إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Monday, September 23, 2024

KETIKA BACAAN QUR’AN BERBEDA

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab RA, Rasul SAW bersabda :  

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

"Sesungguhnya Al-Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf maka bacalah apa yang mudah bagi kalian." [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Ada seorang ulama yang menjadi Imam shalat di masjid Istiqlal. Lalu ketika membaca Al-Qur’an, ia membaca dengan bacaan yang berbeda dengan cara baca yang lazim di dengar oleh kebanyakan orang. Ditambah lagi dengan suara beliau yang terkesan seadanya dan jauh dari kata merdu. Tidak pula ia membacanya dengan lagu yang enak di telinga layaknya lagu bacaan imam masjidil haram yang terkenal.

 

Hal ini membuat netizen gaduh. Komentar-komentar liarpun bermunculan sehingga banyak di antara mereka menghujat sang ulama yang memiliki banyak pengikut itu. Mulai mengkritik suara dan lagu bacaan hingga menyalahkan cara baca yang tidak sesuai dengan tulisan dalam mushaf Al-Qur’an.

 

Mengingkari satu bacaan Qur’an pernah terjadi di masa kenabian. Diriwayatkan bahwa pada satu ketika Umar bin Al Khaththab mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqan dengan seksama. Dan ternyata ia membacanya dengan Huruf (cara bacaan) yang begitu banyak, yang tidak diajarkan Rasul kepada Umar. Maka Umar tidak sabar ingin segera menyergapnya ketika shalat, namun ia menunggunya hingga selesai salam. Setelah selesai shalat, Umar langsung mengikatnya dengan selendangnya. Umar bertanya, "Siapa yang membacakan surat tadi padamu?" Ia menjawab, "Rasul yang membacakannya padaku." Maka Umar berkata,

كَذَبْتَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَقْرَأَنِيهَا عَلَى غَيْرِ مَا قَرَأْتَ

"Kamu telah berdusta. Rasul SAW telah membacakan surat tersebut kepadaku tidaklah demikian."

 

Maka Umar segera membawanya menghadap Rasul SAW. Umar berkata, "Wahai Rasul SAW, aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan cara baca yang tidak Anda ajarkan padakku." Rasul SAW bersabda: Lepaskan dia!. "Wahai Hisyam, bacalah surat itu." Maka Hisyam pun membaca bacaan yang telah dibaca sebelumnya. Lalu Rasul SAW bersabda:

كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ

"Seperti inilah surat itu diturunkan."

 

Kemudian beliau menyuruh Umar membaca. Lalu iapun membacanya sebagaimana yang telah diajarkan beliau. Kemudian Rasul SAW bersabda:

كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

"Seperti ini pulalah ia diturunkan." Sesungguhnya Al-Qur`an diturunkan dengan tujuh huruf. Oleh karena itu bacalah yang mudah bagi kalian." [HR Bukhari]

 

Kejadian serupa juga menimpa Ubay bin Ka'ab dimana ia menemukan dua orang laki-laki yang membaca Qur`an dengan bacaan yang ia ingkari. Keduanya dibawa ke hadapan Rasul dan disuruh mengulangi bacaan mereka. Anehnya semuanya dibenarkan oleh beliau. Ubay bin Ka'ab merasakan keganjilan yang sangat mengganggu dalam hatinya mengenai hal tersebut. Melihat hal ini lalu Nabi SAW menepuk-nepuk dadanya sambil bersabda:

اللهم أَذْهِبْ عَنْهُ الشَّيْطَانَ

“Ya Allah, hilangkanlah setan darinya” [HR Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah]

 

Dan dalam riwayat Muslim, selanjutnya Rasul menjelaskan latar belakang perbedaan cara baca Qur’an. Beliau bersabda : "Wahai Ubay, Allah mengutus jibril kepadaku agar aku membaca Al Qur`an dengan satu huruf (cara bacaan) saja, maka aku pun terus mendesaknya agar memberikan keringanan atas umatku. Maka ia pun kembali kepadaku agar aku membacanya dengan dua huruf”.

فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي فَأَرْسَلَ إِلَيَّ أَنْ اقْرَأْهُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

“Aku masih terus mendesaknya lagi agar memberikan keringanan atas umatku. Maka ia pun kembali lagi (dan memberikan keringanan) agar aku membacanya dengan tujuh huruf”. [HR Muslim]

 

Dengan demikian menjadi jelas bahwa cara membaca al-Qur’an itu tidaklah satu macam. Ada cara baca yang dikenal dengan tujuh huruf sebagaimana redaksi hadits utama di atas. Ada banyak pengertian dari tujuh hruf sehingga Jalaluddin As-Suyuthi berkata :

اُخْتُلِفَ فِي مَعْنَى هَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى نَحْوِ أَرْبَعِيْنَ قَوْلاً.

Hadits mengenai (Tujuh huruf) ini diperselisihkan maknanya hingga terdapat sekitar 40 pendapat. [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Mengenai maksud dari Bilangan “tujuh”, ada yang mengartikan sebagai hitungan sebenarnya dan ada yang mengartikan bahwa tujuh itu artinya banyak sehingga tujuh diartikan sebagai bentuk kemudahan dan keluasan. Begitu pula mengenai maksud dari “huruf”, ada yang mengartikan sebagai logat atau dialek sehingga tujuh huruf diartikan sebagai tujuh dialek arah yang fasih yang berjumlah ada tujuh.  Dan yang jelas bahwa Tujuh huruf itu bukanlah Qiraat tujuh. As-Suyuthi berkata :

وَقَدْ ظَنَّ كَثِيْرٌ مِنَ الْعَوَامِ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَا الْقِرَاءَاتُ السَّبْعَةُ وَهُوَ جَهْلٌ قَبِيْحٌ

“Banyak orang awam yang menyangka bahwa maksud tujuh huruf itu adalah qiraat sab’ah dan ini adalah kebodohan yang jelek” [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Muhammad Thahir Al-Kurdi berkata : Di antara 40 Pendapat mengenai tujuh huruf tersebut, pendapat yang al-Mukhtar (terpilih) adalah tujuh logat. Menurut Abu Ubaidah, Logat yang dimaksud adalah Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamin dan Yaman. [Tarikh al-Qur’an Al-Karim] Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas RA :

نَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعِ لُغَاتٍ

Al-Qur’an itu turun dengan tujuh logat. [Tafsir Ibnu Katsir]

 

Contoh perbedaan cara baca Qur’an itu seperti yang terdapat dalam surat Al-Fatihah. As-Sakhawi menceritakan bahwa Surat Al-Fatihah itu diturunkan sebanyak dua kali. Hal ini dikarenakan pada kali pertama turun, Surat Al-Fatihah diturunkan dengan satu huruf (cara baca) dan ketika turun kedua kalinya ia diturunkan dengan huruf-huruf (cara Baca) lainnya seperti lafadz :

مَلِكِ و مَالِكِ و السِّرَاط و الصِّرَاط

Maliki (dengan dibaca pendek mimnya) da n Maaliki (dengan dibaca panjang mimnya) dan Shirathal (dengan memakai huruf shad) dan lafadz Sirathal (dengan memakai huruf sin) dll. [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Contoh lain adalah lafadz “La Tasma’u Fiha Laghiyatan” [QS Al-Ghasyiyah : 11] Ada yang membaca “La Yusma’u Fiha Laghiyatun” dan “La Tusma’u”.  Dan lafadz “Walladzi Qaddara Fahada” [QS Al=A’la : 3] ada yang membaca “Walladzi Qadara” dengan tanpa tasydid. Dan lafadz “Kufuwan Ahad” [QS Al-Ikhlas : 4] Ada yang membaca “Kuf’an Ahad”. [Al-Unwan Fil Qira’at As-Sab’i]

