إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Monday, April 22, 2024

SUGUHAN TERBAIK

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari ibnu Abbas RA, Nabi SAW bersabda :

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

“Selamat datang kepada para tamu (delegasi Abdil Qays) yang datang, tanpa merasa terhina dan menyesal.” [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Tidak hanya memerintah untuk memuliakan tamu, Rasul SAW juga merupakan teladan dalam memuliakan tamu bahkan semenjak ketika beliau belum diutus menjadi nabi. Selepas pulang dari gua hira pasca bertemu malaikat Jibril, beliau menggigil ketakutan sehingga meminta agar diselimuti. Khadijahpun menenangkan hati beliau dengan menceritakan kebaikan-kebaikan beliau diantaranya adalah memuliakan tamu. Khadijah berkata :

كَلَّا أَبْشِرْ فَوَاللَّهِ لَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا فَوَاللَّهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ... وَتَقْرِي الضَّيْفَ

"Tidak, Demi Allah, tidaklah Allah akan menghinakanmu selamanya, Demi Allah sesungguhnya engkau adalah orang yang menjaga silahturahim, .... dan menyuguhi tamu. “ [HR Bukhari]

 

Al-Baydlawi berkata : “Orang Arab memiliki akhlak yang baik dengan menjalankan apa yang tersisa dari ajaran Nabi Ibrahim AS, dan mereka tersesat dengan menentang (kufur) pada sebagian besar ajarannya. Maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. [Mirqatul Mafatih] Dan di antara  akhlak yang baik adalah memuliakan tamu. Ats-Tsa’aliby berkata :

إِكْرَامُ الْأَضْيَافِ مِنْ عَادَاتِ الْأَشْرَافِ

Memuliakan para tamu adalah kebiasaan dari orang-orang mulia. [At-Tamtsil Wal Muhadlarah]

 

Ibnu Abbas RA berkata :” Allah memberikan harta yang banyak dan para pembantu kepada Nabi Ibrahim, Khalilullah. Nabi Ibrahim membuat rumah khusus untuk menjamu tamu dengan memiliki dua pintu, yaitu satu pintu untuk masuk dan satu pintu untuk keluar. Di dalamnya terdapat meja yang di atasnya terdapat suguhan untuk tamu dan juga disediakan pakaian musim panas dan musim dingin. Maka tamu yang masuk ia memakan hidangan lalu memakai pakaian jika ia tidak memiliki pakaian”. [Ghida’ul Albab]

 

Dari Nabi Ibrahim kita belajar bagaimana menyediakan ruang tamu di rumah kita. Diriwayatkan dari Anas RA, bahwa beliau bersabda :

إِنَّ زَكَاةَ الرَّجُلِ فِي دَارِهِ أَنْ يَجْعَلَ فِيهَا بَيْتًا لِلضِّيَافَةِ

Sesungguhnya zakat (dari rumah) seseorang adalah ia menjadikan satu ruangan di dalam rumahnya untuk menerima tamu. [Syu’abul Iman]

 

Kita tidak akan maksimal memuliakan tamu jika kita tidak memiliki ruangan khusus untuk menerima tamu. Setelah itu barulah kita menyambut mereka dengan hangat sebagaimana hadits utama di atas Rasul SAW bersabda : “Selamat datang kepada para tamu yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” [HR Bukhari]

 

Selanjutnya adalah menyuguhkan hidangan kepada tamu dengan tanpa memaksakan diri. Sahabat Salman RA berkata :

نَهَانَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم أَنْ نَتَكَلَّفَ لِلضَّيْفِ مَا لَيْسَ عِنْدَنَا وَأَنْ نُقَدِّمَ مَا حَضَرَ

Rasul SAW melarang kami untuk memaksakan diri (di luar kemampuan) dalam menyuguhi tamu dari apa-apa (makanan) yang tidak kami miliki dan hendaknya kita menyuguhkan apa yang ada. [Syu’abul Iman]

 

Maka suguhkanlah makanan yang ada. Jabir bin Abdillah berkata :

هَلَاكُ الرَّجُلِ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهِ الرَّجُلِ مِنْ إِخْوَانِهِ، فَيَحْتَقِرُ مَا فِي بَيْتِهِ أَنْ يَقْدِمَهُ إِلَيْهِ، وَهَلَاكُ الْقَوْمِ أَنْ يَحْتَقِرُوا مَا قُدِّمَ إِلَيْهِم.

