إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Sunday, December 15, 2024

WISATA RELIGI DILARANG?

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Rasul SAW (Madinah) dan Masjidil Aqsha. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Ketika momen libur panjang, banyak masyarakat menggunakan kesempatan tersebut untuk rekreasi bahkan banyak diantaranya berwisata religi dengan mengunjungi masjid istiqlal, masjid Agung surabaya atau masjid lainnya disamping berziarah ke kubur wali lima hingga wali songo. Tradisi seperti ini seudah berlangsung lama, namun akhir-akhir ini banyak beredar larangan mengadakan wisata religi semacam itu dalam web maupun youtube.

 

Dalam uraiannya, mereka mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga masjid. Hadits ini (hadits utama diatas) menunjukkan akan haramnya  promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi ke  selain tiga masjid, seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam  berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. [almanhaj or id] dan di situs lain dikatakan : “Bahkan seandainya ada yang bersafar semata-mata untuk ke masjid Quba’, itu tidak boleh”. Dan “niatan untuk mengunjungi semata-mata pada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disyari’atkan, tidak pula diperintahkan.” [rumaysho com]

 

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan hadits utama di atas bahwa sebagian Ulama Ahli Tahqiq berkata : Perkataan “Kecuali pada tiga masjid” itu terdapat (Lafad yang menjadi) Mustasna minhu yang dibuang. Jika lafadz tersebut dikira-kirakan dengan lafadz yang umum (Fi Ayyi Amrin Kana) maka arti hadits tersebut adalah

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke tempat manapun dengan tujuan apapaun - kecuali ke tiga masjid.”

Dan pemaknaan ini tentunya tidak dimungkinkan karena akan menimbulkan larangan mengadakan perjalanan ke satu tempat untuk berdagang, silaturahim, belajar dan lain sebagainya. Maka tidak ada pilihan lain kecuali pilihan kedua yaitu mengira-ngirakan lafadz yang paling sesuai dengan konteksnya sehingga hadits tersebut bermakna :

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke satu masjid dengan tujuan melakukan shalat di sana - kecuali ke tiga masjid.” [Fathul Bari]

 

Pilihan ke dua di atas selaras dengan redaksi hadits lain yang serupa yaitu hadits dari Abu Said Al-Khudri suatu ketika ia mendengarkan perkataan orang shalat di Thur (Gunung Thursina) Maka ia, Abu Said Al-Khudri berkata : Nabi SAW bersabda :

لَا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلَاةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا

Tidak seyogyanya pengendara melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat di sana, selain Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku (nabawi). [HR Ahmad]

 

Maka dengan demikian boleh hukumnya kita pergi ke mana saja karena hadits di atas  lebih menjelaskan kepada keistimewaan tiga masjid tersebut yang tidak dimiliki oleh masjid selainnya sebagaimana dinyatakan dalam hadits :

صَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مِائَةُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَصَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلَاةٍ وَفِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُمِائَةِ صَلَاةٍ

Satu kali shalat di Masjidil haram (bernilai lebih baik dari) seratus ribu shalat,

Satu kali shalat di masjidku (Nabawi) (bernilai lebih baik dari) seribu kali shalat

Dan satu kali shalat di Baitil Maqdis (Masjidil Aqsha, bernilai lebih baik dari) lima ratus kali shalat. [HR Baihaqi]

 

Jadi dipahami dari hadits bahwa percuma saja jika kita jauh-jauh pergi ke satu masjid, misalnya masjid istiqlal di jakarta atau masjid biru di turki untuk melakukan shalat di sana padahal pahalanya sama saja dengan shalat di masjid terdekat dengan rumah kita. Berbeda halnya kita datang kesana untuk satu keperluan rihlah lalu kita shalat di sana.

