ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang
siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.” [HR Bukhari]
Catatan
Alvers
Mendatangi
undangan walimah merupakan satu kewajiban. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
Hadits (utama) di atas menjadi dalil kewajiban mendatangi undangan (walimah),
karena predikat “maksiat” itu tidak akan disematkan kecuali atas perilaku
meninggalkan perkara yang wajib. [Fathul Bari]. Namun bagaimana hukumnya jika
seseorang mendatangi satu acara walimah tanpa diundang?
Dahulu
di Kufah terdapat seorang lelaki bernama “Thufayl bin Zallal” dari keluarga
bani Abdillah bin Ghathafan. Ia sering mendatangi walimah tanpa diundang.
Karena saking gemarnya makan di tempat walimah maka ia berkata : “Aku ingin
Kota Kufah menjadi bendungan (yang menampung kuah masakan), sehingga aku dengan
mudah menemukan makanan dan tidak ada walimah yang terlewatkan.” Karena ia
terkenal sebagai orang yang sering mendatangi walimah tanpa diundang maka
setiap tamu yang tak diundang dijuluki dengan nama nisbat kepadanya yaitu
“Thufayli” (segolongan dengan Thufayl). [Al-Mufasshal Fi Tarikhil Arab]
Al-Jahidz menceritakan bahwa Thufayl berkata :
حَفِظْتُ الْقُرْآنَ وَنَسِيْتُهُ جَمِيْعَهُ إِلَّا
حَرْفَيْنِ آتِنَا غَدَاءَنَا
Aku
hafal Al-Qur’an namun aku lupa semuanya kecuali dua kata saja yaitu “Atina
Ghada’ana” (Datangkanlah makanan kepadaku) [At-Tadzkirah Al-Hamduniyah]
Ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa kata “Thufayli” berasal dari kata “Thafl”
yang berarti kegelapan. Dinamakan demikian karena orang fakir dari kalangan
bangsa Arab ketika mendatangi jamuan tanpa diundang maka ia datang dengan
menutupi diri dengan kegelapan supaya tidak diketahui. [At-Tadzkirah
Al-Hamduniyah]
Istilah
lain dari “Thufayli” adalah “Dlayfan” (dengan tambahan huruf nun) yaitu orang
yang tidak diundang namun ketika melihat para tamu undangan masuk maka ia ikut
masuk menyusup mengikuti mereka dan shahibul hajat membiarkannya masuk karena
malu untuk melarangnya. Ibnul Imad berkata : Semua yang dimakan olehnya
hukumnya haram. [Fashshul Khawatim fima Qila fil Wala’im] Syeikh Sulaiman
berkata : “Dlayfan” (tamu tak diundang) itu antonim dari kata “Dlayf” (tamu).
[Hasyiyah Al-Jamal Syarhil Minhaj]
Perbuatan
yang dilakukan oleh “Thufayli” dikenal dengan istilah “Tathafful”. Syeikh
Zakaria Al-Anshari berkata :
وَأَمَّا التَّطَفُّلُ وَهُوَ حُضُورٌ لِدَعْوَةٍ
بِغَيْرِ إِذْنٍ فَحَرَامٌ إِلَّا أَنْ يُعْلَمَ رِضَا رَبِّ الطَّعَامِ لِصَدَاقَةٍ
أَوْ مَوَدَّةٍ
Tathafful
adalah mendatangi undangan (khusus) tanpa ijin (tanpa diundang), Hukumnya
adalah haram kecuali jika pemilik makanan (Shahibul hajat) ridlo kepadanya
karena adanya hubungan pertemanan atau rasa suka. [Fathul Wahhab]
Imam
Ibnu Hajar al-Haitami menggolongkannya ke dalam dosa besar. Beliau mencantumkan
Tathafful dalam dosa besar dengan nomor urut 67 dalam kitabnya Az-zawajir
An-iqtirafil Kaba’ir. Beliau menggolongkan Tathafful sebagai perbuatan memakan
harta orang lain dengan cara bathil dan dalam hadits disebutkan :
مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَمَنْ دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَلَ سَارِقًا وَخَرَجَ
مُغِيرًا
“Barang
siapa yang diundang namun ia tidak mendatanginya maka ia telah bermaksiat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa masuk (ke satu acara udangan) tanpa
diundang maka ia masuk sebagai pencuri (yang menyelinap) dan keluar sebagai
perampok (yang terang-terangan).” [HR Abu dawud]
Abu
Dawud sendiri tidak mendla’ifkan (menghukumi lemah) pada hadits ini sehingga
hadits ini bisa dijadikan hujjah menurut Abu Dawud, meskipun para ulama lainnya
mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul atau mukhtalaf.