Kebinasaan seseorang (pemilik rumah) adalah ketika ada saudaranya masuk rumahnya lalu ia meremehkan makanan yang dimilikinya untuk disuguhkan kepada saudaranya (sehingga tidak jadi disuguhkan), dan kebinasaan satu kaum (tamu) adalah mereka yang meremehkan makanan yang disuguhkan. [Syarhus Sunnah lil Baghawy]

 

Maimun bin Mihran berkata : “Jika engkau kedatangan tamu maka jangan engkau memaksakan diri menyuguhkan makanan yang engkau tidak mampu menghidangkannya. Berilah ia makanan sebagaimana yang dimakan oleh keluargamu dan berilah wajah yang berseri-seri karena jika engkau memaksakan diri diluar kemampuanmu maka boleh jadi engkau menemuinya dengan wajah yang tidak menyenangkan”. [Syu’abul Iman]

 

Maka jangan jadikan makanan untuk suguhan tamu sebagai beban berat, suguhkanlah sesuai dengan kemampuan dan ingatlah bahwa makanan suguhan untuk tamu itu hakikatnya adalah rezeki yang disediakan Allah untuk mereka. Syaqiq Al-Balakhi berkata :

لَيْسَ شَيْئٌ أَحَبَّ إِلَيَّ مِنَ الضَّيْفِ لِأَنَّ رِزْقَهُ عَلَى اللهِ وَأَجْرَهُ لِي

Tiada sesuatu yang lebih aku sukai daripada tamu karena rizkinya (suguhan untuk tamu) ditanggung oleh Allah sementara pahalanya (dan balasan dari memuliakan tamu) itu untukku. [Siyaru A’lamin Nubala]

 

Sambutlah tamu dengan wajah berseri-seri serta perasaan gembira sebab dibalik menyuguhkan makanan kepada tamu itu ada banyak keutamaan. Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Setiap nafkah yang seseorang membelanjakannya untuk dirinya, kedua orangtuanya dan seterusnya itu pasti akan dihisab melainkan nafkah (makanan) yang dibelanjakan seseorang untuk menjamu tamunya maka Allah malu untuk mempertanyakan hal itu kepadanya”. [Ihya Ulumiddin]

 

Diriwayatkan dari sebagian Ulama Khurasan, (sebelah Timur jazirah Arab, meliputi Iran, Afghanistan, dll.) bahwasannya ia menyuguhkan banyak makanan kepada para tamunya sehingga para tamu tidak mampu menghabiskan makanan tersebut dari banyaknya. Apa yang dilakukannya ini dikarenakan telah sampai kepadanya hadits “Sesungguhnya para tamu tatkala mengangkat tangan mereka dari makanan (ketika telah selesai makan) maka orang (pemilik rumah) yang memakan sisa makanan tamu tersebut tidak akan dihisab di hari kiamat nanti. [Ihya Ulumiddin]

 

Dan karena saking semangatnya dalam menjamu tamu, Yahya bin Muadz berkata :

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا لُقْمَةً فِي يَدِي لَوَضَعْتُهَا فِي فَمِ ضَيْفِي

Seandainya dunia ini berwujud makanan yang ada ditanganku niscaya aku suapkan ke mulut tamuku. [At-Tamtsil Wal Muhadlarah]

 

Tidak hanya memberikan suguhan berupa makanan namun yang tak kalah penting adalah menyuguhkan muka yang berseri-seri dan senang dengan kedatangan tamu. Suatu ketika Al-Awza’i ditanya mengenai bagaimana cara memuliakan tamu maka beliau menjawab :

طَلاَقَةُ الْوَجْهِ وَطِيْبُ الْكَلَامِ

Muka yang berseri-seri dan perkataan yang baik. [Syarhus Sunnah lil Baghawy]

Bahkan ada qil (maqalah, bukan hadits) yang berkata :

اَلْبَشَاشَةُ فِي الْوَجْهِ خَيْرٌ مِنَ الِقرَى

Muka yang berseri-seri (kepada tamu) itu lebih baik daripada suguhan makanan. [Al-Jiddu Al-Hatsits]

 