 

Selaras dengan hal ini, Imam An-Nawawi berkata : “Di dalam hadits ini terdapat dalil akan keutamaan tiga masjid (tersebut) serta keutamaan bepergian jauh dalam rangka ibadah di sana karena maknanya menurut jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) adalah :

لَا فَضِيلَةَ فِي شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى مَسْجِدِ غَيْرِهَا

“Tidak ada keutamaan dalam berpergian jauh ke selain masjid yang tiga tersebut”. [Syarh Shahih Muslim]

 

Imam Nawawi menolak pendapat dengan tegas pendapat yang berseberangan dengan pengertian tersebut. Imam Nawawi berkata :

وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ اَلْجُوَيْنِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : يَحْرُمُ شَدُّ الرِّحَالِ إِلَى غَيْرِهَا وَهُوَ غَلَطٌ

“Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini dari sahabat kami berkata : Haram hukumnya bepergian ke selain tiga masjid tadi, dan pendapat tersebut adalah satu kesalahan.” [Syarh Shahih Muslim]

 

Adapun wisata religi dengan berziarah ke makam para wali maka juga diperbolehkan karena ziarah kubur snediri juga dilakukan oleh para sahabat. Diriwayatkan dari Abdullah bin abi mulaikah, ia berkata : satu ketika Aisyah pulang dari ziarah kubur, maka aku bertanya : Wahai ummal Mu’minin, dari manakah engkau datang? Aisyah menjawab: Dari (ziarah) kubur saudaraku, Abdur rahman. Aku bertanya lagi : Bukankah Rasul SAW melarang ziarah kubur? Ia menjawab:

نَعَمْ كَانَ نَهَى ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

Iya, Dulu Nabi melarang, lalu Nabi memerintahkan ziarah kubur. [HR Hakim]

 

Dan dalam lanjutan keterangan Al-Asqalani di atas, Ulama Ahli tahqiq menyimpulkan dengan berkata :

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ اَلصَّالِحِينَ

Dengan demikian menjadi tertolak pendapat orang yang (menggunakan hadits utama di atas untuk) melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah kubur yang Mulia (Nabi SAW) dan kuburan lain seperti kuburan para shalihin. [Fathul Bari]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka fikiran kita untuk memahami hadits dengan pemahaman para ulama yang terkemuka sehingga kita tidak salah dalam mengamalkan hadits dalam kehidupan sehari-hari.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

 

Saturday, December 14, 2024

JALAN-JALAN

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Umamah RA, Rasul SAW bersabda :

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]

 

Catatan Alvers

 

Momen akhir tahun seperti sekarang ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang dengan jalan-jalan. Berbicara mengenai jalan-jalan, ternyata banyak sekali macamnya. Orang-orang terdahulu mengadakan perjalanan jauh dengan tujuan ibadah menurut kepercayaan mereka seperti mengembara untuk mencari kitab suci seperti yang ditayangkan di film-film atau mereka yang menganggap bahwa perjalanan itu bisa menjadi sarana untuk mengekang nafsu dan meletihkan raga sebagai wujud zuhud (menjauhi) terhadap urusan duniawi sebagaimana dilakukan oleh para pertapa.

 

Perjalanan yang demikian tidaklah di syariatkan dalam agama islam. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya mana yang lebih disukai antara seseorang yang berkelana (mengadakan perjalanan jauh dengan pengertian di atas) ataukah orang yang menetap di daerahnya? Beliau menjawab :

مَا السِّيَاحَةُ مِنَ الْإِسْلَامِ فِي شَيْءٍ ، وَلَا مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّيِنَ وَلَا الصَّالِحِيْنَ

Perjalanan (seperti di atas) sama sekali bukan ajaran Islam dan tidak pernah dilakukan oleh para Nabi dan Orang-orang shalih. [Talbisu Iblis]

 

Ibnu Rajab Al-Hambaly berkata : Perjalanan (yang demikian) itu dilakukan oleh golongan yang ahli ibadah dengan kesungguhan namun tidak disertai ilmu (syariat). Di antara mereka ada yang berhenti dari hal tersebut ketika sudah mengetahui syariatnya. [Fathul Bari Libni Rajab]

 

Suatu ketika ada seseorang yang menghadap Nabi SAW meminta ijin untuk mengadakan perjalanan (mengembara seperti pengertian di atas), maka Nabi SAW melarangnya dan bersabda :

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]

 

Dalam Islam, perjalanan yang disyariatkan berkenaan dengan ibadah adalah perjalanan ke tanah suci mekkah untuk menunaikan rukun islam yang ke lima yaitu ibadah haji dan umrah. Perjalanan juga dianjurkan jika bertujuan untuk menuntut ilmu. Dahulu, para ulama mengadakan perjalanan jauh untuk mencari hadits. Jabir bin Abdillah RA berkata :

بَلَغَنِي عَنْ رَجُلٍ حَدِيْثٌ سَمِعَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاشْتَرَيْتُ بَعِيْرًا ثُمَّ شَدَدْتُ رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا

