ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatakan dari
Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا
يَتَمَثَّلُ بِي
Barang siapa yang
melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa
menyerupai wujudku. [HR Muslim]
Catatan Alvers
Jemaah Masjid
Aolia di Gunungkidul, DIY merayakan Idul Fitri dan menggelar Salat Ied, Jumat
(5/4/2024) kemarin, jauh lebih awal dibandingkan dari penetapan pemerintah.
Selaku Imam, pria yang akrab disapa Mbah Benu mengungkapkan dasarnya. Ia
berkata : "Saya tidak pakai perhitungan (untuk menentukan Idul Fitri).
Saya telpon langsung kepada Allah SWT, 'Ya Allah ini sudah 29, satu syawalnya
kapan?' Allah SWT mengatakan tanggal 5 Jumat". [suarapemredkalbar com]
Sontak pernyataan sang imam tersebut menuai kontroversi karena penetapan idul
fitri tidak berdasarkan aturan baku yaitu rukyah atau hisab, melainkan
berdasarkan kepada “telpon” kepada Allah.
Memang Informasi
dari Allah atau informasi Rasul dalam mimpi adalah satu kebenaran namun dalam
hal ini ada beberapa hal yang dipermasalahkan. Pertama, memang bermimpi nabi
adalah satu perkara yang benar sebagaimana disebutkan pada hadits utama yaitu
Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihat aku
karena setan tidak bisa menyerupai wujudku. [HR Muslim] Namun yang menjadi
masalah apakah orang yang mengaku dirinya bermimpi Nabi betul-betul bermimpi
dengan benar. Dari sinilah maka bermimpi nabi tidak bisa dijadikan dasar dalam
penentuan idul fitri. Syeikh Zakaria Al-Anshari berkata :
وَلَا بِرُؤْيَةِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي النَّوْمِ
قَائِلًا غَدًا مِنْ رَمَضَانَ، لِبُعْدِ ضَبْطِ الرَّائِي، لَا لِلشَّكِّ فِي
الرُّؤْيَةِ.
penentuan idul
fitri tidak bisa didasarkan dengan melihat Nabi SAW dalam mimpi, dimana beliau
bersabda bahwa besok adalah permulaan ramadhan (atau idul fitri) hal ini
dikarenakan sulitnya memastikan kebenaran pengakuan sebuah mimpi, bukan karena
meragukan kebenaran mimpi Nabi SAW. [Minahajut Thullab]
Ibnu Hajar
al-haytami lebih lanjut menjelaskan: “Penentuan idul fitri tidak bisa
didasarkan kepada mimpi melihat Nabi SAW, Muraqabah ataupun Kasyaf (terbukanya
hijab). Maka haram hukumnya berpuasa atau berhari raya dengan berpedoman kepada
hal-hal tersebut dan tidaklah bisa dijadikan pertimbangan hukum atas pengakuan
bahwa seseorang mendengar dari sosok (Nabi) yang tidak bisa diserupai oleh
setan dikarenakan tidak adanya cara untuk memastikan kebenaran dari pengakuan
tersebut. Hukum Allah itu tidak bisa diterima kecuali dari lafadz atau
instimbath (menggali hukum) adapun mimpi dan semacamnya tidak termasuk salah
satu dari keduanya. Maka disini ada kontradiksi, jika demikian maka dipilihlah
yang rajih, yaitu dalam kondisi terjaga (bukan mimpi)”. [Tuhfatul Muhtaj]
Kedua, seseorang
tidaklah mampu melihat ataupun berkomunikasi dengan Allah SWT secara langsung.
Abu Dzar RA pernah bertanya kepada Nabi SAW apakah beliau dapat melihat Allah
secara langsung? Maka beliau menjawab :
نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
“(Terhalang oleh)
cahaya, maka bagaimana bisa aku melihat-Nya”. [HR Muslim]
Ketidakmampuan
manusia melihat Allah di dunia digunakan celah oleh setan untuk mengaku-ngaku
sebagai Tuhan dengan menampakkan dirinya kepada ahli ibadah yang minim ilmu dan
disinilah banyak orang disesatkan oleh setan. Hal ini sebagaimana pernah
menimpa Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Pada satu malam terdapat cahaya yang
besar memenuhi ufuk yang tampak kepda beliau kemudian terdengar suara :
يَا عَبْدَ الْقَادِرِ أَنَا رَبُّكَ، قَدْ حَلَّلْتُ تِلْكَ
الْمُحَرَّمَاتِ
“Wahai Abdul
Qadir. Aku adalah tuhanmu. Sungguh, Aku telah menghalalkan untukmu semua
hal-hal yang haram.”