Maka jika kita memberikan suguhan terbaik kepada para tamu nsicaya mereka pulang dengan tanpa merasa terhina dan menyesal sebagaimana ungkapan Nabi dalam menyambut delegasi diatas.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu menyambut tamu dengan senang hati dan wajah yang berseri-seri sebab kedatangan mereka pada hakikahnya membawa berkah untuk kita.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Sunday, April 14, 2024

GULUSUDA

 

ONE DAY ONE HADITH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”[HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Di momen hari idul fitri, sanak saudara saling berkunjung ke rumah satu sama lainnya. Momen ini merupakan momen yang tepat karena sebagian besar orang sama-sama libur dan cuti hari raya sehingga memiliki banyak waktu untuk saling silaturahmi. Tidak seperti hari-hari biasa yang mereka sibuk berada di luar rumah untuk urusan pekerjaan, belajar ataupun urusan lainnya.

 

Sebagai tuan rumah, atau shohibul bayt maka kita dituntut agar menjadi tuan rumah yang baik karena memuliakan tamu merupakan cerminan kemuliaan dan keimanan seseorang sebagaimana hadits utama di atas. Ada prinsip orang jawa yang familier dalam menemui tamu yang dikenal dengan istilah “Gupuh (menyegerakan), lungguh (mempersilahakan duduk), suguh (memberikan suguhan) dawuh (berkata-kata baik)” yang saya singkat dengan istilah GULUSUDA. Hal ini merupakan prinsip yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam dalam menghormat tamu. 

 

Gupuh atau menyegerakan diri untuk melayani tamu dengan “Lungguh” atau mempersilahkan masuk rumah dan duduk lalu “Suguh” atau memberikan suguhan dan “Dawuh” mempersilahkan tamu untuk menikmari suguhan. Hatim Al-'Asham berkata:

اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا فِي خَمْسَةٍ فَإِنَّهَا مِنْ سُنَّةِ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم

“Tergesa-gesa adalah berasal dari setan, kecuali dalam lima perkara, Maka itu termasuk sunnah Nabi SAW”. yaitu; (1) “Ith’amud Dlayf” (Menyuguhkan makanan kepada tamu) (2) Mengurus jenazah (3) Menikahkan gadis, (4) Melunasi hutang, dan (5) bertaubat dari dosa. [Ihya Ulumuddin]

 

Dalam Al-Qur’an diceritakan bagaimana Nabi Ibrahim menyegerakan diri dalam melayani tamu. Allah SWT berfirman : “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salam”. Ibrahim menjawab: “Salam (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal”.

فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

“Lalu Ibrahim pergi dengan cepat menemui istrinya, kemudian datang dengan membawa (daging) anak sapi yang gemuk (terbaik). Lalu dihidangkannya kepada tamu-tamu tersebut. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan”. [QS ad-Dzariyat: 24 – 27]

Lafadz “Fa-Ragha” di dalam tafsir diartikan sebagai “Insalla Khufyatan fi sur’atin” pergi secara diam-diam dengan cepat. [Tafsir Ibnu Katsir] Ia pergi menemui istrinya untuk menyiapkan makanan dengan cepat dan diam-diam supaya tidak menggaggu perasaan para tamu. Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim di sini adalah sebagai wujud Gupuh – Lungguh – Suguh - Dawuh.

 

Ibnu Katsir berkata : Dari ayat ini terdapat beberapa tata krama menerima tamu yaitu (1) “Ragha Ila Ahlihi” menyuguhkan hidangan dengan cepat tanpa memberi tahukan kepada tamu mengenai persiapan hidangan tersebut sehingga tidak memberatkan hati para tamu. Nabi Ibrahim tidak berkata kepada tamu : maukah aku siapkan makanan untukmu? (2) “Ijlin Samin ay Min Khiyari Malihi” memberikan suguhan makanan yang terbaik. (3) “Qarrabahu” Meyuguhkan makanan dengan mendekatkan makanan kepada tetamu. (4) “Ala Ta’kulun” Mempersilahkan tamu untuk mencicipi hidangan dengan perkataan yang baik seperti “Monggo” (dalam bahasa jawa yang artinya mari, silahkan). [Tafsir Ibni Katsir]

 