“Pernah aku mendengar ada hadits yang dimiliki oleh seseorang yang didengar langsung dari Nabi SAW, lalu aku membeli unta (kendaraan) kemudian aku mengadakan perjalanan menuju alamatnya selama satu bulan”. [Fathul Bari]

 

Selaras dengan hal ini, kata “As-Sa’ihun” [QS At-Taubah : 112] menurut satu pendapat (Ikrimah) adalah :

هُمْ طَلَبَةُ الْعِلْمِ يَسِيْحُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَطْلُبُوْنَهُ فِي مَظَانِّهِ

(orang-orang yang mengadakan perjalanan) mereka adalah para penuntut ilmu, mereka mengadakan perjalanan di atas bumi untuk mencari ilmu di tempat dimana ilmu itu berada. [Tafsir Al-Kassyaf]

Mengadakan perjalanan yang juga dianjurkan adalah dalam rangka dakwah, mengajarakan syariat islam dan mengajak masyarakatnya masuk islam serta mengamalkan ajaran Islam sebagaimana hal tersebut adalah tugas para rasul terdahulu dan diteruskan oleh para sahabat lalu generasi setelahnya, hingga para wali seperti yang terkenal yaitu wali songo yang menyebarkan islam di bumi nusantara ini.

Lantas bagaimana dengan perjalanan dengan tujuan jalan-jalan, rekreasi atau wisata sebagaimana dipahami sekarang ini? “Siyahah” pada masa kini dimaknai sebagai :

التَّنَقُّلُ مِنْ بَلَدٍ إلى آخَرَ لِقَصْدِ الرَّاحَةِ والتَّنَزُّهِ وَحُبِّ الاسْتِطْلاعِ

adalah berpindah (perjalanan) dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mencari ketenangan atau rekreasi atau kesenangan dengan melihat-lihat (pemandangan dll.) [Qamus Al-Ma’any]

 

Sedangkan “Tanazzuh” atau rekreasi dimaknai sebagai :

رُؤْيَةُ مَا تَنْبَسِطُ بِهِ النَّفْسُ لِإِزَالَةِ هُمُوْمِ الدُّنْيَا

Melihat sesuatu (pemandangan dll.) yang dapat melapangkan hati untuk menghilangkan kesumpekan urusan duniawi. [Al-Jamal]

Kedua kata ini saling berkaitan karena “Siyahah” itu adalah perjalanannya sedangkan “tanazzuh” merupakan salah satu tujuannya.

 

Ketika ulama fiqih membahas Shalat Jamak Qashar maka mereka menetapkan syarat diantaranya adalah “Safar Mubah” (perjalanan yang diperbolehkan, yakni bukan karena maksiat) dan “Gharad Shahih” (tujuan yang benar, seperti berkunjung atau silaturahim, berdagang atau berhaji). Maka perjalanan yang tidak termasuk kategori “Gharad Shahih” itu tidak diperbolehkan qashar. Contohnya sebagaimana disebutkan :

وَلَا لِمَنْ سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ

Tidaklah (diperbolehkan shalat dengan cara qashar) bagi musafir yang bertujuan hanya melihat-lihat satu negara atau daerah. [I’anatut Thalibin]

 

Dari keterangan ini dipahami  bahwa orang yang ber-rekreasi tidak boleh menjalankan shalat dengan cara qashar karena wisata atau rekreasi termasuk perjalanan yang boleh namun tidak dianggap sebagai tujuan yang benar. Namun pemahaman ini diluruskan oleh Ibnu Hajar. Beliau membedakan diantara keduanya; rekreasi vs hanya melihat-lihat satu tempat. Beliau berkata : “Rekreasi itu termasuk kategori tujuan yang benar, karena biasanya rekreasi bertujuan untuk pengobatan (relaksasi, memenangkan pikiran), menghilangkan kesumpekan dan motivasi.  Berbeda dengan hanya sekedar melihat satu daerah tanpa ada tujuan seperti di atas, seperti hanya ingin melihat-lihat bangunannya, berasal dari material apa, dan bagaimana bentuk bangunannya besar atau kecil, dan lain sebagainya. Ini lebih menyerupai “Abats” (perbuatan yang sia-sia). Maka dari itu, perjalanan untuk rekreasi boleh qashar sementara perjalanan yang hanya untuk melihat-lihat satu daerah maka tidak boleh mengqashar”. [Al-fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra]