 

Ini semua bukanlah penyelewengan lafadz Qur’an, bukan pula pemalsuan. Ini dikarenakan semua cara baca tersebut diajarkan oleh Rasul SAW kepada sahabat sebagaimana hadits di atas lalu turun temurun diajarkan sehingga sampailah cara baca tersebut kepada kita. Perbedaan cara baca tersebut menunjukkan betapa tingginya perhatian kaum muslimin kepada kitab suci Al-Qur’an sehingga mereka tidak menjaga tulisannya saja namun juga cara bacanya yang berbeda-beda. Hal yang seperti ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab suci selain Qur’an.

 

Keberadaan “Tujuh Huruf” atau tujuh logat juga mengandung hikmat akan luasnya tantangan membuat tandingan Al-Qur’an. karena dengan demikian tantangan itu tidak hanya tertuju kepada bangsa Arab khususnya suku quraisy melainkan berlaku kepada semua suku Arab dengan berbagai logatnya. Namun demikian, hingga kini tidak ada yang mampu membuat semisal Qur’an walaupun hanya satu surat saja. Maka nyatalah Qur’an itu adalah Kalam Allah. Dan nyatalah orang yang minim pengetahuan lebih mudah mengingkari seperti perilaku netizen kepada ulama diatas.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk semakin meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah dan semakin gemar memperdalam ilmu pengetahuan yang terkait dengannya.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

TEPATILAH JANJI WALAUPUN BERAT

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :  

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

"Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". [HR Bukhari]

Catatan Alvers

 

Imam Ghazali berkata : “Mulut sangat mudah melontarkan janji namun hati sangat berat untuk menepatinya. Maka terjadilah janji yang tak ditepati” [Ihya Ulumiddin] Perkataan beliau sangatlah realistis di zaman itu dan terlebih di zaman akhir sekarang ini tentunya akan lebih parah lagi sehingga banyak orang menjadi malas bahkan berputus asa untuk menagih realisasi sebuah janji.

 

Kalau hutang harus dibayar maka janji juga harus ditunaikan bahkan dalam hadits disebutkan :

اَلْوَأْيُ مِثْلُ الدَّيْنِ أَوْ أَفْضَلُ

Janji itu seperti hutang atau bahkan lebih utama (untuk ditunaikan). [HR Ibnu Abid Dunya]

 

Tidak menepati janji merupakan sepertiga tanda dari kemunafikan sebagaimana hadits utama di atas bahkan dalam riwayat lain Rasul SAW bersabda :

وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ

(orang tersebut menjadi munafik) meskipun ia menunaikan puasa, shalat dan ia menyangka bahwa dirinya adalah muslim. [HR Muslim]

 

Munafik (Nifaq) merupakan status yang tercela. Inipula yang dikhawatirkan oleh Abdullah Bin Amr bin Al-Ash RA menjelang wafatnya. Pernah ada seorang pemuda dari Quraisy meminang putrinya lalu Abdullah tidak sungguh-sungguh menerimanya sehingga ia berjanji dengan setengah-setengah (Syibhul Wa’di).  Namun demikian, ia berkata :

فَوَاللَّهِ لَا أَلْقَى اللهَ بِثُلُثِ النِّفَاقِ! أُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ زَوَّجْتُهُ اِبْنَتِي

“Demi Allah, Aku tidak akan bertemu dengan Allah dengan status sepertiga sifat munafik. Saksikanlah bahwa aku telah menikahkan putriku dengannya”.[ Ihya Ulumiddin]

 

Dan sebaliknya, menepati janji merupakan perangai yang terpuji. Di dalam Al-Qur’an Allah memuji Nabi Ismail dengan perilaku menepati janji. Allah SWT berfirman :

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

Ceritakanlah (Nabi Muhammad, kisah) Ismail di dalam Kitab (Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah orang yang benar janjinya, dan Ia adalah seorang rasul, dan nabi. [QS Maryam : 54]

 