Maka di momen kedatangan tamu seperti hari raya ini sebaiknya jajanan dan hidangan telah disiapkan diatas meja supaya dengan mudah dan cepat kita menghidangkannya. Bahkan menyiapkan makanan untuk tamu memiliki keutamaan tersendiri sebagaimana Rasul SAW bersabda :

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَزَالُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَتْ مَائِدَتُهُ مَوْضُوعَةً

Sesungguhnya para malaikat mendoakan salah seorang di antara kalian selama suguhan tamunya ditata (siap sedia). [HR Thabrani]

 

Dengan teladan menjamu tamu sebagaimana diatas maka Nabi Ibrahim mendapatkan gelar yang mulia. Diriwayatkan dari Ikrimah, ia berkata :

كاَنَ إِبْرَاهِيْمُ يُكْنَى أَبَا الضِّيْفَانِ وَكَانَ لِقَصْرِهِ أَرْبَعَةُ أَبْوَابٍ لِكَيْلَا يَفُوْتَهُ أَحَدٌ

Nabi Ibrahim AS digelari sebagai “Abud-Dlifan” (Bapaknya para tamu).Rumahnya memiliki 4 pintu untuk memudahkan para tamu yang hendak masuk kerumahnya sehingga tidak seorangpun terhalang dari pintu rumahnya. [Syu’abul Iman]

Selaku tuan rumah janganlah merasa berat dalam menjamu tamu sebab pada hakikatnya tamu itu tidak merugikan bahkan sebaliknya, aia akan mendatangkan manfaat untuk tuan rumah. Di dalam hadits disebutkan :

إِذَا دَخَلَ الضَّيْفُ عَلَى الْقَوْمِ دَخَلَ بِرِزِقْهِ، وَإِذَا خَرَجَ خَرَجَ بِمَغْفِرَةِ ذُنُوْبِهِمْ

Jika tamu masuk ke dalam satu rumah kaum maka ia masuk rumah dengan rizikinya sendiri dan tatkala keluar maka ia keluar dengan mendatangkan maghfirah (ampunan) dari dosa-dosa kaum tersebut (pemilik rumah). [Faidlul Qadir]

 

Al-Munawi berkata : Maksudnya “tamu masuk rumah dengan membawa riziki” adalah Allah akan memberi keberkahan kepada pemilik rumah sebab menerima tamu tersebut dan Allah akan mengganti biaya yang dikeluarkan untuk suguhan tamu bahkan melebihkannya. Dan bersamaan dengan keluarnya tamu maka Allah mengampuni dosa-dosa pemilik rumah sebagai bentuk balasan dari Allah atas perbuatannya memuliakan tamunya. [At-Taysir Bisyarhil Jami’ As-Shagir]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu memuliakan tamu dengan senang hati dan mengharap imbalan keberkahan dari Allah SWT.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Saturday, April 13, 2024

NGANTUK, TIDURLAH

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Anas RA, Nabi SAW bersabda :

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَنَمْ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقْرَأُ

"Jika salah seorang antara kalian mengantuk saat shalat, hendaknya ia tidur sampai ia mengetahui apa yang ia baca” [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Tujuh orang korban meninggal dunia, 15 orang mengalami luka ringan dan 12 orang sisanya dinyatakan selamat dalam peristiwa kecelakaan tunggal bus “RI” yang terjadi terjadi di KM 370 A ruas Tol Batang-Semarang pada (11/4/2024), sekitar pukul 06.35 WIB. . [Kompas com]

 

Di momen mudik hari raya banyak beredar berita kecelakaan diantaranya yang menimpa bus diatas. Menurut polisi, faktor itu yang membuat sopir mobil bus tersebut  hilang kendali. Sopir bus mengantuk dan terjadi microsleep, sehingga mengakibatkan bus ke luar jalur. Fakta di lapangan juga belum ditemukan jejak rem. Kemudian dari keterangan pengemudi bus, memang dari awal ia sudah lelah. [Kompas com]

 

Banyak penelitian membuktikan, mengemudi lebih lama menyebabkan penurunan kewaspadaan dari waktu ke waktu. Kondisi jalan yang lurus tanpa hambatan seperti jalan tol cenderung menyebabkan pengemudi merasa bosan dan memicu rasa kantuk setelah perjalanan panjang. Maka sepanjang ruas jalan tol banyak disediakan rest area agar pengemudi bisa beristirahat sejenak supaya tidak mengantuk ketika menyetir.