 

Maka lebih baik lagi jika wisata atau jalan-jalan juga diniati untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT, menikmati indahnya alam nan agung sebagai sarana memperkuat keimanan. Allah SWT berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  

 

Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan Makhluk dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS Al-Ankabut : 20]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk melihat makhluknya sebagai ciptaan-Nya yang agung sehingga kita bertambah iman kepada Allah sang pencipta yang maha agung.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Saturday, November 2, 2024

UPGRADE DIRI

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Anas Bin Malik RA, Rasul SAW bersabda :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim. [HR Ibnu Majah]

 

Catatan Alvers

Ilmu pengetahun dan Teknologi saat ini selalu berkembang dengan cepat. Dalam waktu yang singkat banyak hal yang berubah atau bertambah. Untuk itu, kita perlu juga menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang cepat. Dengan demikian, sekarang meng-upgrade diri bukan lagi menjadi pilihan tetapi merupakan suatu kebutuhan bahkan keniscayaan.

 

Sehebat apapun kita janganlah pernah berhenti untuk upgrade ilmu pengetahuan. Ingatlah kasus kehancuran nokia karena ia enggan upgrade teknologinya.  Pabrikan ponsel nomor 1 dunia selama 14 tahun itu yang seolah tidak akan bisa tergeser.  Nokia, sebagai Raja ponsel, sebelumnya tidak menyangka mereka akan lumpuh dalam waktu yang sangat singkat. Mengapa? Karena ia terlalu percaya diri dengan teknologi symbiannya dan menganggap remeh android yang disebutnya sebagai "Semut Kecil Merah Yang Mudah Digencet Dan Mati". [Kompasiana com]

 

Dalam islam, Rasul SAW merupakan simbol kesempurnaan ilmu namun Allah SWT masih memerintahkan beliau untuk menambah ilmu. Allah SWT berfirman :

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْماً

dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".[QS Thaha : 114]

 

Allah tidak memerintahkan untuk menambah dalam hal lainnya. Dikatakan :

ما أمر الله رسوله بزيادة الطلب في شيء إلا في العلم

Allah tidak memerintah rasul-Nya untuk menambah sesuatu melainkan ilmu. [Umdatul Qari]

 

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu adalah sesuatu yang amat berharga dan mulia. Al-Qurtubi berkata : Jika ada sesuatu yang lebih mulai daripada ilmu niscaya Allah akan memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan sebagaimana menambah ilmu. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Hal yang sama juga diperintahkan Allah kepada Nabi Musa. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab RA bahwasannya Rasul SAW bersabda : Suatu ketika Nabi Musa AS berdiri untuk berpidato di hadapan kaum Bani israil. Setelah itu, seseorang bertanya kepadanya : Hai Musa, siapakah orang yang paling banyak ilmunya di muka bumi ini?  Nabi Musa menjawab : Akulah orang yang paling banyak ilmunya di muka bumi ini. Maka Allah mencela Musa karena ia tidak mengembalikan ilmu kepada Allah. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa :

أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِي بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ

Hai Musa, sesungguhnya ada seorang hamba-Ku yang berada di pertemuan dua lautan, ia lebih banyak ilmunya darimu. [HR Bukhari]

 

Kemudian Allah memerintahkan Nabi Musa untuk belajar kepada orang yang lebih alim, yang tak lain adalah Nabi Khadlir. Setelah perjalanan panjang, Nabi Musa bertemu dengan khadlir dan meminta ijin untuk belajar darinya. Musa berkata :

هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?  [QS Al-Kahfi : 66]

 

Imam Nawawi berkata : Para ulama mengambil pelajaran dari pertemuan Nabi Musa dengan Khidlir diantaranya, dianjurkan mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu, memperbanyak ilmu, dianjurkan pula bagi orang alim  meskipun ia sudah memiliki kedudukan yang mulia agar ia tetap menuntut ilmu dari orang yang lebih berilmu, berusaha untuk mendapatkan ilmu, dalam kisah tersebut juga terdapat keutamaan menuntut ilmu. [Syarah Muslim]

 

Maka tidak seyogyanya kita menganggap ilmu kita sudah cukup dan tidak membutuhkan untuk menambah ilmu lagi. Said bin Jubair RA berkata :

لَا يَزَالُ الرَّجُلُ عَالِماً مَا تَعَلَّمَ، فَإِذَا تَرَكَ التَّعَلُّمَ وَظَنَّ أَنَّهُ قَدِ اسْتَغْنَى فَهُوَ أَجْهَلُ مَا يَكُوْنُ

Seseorang senantiasa menjadi alim selagi ia belajar. Namun jika ia tidak mau lagi belajar dan ia menganggap ilmunya sudah cukup maka ia menjadi orang yang paling bodoh.

