukah dari marwah? Maka Rasul SAW menjawab :
إِبْدَأُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
Mulailah dengan apa yang dibuat permulaan oleh
Allah SWT. [i’anatut Thalibin]
Maksudnya adalah mulailah perjalanan sa’i itu dari
shafa ke marwah, karena Allah mendahulukan kata Shafa baru marwa dalam
firman-Nya :
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ
اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ
عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian
dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” [QS
Al-Baqarah: 158].
Ayat ini kemudian dibaca oleh orang yang bersa’i
ketika Mendekati Bukit Marwah ataupun marwah. Terdapat kisah menarik mengenai
QS Al-Baqarah: 158 tersebut dimana Urwah bin zubair salah paham. Ia berkata
kepada bibinya bahwa tidak apa-apa seseorang meninggalkan sai. Mendengar hal
ini Aisyah berkata : Sungguh jelek apa yang negkau katakan, seandainya benar
demikian niscaya difirmankan :
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ - لَا - يَطَّوَّفَ
بِهِمَا
“Maka tidak berdosa seseorang tidak melakukan sa’i
diantara shafa dan marwa”.
Ia pun akhirnya meluruskannya dengan menjelaskan
asbabun nuzulnya. Bahwa dahulu orang jahiliyah mereka mondar-mandir mendatangi
2 berhala, yang satu bernama isafa yang berada di bukit shafa dan yang kedua
bernama na-ila yang berada di bukit marwah. Ketika mereka masuk islam, mereka
enggan melakukan sai karena mirip dengan apa yang mereka lakukan terdahulu maka
Allah menurunkan ayat yang menyatakan tiada ada dosa baginya mengerjakan sai
diantara keduanya. [At-tibyan Fi Ulumil Qur’an]
Shofa terletak kurang lebih 100 m dari Ka'bah.
Marwah terletak sekitar 350 m dari Ka'bah. Jarak antara Shofa dan Marwah
sekitar 450 meter, sehingga perjalanan tujuh kali berjumlah kurang lebih 3,15
kilometer. [wikipedia] Adapun panjang area lampu hijau adalah 100 Meter, dimana
di area tersebut dianjurkan membaca :
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاعْفُ وَتَكَرَّمْ
وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ تَعْلَمُ مَالاَ نَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ
اللهُ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ.
Tuhanku, ampunilah, sayangilah, maafkanlah,
bermurah hatilah dan hapuskanlah apa-apa yang Engkau ketahui. Sesungguh Engkau
Maha Mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Sesungguhnya Engkaulah Allah
Yang Maha Mulia dan Maha Pemurah.
Amalan sai ini menapak tilasi usaha Siti Hajar yang
sedang mencari air untuk anaknya, yaitu Nabi Ismail. Ibnu Abbas berkata :
إِنَّ أَوَّلَ مَنْ سَعَى بَيْنَ الصَّفَا
وَالْمَرْوَةَ لَأُمُّ إِسْمَاعِيْلَ
Orang pertama yang melakukan sa’i antara shafa dan
marwah adalah Ummu Isma’il. [Tafsir thabari]
Hajar berlarian ketika itu di antara shafa dan
marwah untuk mencarikan air untuk anaknya tatkala ditinggal Nabi Ibrahim di
sana sendirian tidak ada orang lainnya. Ketika ia dilanda ketakutan atas
kehausan anaknya dan usahanya seakan sia-sia maka ia meminta pertolongan Allah
Azza Wa Jalla dengan penuh harap dan akhirnya Allahpun memberikan air zam-zam.
Maka hendaknya setiap orang melakukan sa’i dengan hati yang penuh harap akan
pertolongan Allah SWT.
Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati kita untuk menghayati
setiap pekerjaan dalam ibadah umrah dan haji sehingga manasik tidak hanya berupa
ritual fisik belaka namun juga membuat kesan yang mendalam hati kita.