 

Mengantuk tidak hanya berbahaya ketika berkendara, mengantuk juga berbahaya ketika seseorang sedang beribadah. Mengantuk ketika menyetir akan menyebabkan celaka dunia dan mengantuk ketika ibadah akan menyebabkan celaka akhirat. Maka dari itulah orang yang mengantuk saat ibadah dianjurkan oleh Rasl SAW untuk tidur. Dalam hadits utama di atas disebutkan "Jika salah seorang antara kalian mengantuk saat shalat, hendaknya ia tidur sampai ia mengetahui apa yang ia baca” [HR Bukhari] Dalam riwayat Aisyah disebutkan alasannya, Rasul SAW bersabda :

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

"Jika salah seorang diantara kalian mengantuk ketika sedang shalat maka hendaknya ia tidur hingga kantuknya hilang karena sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian shalat dalam keadaan mengantuk, maka ia tidak tahu mungkin saja ia hendak meminta ampunan namun ternyata justru ia mencela dirinya sendiri." [HR Bukhari]

 

Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata : Maksud dari “mencela dirinya sendiri” adalah mendoakan kejelekan untuk dirinya sendiri dan dikhawatirkan ketika ia berdoa jelek bertepatan dengan waktu yang mustajabah. Dengan demikian alasan ini adalah sebagai bentuk ikhtiyath (kehati-hatian). Alasan lainnya adalah agar seseorang bisa khusyu’ dan menhadirkan hati saat beribadah serta menjauhi perkara yang tidak disukai di dalam ketaatan. [Fathul Bari]

 

 

 

 

Hilangnya kesadaran dari apa yang diucapkan tidak hanya terjadi pada orang yang shalat, namun juga terjadi pada orang yang mabuk. Hal ini sebegaimana pernah dialami oleh Sayyidina Ali pernah yang salah dalam membaca ayat Qur’an gara-gara mabuk. Dalam riwayat imam Tirmidzi. Sahabat Ali bin Abi Thalib RA berkata : “Abdurrahman bin ‘Auf membuatkan makanan untuk kami kemudian ia mengundang kami dan memberi kami khamar kemudian kami meminumnya (sebelum turun larangan minum khamer). Ketika waktu shalat tiba, mereka menjadikanku sebagai imam dan aku (mengalami kesalahan baca yaitu) membaca :

قلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ونحنُ نعبدُ ما تَعبدونَ

“katakanlah hai orang-orang kafir aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah dan kami menyembah apa yang kalian sembah”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat  :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, [QS An-Nisa : 43]

 

Ada kesamaan antara mengantuk dan mabuk yaitu sama-sama tidak mengerti apa yang ia ucapkan, bahkan mabuk dalam surat An-Nisa : 43 oleh Ibnu Abbas RA ditafsiri sebagai mabuk karena mengantuk dan ketiduran (Sakarun Nua’s wa Ghalabatun Nawm). [Tafsir Al-Alusy]

 

Ngantuk adalah kondisi alami ketika tubuh membutuhkan waktu istirahat. [halodoc com] Mengantuk itu sering disebabkan kondisi yang lelah dan kurang tidur makanya Nabi menyuruh orang beribadah dalam kondisi demikian agar ia tidur sebagaimana keterangan hadits utama di atas. Imam nawawi berkata : Perintah seseorang yang beribadah agar ia tidur ketika mengantuk adalah berlaku umum, baik dalam shalat fardlu maupun shalat sunnah, baik di siang hari maupun di malam hari. Akan tetapi tidurnya itu tidak menyebabkan keluarnya waktu shalat fardlu yang mestinya ia kerjakan. [Syarah Muslim]

 

Ketika seseorang banyak beribadah maka hendaklah ia menyadari bahwa badannya juga perlu dijaga kesehatan dan staminanya dengan beristirahat dan tidur dalam waktu yang cukup. Suatu ketika Salman menginap di rumah Abu Darda’, salman mendapatkan Abu Darda’ bangun di tengah malam untuk mengerjakan Qiyamul Lail, namun Salman berkata kepadanya: “Tidurlah.” Beberapa saat kemudian Abu Darda’ bangun lagi untuk mengerjakan Qiyamul Lail, namun Salman berkata kepadanya: “Tidurlah.” Dan ketika di akhir malam, Salman berkata: “Bangunlah. Akhirnya keduanya shalat bersama-sama.” Lalu Salman memberikan nasehat kepada Abu Darda’ :