 

Sebanyak-banyak ilmu seseorang, pastilah ada orang lain yang lebih banyak ilmunya sehingga kita terus perlu belajar. Allah SWT berfirman :

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

"...Dan di atas setiap orang yang berilmu, masih ada orang lain yang memiliki ilmu lebih banyak" [QS Yusuf : 76]

 

Belajar itu tidak harus kepada orang yang lebih “hebat” dari kita buktinya seorang Nabi Musa yang bergelar kalimullah (bisa berkomunikasi dengan Allah secara langsung) diperintahkan berguru kepada Khidlir yang statusnya berada dibawahnya. Ada baiknya kita mengambil pelajaran dari semua kalangan. Syaikh waki’ ilbnul Jarrah (guru dari Imam Syafii) berkata :

لَا يَكُوْنُ الرَّجُلُ عَالِمًا حَتَّى يَسْمَعَ مِمَّنْ هُوَ أَسَنُّ مِنْهُ، وَمِمَّنْ هُوَ دُوْنَهُ، وَمِمَّنْ هُوَ مِثْلُهُ

Seseorang tidaklah disebut sebagai orang alim sehingga ia mendengarkan ilmu dari orang yang lebih tua darinya, orang yang lebih muda darinya dan orang yang seumuran dengannya. [Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi]

 

Tiada ruginya bertemu dengan orang lain untuk mendapat manfaat ilmu darinya. Abdurahman bin Yahya berkata :

إِذَا لَقِيَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَوْقَهُ فِي الْعِلْمِ كاَنَ يَوْمَ غَنِيْمَةٍ، وَإِذَا لَقِيَ مَنْ هُوَ مِثْلُهُ دَارَسَهُ وَتَعَلَّمَ مِنْهُ، وَإِذَا لَقِيَ مَنْ هُوَ دُوْنَهُ تَوَاضَعَ لَهُ وَعَلَّمَهُ

Jika seseorang bertemu dengan orang lain yang memiliki ilmu lebih tinggi maka itu adalah hari keberuntungan baginya. Jika ia bertemu dengan orang yang selevel dengannya maka ia berlajar darinya. Dan jika ia bertemu dengan orang yang ilmunya dibawahnya maka ia tawadlu dan iapun mengajarinya. [Hilyatul Awliya’]

 

Maka jangan lewatkan hari tanpa kita update dan upgrade ilmu agama, sebagaimana dalam syair disebutkan :

وَكُنْ مُسْتَفِيْدًا كُلَّ يَوْمٍ زِيَادَةً :: مِنَ الْعِلْمِ وَاسْبَحْ فِي بُحُوْرِ الْفَوَائِدِ

“Jadilah orang yang menambah ilmu pengetahuan setiap hari , dan berenanglah di lautan ilmu pengetahuan” [ta’limul muta’allim]

 

Dan perintah menutut itu ilmu tidak dibatasi oleh waktu tertentu karena dalam hadits utama diatas disebutkan “Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim”. [HR Ibnu Majah] dengan tanpa disebutkan waktunya sehingga berlaku selamanya. Hal ini selaras dengan ungkapan populer yang menyebutkan “Thalabul Ilmi Minal Mahdi ilal lahdi” (Belajar itu mulai dari ayunan hingga ke liang lahad). [bukan hadits]

 

 

Wallahu Alam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk terus menambah ilmu pengetahuan utamanya ilmu agama tanpa kenal usia sehingga kita mejadi orang yang selamat di dunia hingga akhirat.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Saturday, October 19, 2024

RESIKO PENCERAMAH

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid RA, Rasul SAW bersabda :

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى

“Terdapat seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian ia dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan iapun berputar-putar di neraka seperti keledai berputar-putar mengitari alat penumbuk gandumnya...” [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Ceramah kini menjadi profesi yang menggiurkan sampai-sampai menjadi sorotan pajak. Menurut Kring Pajak, pengkotbah seperti Ulama masuk sebagai subjek pajak. Yaitu kategori jasa pekerjaan bebas. Sesuai Pasal 56 ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022”. terang @kring_pajak. [Belasting id]