Lalu Syeikh Abdul
Qadir berkata : “Enyahlah kau, wahai makhluk terkutuk!” Seketika itu, cahaya
tersebut berubah menjadi gelap dan terdapat asap yang merupakan perwujudan
setan berkata : “Wahai Abdul Qadir! engkau telah selamat dariku lantaran
pengetahuanmu tentang Rabbmu dan ilmu fikihmu.
وَلَقَدْ أَضْلَلْتُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْوَاقِعَةِ سَبْعِيْنَ مِنْ
أَهْلِ الطَّرِيْقِ
Sungguh aku telah
menyesatkan tujuh puluh orang dari kalangan ahli ibadah dengan cara seperti
ini.” [At-Thabaqat Al-Kubra Lis Sya’rany]
Ketidakmampuan
manusia berkomunikasi secara langsung dengan Allah ditegaskan oleh Allah SWT
dalam firman :
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ
مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء
إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak mungkin
bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (seperti yang dialami oleh Nabi Musa
AS) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi
Maha Bijaksana. [As-Syura : 51]
Di sinilah
pentingnya ilmu sehingga orang bisa terhindar dari jebakan setan karena ia bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Orang yang ahli ibadah namun
minim ilmu, mereka menjadi sasaran empuk setan. Rasulullah SAW bersabda:
فَقِيهٌ
وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
"Satu orang
ahli fikih itu lebih berat bagi setan dari pada seribu ahli ibadah." [HR
Ibnu Majah]
Ketiga, wahyu
telah terputus pasca wafatnya Nabi SAW sehingga tidak ada lagi syariat
melainkan bersumber dari Al-Quran dan hadits. Tidak lama setelah Rasulullah SAW
wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar; 'Ikutlah dengan kami menuju ke rumah Ummu
Aiman untuk mengunjunginya sebagaimana Rasul mengunjunginya. Dan ketika kami
telah sampai di tempatnya, Ummu Aiman pun menangis. Lalu mereka berdua berkata
kepadanya; Kenapa kau menangisi beliau, bukankah apa yang ada di sisi Allah itu
lebih baik bagi RasulNya SAW? Ia menjawab: Bukanlah aku menangis karena aku
tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi RasulNya,
وَلَكِنْ أَبْكِي أَنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ مِنَ السَّمَاءِ
“akan tetapi aku
menangis karena dengan wafatnya beliau berarti wahyu dari langit telah
terputus”. [HR Muslim]
Dari sini jelaslah
bahwa tidak ada wahyu dan syariat baru lagi pasca wafatnya Nabi SAW. Dengan
demikian bahwa mimpi atau bisikan bahkan telepon yang disebut bersumber dari
Allah itu bertentangan dengan syariat yang sudah ditetapkan oleh Nabi SAW dimana beliau bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
"Berpuasalah
kalian karena melihat hilal (hilal Ramadhan) dan berharirayalah kalian karena
melihat hilal (hilal syawal), jika hilal terhalang awan maka sempurnakanlah
bilangan bulan sya'ban (30 hari). [HR Bukhari]
Maka pernyataan
sang imam masjid gunung kidul di atas nyata-nyata salah dan keliru. Jikapun
bisikan itu benar adanya maka itu bukan bersumber dari Allah melainkan itu dari
setan yang ingin menyesatkan manusia.
Wallahu
A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu mempelajari
syariat dan berpegang teguh kepadanya sehingga kita bisa terhindar dari tipu
daya dan rekayasa setan dan tidak mengikuti orang-orang yang disesatkan olehnya.
Salam
Satu Hadits
Dr.H.Fathul
Bari.,SS.,M.Ag
Pondok
Pesantren Wisata
AN-NUR
2 Malang Jatim
Ngaji
dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo
Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu
Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada
supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia
maya dan menjadi amal jariyah kita semua.