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya engkau punya kewajiban kepada Rabb-mu, engkau punya kewajiban kepada dirimu, dan engkau juga punya kewajiban kepada bagi keluargamu, maka penuhilah masing-masing kewajiban itu.” Kemudian Abu Darda mengadukan hal ini kepada Nabi SAW, Lalu beliau bersabda : “(Apa yang dikatakan) Salman benar.” [HR Bukhari].

 

 

 

 

 

 

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu mempelajari syariat dan apa yang diajarkan leh Nabi SAW sehingga kita bisa terhindar perbuatan yang bentunya ibadah namun prakteknya mencela Allah dan mendoakan celaka kepada diri sendiri.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Sunday, April 7, 2024

MENELPON ALLAH

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatakan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي

Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa menyerupai wujudku. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Jemaah Masjid Aolia di Gunungkidul, DIY merayakan Idul Fitri dan menggelar Salat Ied, Jumat (5/4/2024) kemarin, jauh lebih awal dibandingkan dari penetapan pemerintah. Selaku Imam, pria yang akrab disapa Mbah Benu mengungkapkan dasarnya. Ia berkata : "Saya tidak pakai perhitungan (untuk menentukan Idul Fitri). Saya telpon langsung kepada Allah SWT, 'Ya Allah ini sudah 29, satu syawalnya kapan?' Allah SWT mengatakan tanggal 5 Jumat". [suarapemredkalbar com] Sontak pernyataan sang imam tersebut menuai kontroversi karena penetapan idul fitri tidak berdasarkan aturan baku yaitu rukyah atau hisab, melainkan berdasarkan kepada “telpon” kepada Allah.

 

Memang Informasi dari Allah atau informasi Rasul dalam mimpi adalah satu kebenaran namun dalam hal ini ada beberapa hal yang dipermasalahkan. Pertama, memang bermimpi nabi adalah satu perkara yang benar sebagaimana disebutkan pada hadits utama yaitu Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihat aku karena setan tidak bisa menyerupai wujudku. [HR Muslim] Namun yang menjadi masalah apakah orang yang mengaku dirinya bermimpi Nabi betul-betul bermimpi dengan benar. Dari sinilah maka bermimpi nabi tidak bisa dijadikan dasar dalam penentuan idul fitri. Syeikh Zakaria Al-Anshari berkata :

وَلَا بِرُؤْيَةِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم - فِي النَّوْمِ قَائِلًا غَدًا مِنْ رَمَضَانَ، لِبُعْدِ ضَبْطِ الرَّائِي، لَا لِلشَّكِّ فِي الرُّؤْيَةِ.

penentuan idul fitri tidak bisa didasarkan dengan melihat Nabi SAW dalam mimpi, dimana beliau bersabda bahwa besok adalah permulaan ramadhan (atau idul fitri) hal ini dikarenakan sulitnya memastikan kebenaran pengakuan sebuah mimpi, bukan karena meragukan kebenaran mimpi Nabi SAW. [Minahajut Thullab]

 

Ibnu Hajar al-haytami lebih lanjut menjelaskan: “Penentuan idul fitri tidak bisa didasarkan kepada mimpi melihat Nabi SAW, Muraqabah ataupun Kasyaf (terbukanya hijab). Maka haram hukumnya berpuasa atau berhari raya dengan berpedoman kepada hal-hal tersebut dan tidaklah bisa dijadikan pertimbangan hukum atas pengakuan bahwa seseorang mendengar dari sosok (Nabi) yang tidak bisa diserupai oleh setan dikarenakan tidak adanya cara untuk memastikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Hukum Allah itu tidak bisa diterima kecuali dari lafadz atau instimbath (menggali hukum) adapun mimpi dan semacamnya tidak termasuk salah satu dari keduanya. Maka disini ada kontradiksi, jika demikian maka dipilihlah yang rajih, yaitu dalam kondisi terjaga (bukan mimpi)”. [Tuhfatul Muhtaj]

 