 

Honor penceramah menjadi sorotan dan menuai pro kontra. Yang kontra beralasan bahwa ceramah lebih condong kepada tugas seorang nabi kepada kaumnya sehingga tidak layak menerima imbalan, sebagaimana para nabi tidak tidak pernah meminta imbalan. Adapun yang pro mereka beralasan bahwa jika seorang artis saja yang kerjanya menebar maksiat dan cuma menghadirkan kebahagiaan sesaat, bisa menerima honor ratusan juga rupiah. Masak seorang ustadz yang sebenarnya juga diminati oleh khalayak, kok cuma disampaikan ucapan terima kasih alias syukron? Bahkan seharusnya honor pak ustadz lebih tinggi dari honor para artis. Sebab yang diberikan pak ustadz itu adalah kebenaran hakiki, sedangkan para artis hanya bisa memberikan hiburan sesaat.  Di zaman Nabi saja, seorang tawanan yang bisa mengajarkan 10 orang untuk bisa sekedar membaca dan menulis akan mendapat imbalan berupa dibebaskan padahal harga tebusan untuk itu sangatlah tinggi.

 

Terlepas dari honor dan profesi, memberikan ceramah kepada orang lain akan memiliki konsekwensi yang sangatlah berat jika yang bersangkutan tidak mengamalkan apa yang ia sampaikan. Dalam hadits utama di atas disebutkan, Nabi SAW bersabda : “Seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan ia berputar-putar di neraka seperti keledai berputar-putar mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya: ‘Hai fulan! Apa yang menimpamu?, bukankah dulu kau menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari yang kemungkaran?’ Ia menjawab:

بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Benar, dulu aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku meninggalkannya dan aku mencegah kemungkaran tapi aku melanggarnya.” [HR Muslim]

 

As-Sya’bi meriwayatkan bahwa ada penduduk surga melihat penduduk neraka. Penduduk surga bertanya : Kenapa kalian masuk neraka padahal kami masuk surga sebab apa yang telah kau ajarkan dahulu? Mereka menjawab :

إِنَّا كُنَّا نَأْمُرُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَلَا نَفْعَلُهُ

Dahulu kami mengajarkan kebaikan kepada manusia namun kami sendiri tidak melakukannya. [Fi Ulumil Qur’an, Abdus salam Kafafy]

 

Dalam hadits lain, disebutkan :

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ

Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya di ahri kiamat adalah orang alim yang mana Allah tidak menjadikan ilmunya bermanfaat. [HR Al-Baihaqi]

 

Jundab bin Abdillah Albajaly berkata :

إِنَّ مَثَلَ الَّذِي يَعِظُ النَّاسَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَالْمِصْبَاحِ يَحْرِقُ نَفْسَهُ وَيُضِيءُ لِغَيْرِهِ

Perumpamaan orang yang menasehati orang lain semenatara ia melupakan dirinya sendiri, itu seperti lentera. Ia membakar dirinya untuk menerangi lainnya.

 

Malik Bin Dinar menemukan tulisan dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu :

مَا مِنْ خَطِيْبٍ إِلَّا وَتُعْرَضُ خُطْبَتُهُ عَلَى عَمَلِهِ

“Tidak ada penceramah melainkan nantinya materi khutbahnya akan diperlihatkan kepada amaliahnya”.

Jika sesuai maka ia dibenarkan namun jika (tidak sesuai) ia bohong maka kedua bibirnya digunting dengan gunting api. Setiap kali kedua bibirnya dipotong maka akan tumbuh lagi. [Ihya]

 

Hal ini sebagaimana kejadian ketika Isra’, Rasul SAW bertemu dengan segolongan orang yang mana bibir mereka digunting dengan gunting dari api. Rasul SAW bertanya siapakah mereka. Mereka menjawab :

خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Mereka itu adalah tukang ceramah ketika di dunia. Mereka memerintahkan orang lain untuk melakukan kebaikan namun mereka sendiri melupakannya padahal mereka membaca Al-Qur’an. Tidakkah mereka berpikir? [HR Ahmad]

 

Maka Abul Aswad Ad-Du’aly memberikan nasehat kepada para penceramah, Beliau berkata :