Al-Qurtubi berpendapat bahwa hal ini dikarenakan adanya riwayat yang menyatakan :

إِنَّ إِسْمَاعِيْلَ لَمْ يَعِدْ شَيْئاً إِلَّا وَفَّى بِهِ

Sesungguhnya Ismail tidak pernah berjanji tentang sesuatu kecuali ia memenuhinya. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]

 

Diriwayatkan bahwasannya Nabi Ismail memiliki janji dengan seseorang untuk bertemu di satu tempat. Pada hari yang dijanjikan Nabi Ismail menunggunya namun orang tersebut tidak juga datang. Nabi Ismailpun menunggunya hingga 22 Hari sampai orang tersebut datang karena lupa. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]

 

Kisah serupa juga pernah menimpa Rasul SAW. Abdullah bin Abil Hamsa’ pernah menjual sesuatu kepada Baginda Nabi SAW dan ada sisa uang kembalian yang dijanjikan oleh Abdullah kepada Nabi yang akan diberikannya besok di tempat yang sama. Namun Abdullah lupa akan janjinya sehingga pada hari ketiga ia baru teringat dan iapun bergegas menuju tempat perjanjian itu dan ternyata Nabi SAW telah menunggunya dan beliau bersabda:

يَا فَتًى لَقَدْ شَقَقْتَ عَلَيَّ أَنَا هَاهُنَا مُنْذُ ثَلَاثٍ أَنْتَظِرُكَ

“Wahai pemuda, sungguh engkau telah merepotkanku. Aku menunggumu di sini sejak tiga hari yang lalu”. [HR Abu Dawud]

Syeikh Syaraful Haq berkata : Penantian Rasul SAW tersebut merupakan wujud dari kesungguhan beliau dalam menepati janji, bukan karena faktor mengambil uang kembalian. [Awnul Ma’bud]

 

Menepati janji merupakan satu kewajiban sehingga tidak ada pilihan lain selain memprioritaskan janji. Satu ketika Siti Fatimah mendengar bahwa Rasul SAW memiliki budak baru sehingga ia bermaksud untuk memintanya agar bisa diperbantukan dalam urusan dapur di rumahnya. Siti Fatimahpun memperlihatkan kepada sang Ayah akan tangannya yang lemah lembut menjadi kapalan karena sering memutar batu gilingan gandum sendiri. Meskipun sangat besar iba dan belas kasihan kepada putri tercinta, namun beliau tidak memberikan budak tersebut kepada Fatimah karena terlanjur ada janji memberikan budak tersebut kepada Abul Haytsam Ibnu At-Tayyihan. Beliau bersabda :

كَيْفَ بِمَوْعِدِي لِأَبِي الْهَيْثَمِ؟

“Lantas bagaimana dengan janjiku kepada Abul Haytsam?  (jika aku memberikan budak itu padamu).” [Ihya Ulumiddin]

 

Menepati janji itu sangatlah berat apalagi jika janjinya berupa pemberian yang sangat banyak. Namun demikian seberat-berat menepati janji tentu lebih berat ancaman hukuman Allah bagi orang munafik yang tak menepati janji. Allah SWt berfirman :

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًا

"Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka." [QS An-Nisa : 145]

 

Rasul SAW mengajarkan kepada kita bahwa menunaikan janji pemberian seberat apapaun masih kalah berat  dengan apa yang diberikan oleh Nabi Musa AS. Suatu ketika Rasul SAW sedang membagi-bagikan harta ghanimah perang Hunain, terdapat seorang laki-laki menagih janji pemberian dari Rasul SAW. Beliau menyanggupinya dan bertanya apa yang ia minta. Orang itu berkata :

أَحْتَكِمُ ثَمَانِيْنَ ضَائِنَةً وَرَاعِيَهَا

“Aku meminta 80 ekor kambing betina dan seorang penggembalanya”.