Kedua, seseorang tidaklah mampu melihat ataupun berkomunikasi dengan Allah SWT secara langsung. Abu Dzar RA pernah bertanya kepada Nabi SAW apakah beliau dapat melihat Allah secara langsung? Maka beliau menjawab :

نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ

“(Terhalang oleh) cahaya, maka bagaimana bisa aku melihat-Nya”. [HR Muslim]

 

Ketidakmampuan manusia melihat Allah di dunia digunakan celah oleh setan untuk mengaku-ngaku sebagai Tuhan dengan menampakkan dirinya kepada ahli ibadah yang minim ilmu dan disinilah banyak orang disesatkan oleh setan. Hal ini sebagaimana pernah menimpa Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Pada satu malam terdapat cahaya yang besar memenuhi ufuk yang tampak kepda beliau kemudian terdengar suara :

يَا عَبْدَ الْقَادِرِ أَنَا رَبُّكَ، قَدْ حَلَّلْتُ تِلْكَ الْمُحَرَّمَاتِ

“Wahai Abdul Qadir. Aku adalah tuhanmu. Sungguh, Aku telah menghalalkan untukmu semua hal-hal yang haram.”

 

Lalu Syeikh Abdul Qadir berkata : “Enyahlah kau, wahai makhluk terkutuk!” Seketika itu, cahaya tersebut berubah menjadi gelap dan terdapat asap yang merupakan perwujudan setan berkata : “Wahai Abdul Qadir! engkau telah selamat dariku lantaran pengetahuanmu tentang Rabbmu dan ilmu fikihmu.

وَلَقَدْ أَضْلَلْتُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْوَاقِعَةِ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الطَّرِيْقِ

Sungguh aku telah menyesatkan tujuh puluh orang dari kalangan ahli ibadah dengan cara seperti ini.” [At-Thabaqat Al-Kubra Lis Sya’rany]

 

Ketidakmampuan manusia berkomunikasi secara langsung dengan Allah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman : 

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir (seperti yang dialami oleh Nabi Musa AS) atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [As-Syura : 51]

 

 

Di sinilah pentingnya ilmu sehingga orang bisa terhindar dari jebakan setan karena ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Orang yang ahli ibadah namun minim ilmu, mereka menjadi sasaran empuk setan. Rasulullah SAW bersabda:

 فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ

"Satu orang ahli fikih itu lebih berat bagi setan dari pada seribu ahli ibadah." [HR Ibnu Majah]

 

Ketiga, wahyu telah terputus pasca wafatnya Nabi SAW sehingga tidak ada lagi syariat melainkan bersumber dari Al-Quran dan hadits. Tidak lama setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata kepada Umar; 'Ikutlah dengan kami menuju ke rumah Ummu Aiman untuk mengunjunginya sebagaimana Rasul mengunjunginya. Dan ketika kami telah sampai di tempatnya, Ummu Aiman pun menangis. Lalu mereka berdua berkata kepadanya; Kenapa kau menangisi beliau, bukankah apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi RasulNya SAW? Ia menjawab: Bukanlah aku menangis karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih baik bagi RasulNya,

وَلَكِنْ أَبْكِي أَنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ مِنَ السَّمَاءِ

“akan tetapi aku menangis karena dengan wafatnya beliau berarti wahyu dari langit telah terputus”. [HR Muslim]

 

Dari sini jelaslah bahwa tidak ada wahyu dan syariat baru lagi pasca wafatnya Nabi SAW. Dengan demikian bahwa mimpi atau bisikan bahkan telepon yang disebut bersumber dari Allah itu bertentangan dengan syariat yang sudah ditetapkan oleh Nabi SAW dimana beliau bersabda :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal (hilal Ramadhan) dan berharirayalah kalian karena melihat hilal (hilal syawal), jika hilal terhalang awan maka sempurnakanlah bilangan bulan sya'ban (30 hari). [HR Bukhari]

Maka pernyataan sang imam masjid gunung kidul di atas nyata-nyata salah dan keliru. Jikapun bisikan itu benar adanya maka itu bukan bersumber dari Allah melainkan itu dari setan yang ingin menyesatkan manusia.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk selalu mempelajari syariat dan berpegang teguh kepadanya sehingga kita bisa terhindar dari tipu daya dan rekayasa setan dan tidak mengikuti orang-orang yang disesatkan olehnya.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.