لا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وتأتِيَ مِثلَهُ :: عَارٌ علَيْكَ إذَا فَعَلْتَ عَظِيمُ

Janganlah engkau melarang sesuatu sementara engkau sendiri melakukannya. Sebab itu adalah aib yang sangat besar jika engkau melakukannya. [Tafsir Ibnu Katsir]

 

Dengan berbagai pertimbangan di atas maka banyak para ulama yang berat hati kalau harus memberikan ceramah. Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa Ibrahim An-Nakha’i berkata : “Aku tidak senang untuk berceramah karena pertimbangan adanya tiga ayat”, Yaitu : Ayat Pertama :

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS Al-Baqarah : 44]

 

Ayat Kedua :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ :: كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [QS Ash-Shaf :2-3]

 

Ayat Ketiga :

وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ

Aku (sebenarnya) tidak ingin berbeda sikap denganmu (lalu melakukan) apa yang aku sendiri larang... [QS Hud : 88]  [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Kisah lain sebagaimana disampaikan oleh Abu Amr bin Mathar. Ia bercerita bahwa ia pernah menghadiri majelisnya Syeikh Abu Ustman Al-Hayri Az-Zahid. Syeikh datang lalu duduk di tempat ceramahnya namun syeikh terdiam lama sekali sehingga ada orang berkata “kenapa engkau terdiam, apakah ada sesuatu yang terjadi?” Maka  Abu Ustman berkata :

وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى :: طَبِيْبٌ يُدَاوِي وَالطَّبِيْبُ مَرِيْضُ

Orang yang tidak bertaqwa jika ia memerintahkan orang lain untuk bertaqwa itu sama halnya dengan dokter yang mengobati pasien sementara dokter tersebut sedang sakit”.

Maka setelah mendengar jawaban itu para jamaah yang hadir menjadi gaduh dengan suara tangisan. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Namun demikian ada pertimbangan lain ketika seorang ulama tetap menjalankan tugasnya memberikan ceramah dan nasehat meskipun dengan berat hati. Satu ketika Al-Hasan menyuruh Mutharrif bin Abdillah untuk berceramah di hadapan para sahabatnya maka Mutharrif tidak mau berceramah dengan  alasan takut termasuk golongan orang yang berkata atas apa yang tidak dikerjakan. Al-Hasan berkata :

يَرْحَمُكَ اللهُ! وَأَيُّنَا يَفْعَلُ مَا يَقُوْلُ! وَيَوَدُّ الشَّيْطَانُ أَنَّهُ قَدْ ظَفَرَ بِهَذَا، فَلَمْ يَأْمُرْ أَحَدٌ بِمَعْرُوْفٍ وَلَمْ يَنْهَ عَنْ مُنْكَرٍ

Semoga Allah merahmatimu. Siapa sih dianatara kita yang bisa melakukan apa yang ia ucapkan. Setan ingin mencegah kita dengan statement tersebut sehingga tidak ada seorangpun yang mau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Dan senada dengan hal ini, Sa’id bin Jubayr berkata :

لَوْ كَانَ الْمَرْءُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ حَتَّى لاَ يَكُوْنَ فِيْهِ شَيْءٌ مَا أَمَرَ أَحَدٌ بِمَعْرُوْفٍ وَلَا نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ

Seandainya seseorang itu tidak boleh amar ma’ruf nahi mungkar sehingga orang itu bersih tanpa dosa maka tidak akan ada orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Ketika hal tersebut sampai kepAda Imam Malik maka beliau berkata :

صَدَقَ، مَنْ ذَا الَّذِي لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ

Benarlah apa yang ia katakan, siapa sih yang tidak punya dosa dalam dirinya? . [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Ada hal lain yang memotivasi supaya seorang ulama terus mengajarkan kebaikan yaitu mengharap ampunan dari Allah SWT. Nabi SAW bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخَيْرَ

"Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penduduk langit-langit dan bumi-bumi, hingga semut-semut yang ada di lubangnya, hingga ikat-ikan, benar-benar semuanya bershalawat (memintakan ampun) untuk orang yang mengajari kebaikan kepada manusia." [HR Tirmidzi]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk terus menjalankan tugas tabligh, menyampaikan ilmu Nabi SAW dengan disertai introspeksi diri supaya kita sendiri juga selamat di dunia dan akhirat.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.