[Az-zawajir An-iqtirafil Kaba’ir] Dan
Abu Said Al-Khadimy dalam kitabnya Bariqah Mahmudiyah berkata : Dengan demikian
maka seorang Thufayli telah mengumpulkan dua dosa yaitu dosa mencuri dan dosa
merampok. Ada yang mengatakan bahwa sanad hadits tersebut Dla’if (lemah) namun
demikian hadits tersebut memiliki syahid dalam Al-qur’an yaitu :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا
غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah
kalian sebelum meminta izin... [QS An-Nur : 27]
Dan
Imam Syafii berkata : Barang siapa yang menghadiri walimah (khusus) tanpa
undangan, tanpa adanya darurat dan tanpa ijin, lalu ia mengulangi perbuatannya
itu maka ia menjadi tertolak persaksiannya karena ia telah memakan makanan
haram. [Al-Umm] Syeikh Sulaiman berkata :
فَلَوْ دَعَا عَالِمًا أَوْ صُوْفِيًّا فَحَضَرَ
بِجَمَاعَتِهِ حَرُمَ حُضُورُ مَنْ لَمْ يُعْلَمْ رِضَا الْمَالِكِ بِهِ مِنْهُمْ
Jika
seorang ulama atau shufi diundang kemudian ia hadir bersama jamaahnya maka
jamaahnya diharamkan masuk ke dalam acara walimah jika tidak diketahui status
ridlo atau ijin dari shahibul bayt. [Hasyiyah Al-Jamal Syarhil Minhaj]
Pada
suatu hari, Abu Syuaib menyuruh pembantunya yang ahli memasak daging untuk
memasak makanan untuk menjamu lima orang termasuk Rasul SAW. Lalu Iapun
mengundang beliau. Rasul SAW pun mendatangi undangan tersebut bersama empat
orang lainnya. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mengikuti beliau. Maka
Rasulullah SAW meminta ijin kepada Abu Syuaib, Beliau berkata “Engkau
mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami.
فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ
Jika
engkau mau, ijinkan ia! Namun jika tidak engkau ijinkan maka tinggalkan saja
dia.”
Kemudian
Abu Suaib berkata : “Aku mengijinkannya.” [HR Bukhari]
Demikianlah
yang dicontohkan oleh Rasul SAW. Beliau meminta ijin kepada shahibul bayt
(orang yang mengundang) jika ada orang yang tak diundang ikut hadir dalam acara
walimah, baik atas inisiatif dia sendiri dalam mengikuti kita seperti kisah
tadi atau inisiatif kita untuk mengajaknya seperti kisah berikut ini.
Anas
RA menceritakan bahwa Rasul mempunyai tetangga seorang bangsa Persia yang
pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan untuk beliau. Setelah itu
dia datang mengundang beliau. Beliau bertanya: "Aisyah bagaimana (apakah
aku boleh mengajaknya datang)?" orang itu menjawab; “Dia tidak!” Rasul bersabda: "Kalau begitu aku juga
tidak (mau datang)!" Orang itu mengundang beliau lagi (kedua kali).
Rasulullah SAW bertanya: "'Aisyah bagaimana? '" orang itu menjawab;
'Dia tidak! ' Rasul bersabda: "Kalau begitu aku juga tidak!" Orang
itu mengundang beliau lagi (ketiga kali). Rasulullah SAW bertanya:
"'Aisyah bagaimana? '" orang itu menjawab pada ketiga kalinya; 'Ya,
Aisyah juga.' Maka Rasul bangkit dan pergi bersama Aisyah secara beriringan ke
rumah tetangga tersebut. [HR Muslim] Orang persia tersebut pada awalnya tidak
mengundang Aisyah boleh jadi karena makanan yang disediakannya sedikit sehingga
ia ingin menghidangkannya kepada Nabi SAW secara sempurna. [Al-Minhaj Syarah
Muslim]
Wallahu A’lam.
Semoga Allah Al-Bari membuka hati kita untuk memenuhi setiap undangan dengan tidak
membawa serta orang lain yang tak diundang melainkan atas seizin shahibul bayt
dan kita tidak menjadi tamu tak diundang.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul
Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren
Wisata
AN-NUR 2 Malang
Jatim
Ngaji dan Belajar
Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok
Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni
Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada.
Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus
setelah wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]