Rasul memberikan apa yang ia minta lalu bersabda : permintaanmu itu lebih sedikit dibanding dengan permintaan wanita tua kepada Nabi Musa ketika ia berhasil menunjukkan lokasi kuburan Nabi Yusuf. [Ihya Ulumiddin]

 

Memang apa yang diminta wanita itu sehingga 80 ekor kambing dan penggembalanya terhitung sedikit jika bibanding dengan permintaan wanita tersebut? Begini kisahnya.

Suatu ketika Nabi Musa mencari-cari kuburan Nabi Yusuf tapi tidak juga diketemukan. Hingga satu ketika ada kabar bahwa ada wanita tua mesir yang berasal dari kaum Qibthy yang dahulu pernah mengetahui keberadaan kuburan Nabi Yusuf. Nabi Musa lalu menjumpainya dan menyanggupi akan memberikan apapun yang diminta asalkan wanita itu mau menunjukkan keberadaan Jasad Nabi Yusuf. Wanita itu memiliki permintaan yang tak main-main. Ia berkata :

حُكْمِي أَنْ تَرُدَّنِي شَابَّةً وَأَدْخُلَ مَعَكَ الْجَنَّةَ

“Aku meminta agar engkau mengembalikan aku menjadi muda lagi dan agar aku bisa masuk surga bersamamu”.

 

Nabi Musa berjanji akan memenuhi permintaannya sehingga wanita itu menunjuk ke arah sungai nil. Nabi Musa mengarahkan tongkatnya ke arah sungai lalu seketika itu sungaipun surut sehingga terlihatlah peti mati Nabi Yusuf. Peti tersebut kemudian dibawa oleh Nabi Musa ke Baytul Maqdis untuk dikuburkan di dekat area pekuburan para nabi sebelumnya.

 

Karena wanita itu telah berhasil menunjukkannya maka Nabi Musa memenuhi janjinya. Ia berdoa kepada Allah lalu seketika wanita tua itu menjadi muda dan cantik seperti dahulu pada saat gadisnya kemudian Nabi musa juga meminta kepada Allah agar kelak wanita itu dimasukkan surga bersama-sama Nabi Musa dan Allahpun memenuhi permintaan tersebut. [Ithafus Sadatil Muttaqin]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk menepati janji seberat apapun sehingga kita terhindar dari sifat munafik karena seberat-berat menepati janji masih jauh lebih berat hukuman mengingkari janji.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Friday, September 20, 2024

WAL YATALATTHAF

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasul SAW bersabda :

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ

“Sesungguhnya pada dirimu (Asajji Abdil Qays) terdapat dua pekerti yang disukai oleh Allah yaitu sabar dan berhati-hati.” [HR Tirmidzi]

 

Catatan Alvers

Ketika membaca Mushaf kita akan menemukan tulisan lafadz “walyatalatthaf” pada surat Al-Kahfi ayat 19 dengan cetak tebal dan terkadang dengan tinta merah. Ada yang berkata bahwa itu merupakan tanda untuk mengenang darah Usman bin Affan yang dibunuh saat memegang mushaf Al-Qur’an. Benarkah demikian?

 

Memang benar bahwa Utsman RA wafat dengan terbunuh. An-Nawawi berkata : Utsman RA dibunuh dengan dianiaya oleh orang-orang fasik. [Syarah Muslim] Dan kejadian tersebut sudah dikabarkan oleh Nabi SAW jauh sebelumnya. Yaitu ketika beliau bersama Abu Musa di suatu kebun di antara kebun-kebun yang ada di Madinah. Kemudian datang lagi seorang laki-laki meminta dibukakan pintu, ketika itu beliau tengah berbaring, kemudian beliau duduk dan bersabda:

افْتَحْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُهُ 

"Bukakanlah pintu dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga atas ujian yang akan menimpanya." [HR Bukhari]

Lalu Abu Musa membukakan pintu dan ternyata laki-laki itu adalah 'Utsman. Abu Musa menyampaikan pesan Nabi tadi lalu 'Utsman berkata; "Allah sajalah dzat yang dimintai pertolongan-Nya." [HR Bukhari]

 

Benarlah apa yang dikabarkan Nabi SAW jauh-jauh hari itu menjadi kenyataan.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa di satu pagi Utsman berkata : “tadi malam Aku bermimpi Rasul SAW dan beliau bersabda :

يَا عُثْمَانُ ، أَفْطِرْ عِنْدَنَا

“Wahai Utsman, berbuka puasalah di sisiku”

Maka pagi itu ia berpuasa lalu ia terbunuh hari itu juga.[HR Al-Hakim]

 

Utsman RA terbunuh ketika membaca Qur’an dan tetesan darahnya mengenai mushafnya. Nafi’ bin Abi Nuaim berkata : Aku pernah menerima mushaf Ustman yang dikirimkan sebagian khalifah kepadaku. Aku berkata : orang-orang berkata bahwa mushaf ini ada dipangkuan utsman ketika ia tewas terbunuh lalu darahnya mengenai ayat “Fasayakfikahumullah...”. Nafi berkata :

بَصرَتْ عَيْنِي بِالدَّمِ عَلَى هَذِهِ الْآيَةِ

“Aku melihat darah tersebut dengan mata kepala sendiri terdapat pada ayat tadi”. [Tafsir Ad-durrul Mantsur]

 

Secara lengkap, Ayat tersebut berbunyi :

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu), maka Allah mencukupkan engkau terhadap mereka (dengan pertolongan-Nya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [QS Al-Baqarah : 137]

 

 

Hingga kini mushaf sebagai saksi syahidnya Ustman tersebut masih ada. Pada tahun 2015 lalu reportase detikcom mengunjungi sebuah museum di Tashkent, Uzbekistan di mana di sana terdapat Mushaf Alquran tertua yang disimpan dalam sebuah lemari kaca yang menempel ke dinding. Menurut sang pemandu, mushaf tersebut adalah mushaf yang disusun oleh Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 651 masehi. Pada mushaf tersebut tepatnya pada surat Al-Baqarah masih ada bekas darah sang Khalifah saat ditusuk oleh pembunuhnya ketika tengah membaca Quran. tes DNA (deoxyribonucleic acid ) menunjukkan bahwa tetesan darah tersebut adalah darah manusia abad ketujuh. UNESCO (United Nation Education Scientific and Cultural Organization) juga sudah mengakui bahwa mushaf tersebut adalah peninggalan bersejarah umat Islam. [detik com]

 

Dengan demikian tidak benar bahwa warna merah pada ayat “walyatalatthaf” pada surat kahfi sebagai tanda darahnya utsman, karena darahnya ustman terdapat pada surat Al-Baqarah. Lantas apakah arti cetak tebal atau warna merah pada ayat “walyatalatthaf”?

 

Ternyata cetak tebal atau warna merah tersebut tidak berkaitan dengan satu peristiwa, baik tewasnya Utsman RA atau peristiwa lainnya. Cetak tebal atau warna merah tersebut hanya merupakan pertanda bahwa ayat tersebut merupakan posisi tengah dari mushaf Al-Qur’an dan hal ini dikuatkan dengan keterangan pada bagian pinggir mushaf pada halaman tersebut biasanya terdapat tulisan ”Nishful Qur’an” (Separuh Qur’an).

 

Mushaf Qur’an sangat terjaga keotentikannya, hal ini terbukti dengan perhatian para ulama terdahulu terhadap bagian demi bagian qur’an. Tidak hanya separo quran, sepertiga atau seperempatnya bahkan berapa jumlah kalimatnya, berapa hurufnya bahkan berapa titik dalam seluruh quran telah dihitung guna upaya menjaga keotentikan Qur’an.

 

Salam Abu Muhammad Al-Hammany berkata : Al-Hajjaj pernah mengumpulkan Ahli Qiraat, Para penghafal dan ahli menulis untuk diperintahkan menghitung jumlah huruf dalam keseluruhan Al-Qur’an. Setelah mereka mengadakan penelitian sekitar empat bulan maka mereka menemukan bahwa jumlah huruf dalam keseluruhan Al-Qur’an adalah :

ثلاثُمائة ألفِ حَرْف وأربعون ألفًا وسبعمائة وأربعون حرفًا

“340.740 huruf”

dan huruf yang ada di pertengahan Al-Qur’an adalah huruf fa’ yang ada pada lafadz “Walyatalatthaf” yang ada pada Surat Al-Kahfi : 19 [Tafsir Ibnu Katsir]

 

Ulama sepakat bahwa jumlah ayat al-Qur’an adalah 6.000 ayat dan mereka berselisih pendapat mengenai selebihnya. Ada yang mengatakan tidak lebih, ada yang mengatakan 6.204 ayat, 6.014 ayat, 6.019 ayat, 6.025 ayat dan 6.036 ayat. [Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an]

 

Al-Fairuzabadi dalam kitabnya “Bashair Dzawit Tamyiz Fi Lathaifil Kitab Al-Aziz” menyebutkan bahwa Abdul wahid Ad-dlarir berkata : Jumlah titik dalam Al-Qur’an sebanyak 156.081 Titik. Bahkan disebutkan juga mengenai jumlah masing-masing huruf mulai dari alif, ba’, ta’ dst di dalam keseluruhan Al-Qur’an. Subhanallah, Ini menunjukkan betapa tingginya perhatian para ulama kepada Al-Qur’an.

 

Kata “walyatalatthaf” yang terdapat pada tengah-tengah Qur’an, yang artinya dan berhati-hatilah mengingatkan kepada kita agar senantiasa berhati-hati dalam setiap urusan. Ayat tersebut berkenaan dengan para pemuda Ashabul Kahfi yang bersembunyi di dalam gua untuk menghindari kedzaliman raja Romawi penyembah berhala saat itu yang bernama dikyanus. Seorang pemuda diantara mereka bernama Tamlikha ditugaskan untuk pergi ke kota untuk membeli makanan dan untuk mengintai keadaan sekitarnya. Dan dialah yang dipesani dengan perintah “walyatalatthaf” (hendaklah berhati-hati). [Tafsir As-Shawy]

 

Sikap berhati-hati merupakan pengejawantahan dari takwa. Suatu ketika Umar bin Khattab RA bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai takwa. Ubay bertanya “Pernahkah kamu berjalan di jalan yang penuh dengan duri?” Umar menjawab, “Ya.” Ubay bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab,

شَمَّرْتُ وَاجْتَهَدْتُ

“Aku bersiap-siap (melangkahkan kaki) dan aku bersungguh-sungguh (berhati-hati ketika melintasi jalan tersebut).”

Ubay berkata, “Itulah (makna) takwa. [Tafsir Ibni Katsir]

 

Dengan pertanyaan yang sama, seseorang menjawab kepada Abu Hurairah RA :

إِذَا رَأَيْتُ الشَّوْكَ عَدَلْتُ عَنْهُ أَوْ جَاوَزْتُهُ أَوْ قَصُرْتُ عَنْهُ

“Jika aku melihat duri maka aku akan menyimpang darinya atau aku melewatinya atau aku berhenti”.

Abu Hurairah RA berkata, “Itulah (makna) takwa. [Tafsir Addurul Mantsur]

 

Dan kehati-hatian inilah yang disebut didalam hadits utama sebagai “Al-Anaat” yang merupakan pekerti yang disukai oleh Allah. “Al-Anaat” didefinisikan sebagai :

اَلتَّثْبِيْتُ وَتَرْكُ الْعَجَلَةِ

“Menetapkan dan tidak tergesa-gesa”. [Fathul Bari]

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh kehati-hatian dan pertimbangan serta tidak sembrono dengan harapan kita nantinya dicintai oleh Allah SWT

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.