إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Monday, February 3, 2025

JANGANLAH MEMPERBERAT

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا

“Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memperberat (amalan) agama melainkan dia akan kalah. Maka lakukanlah ibadah dengan jalan tengah, atau dekatilah (tingkat kesempurnaan, jika tidak mampu melakukan dengan sempurna), dan bergembiralah (dengan amalan yang istiqamah).” [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Kita diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya. Tentunya jika seseorang semakin banyak ibadahnya maka akan semakin baik, namun bagaimana jika ibadah yang dilakukan menjadi beban berat untuk pelakunya. Dahulu, Nabi SAW beribadah dengan sungguh-sungguh sehingga Aisyah kasihan sama beliau. Aisyah berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ

“Rasulullah SAW ketika melaksanakan shalat maka beliau berdiri (lama) hingga kedua kakinya bengkak”.

 

Maka Aisyah RA bertanya : “Wahai Rasulullah, Apa engkau masih melakukan (ibadah seperti) sedangkan dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni.”

Lalu beliau menjawab,

يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Wahai Aisyah, bukankah seharusnya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”. [HR Muslim]

 

Kisah di atas diabadikan oleh Al-Bushiri di dalam burdahnya, ia berkata :

ظَلَمْتُ سُنّةَ مَنْ أَحْيَا الظَّلَامَ إِلىٰ ۞ أَنِ اشْتَكَتْ قَدَمَاهُ الضّرّ مِنْ وَرَمِ

“Aku dzalim terhadap sunnah seorang yang menghidupkan (shalat) malam hingga bengkak kedua kakinya” [Burdah]

 

Syeikh As-Shawy berkata : Dahulu Nabi SAW bersungguh-sungguh dalam shalat tahajjudnya. Beliau shalat semalaman full dengan berdiri dengan bertumpu di atas satu kaki, sementara kaki lainnya diistirahatkan karena kelelahan. [Tafsir As-Shawy]

 

Kondisi beliau yang seperti ini menjadikan beliau sebagai bahan olok-olokan dari orang-orang kafir sehingga mereka (Abu Jahal dan An-Nadlr ibnul Harits) berkata kepada beliau : Sungguh engkau payah sebab meninggalkan agama kami,

إِنَّكَ لَتَشْقَى بِتَرْكِ دِيْنِنَا وَإِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَيْكَ لِتَشْقَى بِهِ

Sungguh engkau payah sebab meninggalkan agama kami, dan sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepadamu supaya kamu kepayahan. [Tafsir As-Shawy]

 

Mendengar perkataan mereka, maka Allah SWT menurunkan Surat Thaha, Yaitu :

طه. مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى. إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى

Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah (berat dan payah). Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). [QS Thaha : 1-3]

 

Syeikh As-Shawy berkata : Maka dengan ayat ini, Allah memerintahkan beliau agar meringankan ibadahnya atas dirinya sendiri sehingga mulai saat itu beliau tidak lagi shalat semalaman akan tetapi beliau shalat dan juga tidur di malam hari dan kalau berdiri ketika shalat beliau bertumpu di atas dua kaki. [Tafsir As-Shawy]

 

Maka dengan demikian agama ini menjadi mudah. Dan Allah SWT berfirman :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [QS al-Baqarah :185].

 

Dalam hadits utama beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memperberat (amalan) agama melainkan dia akan kalah. Maka lakukanlah ibadah dengan jalan tengah, atau dekatilah (tingkat kesempurnaan, jika tidak mampu melakukan dengan sempurna), dan bergembiralah (dengan amalan yang istiqamah).” [HR Bukhari]

 

Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany bahwa “Tidaklah seseorang mempersulit agama” maksudnya seseorang melakukan satu amalan agama dengan diberat-beratkan kecuali ia akan lemah, tidak mampu melaksanakan dan akhirnya ia meninggalkan amalan tersebut sehingga ia kalah. Bukan berarti seseorang dilarang untuk melakukan satu ibadah dengan cara yang lebih paling sempurna akan tetapi yang dilarang adalah berlebih-lebihan yang mendatangkan bosan atau bersungguh-sungguh di dalam ibadah sunnah yang menyebabkan ia kehilangan ibadah yang afdhal seperti kasus ada orang yang qiyamul lail semalaman lalu di akhir malam ia ketiduran dan bangunnya telat sehingga ia ketinggalan shalat subuh berjamaah atau bahkan kesiangan. [Fathul Bari]

 

Dan Nabi SAW juga bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَنَالُوا هَذَا الْأَمْرَ بِالْمُغَالَبَةِ إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ

Sungguh kalian tidak akan mendapatkan agama ini dengan kuiat-kuatan. Sesungguhnya sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah[HR Ahmad]

Dipahami dari hadits ini akan dianjurkannya mengambil rukhsah (keringanan) dalam ibadah. Al-Asqalani berkata :

فَإِنَّ الْأَخْذَ بِالْعَزِيْمَةِ فِي مَوْضِعِ الرُّخْصَةِ تَنَطُّعٌ

Melakukan ibadah “Azimah” (pokok, seperti shalat dzuhur dengan 4 rekaat, atau berwudlu dengan air) saat diperbolehkan “Rukhshah” (keringanan, seperti qashar shalat duhur dengan 2 rekaat saat di perjalanan atau tayammum dengan debu saat diperbolehkan) adalah perilaku “Tanatthu’ (berlebih-lebihan).  [Fathul Bari]

 

Hal itu sebagaimana Rasul SAW bersabda :

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang yang berlebih-lebihan (dalam agama) 3x.” [HR Muslim]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka fikiran kita untuk menjalani agama sesuai dengan kemampuan kita sehingga kita bisa melakukannya dengan istiqamah.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Friday, January 31, 2025

MOTIVASI DARI IMAM NAWAWI

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Muawiyah bin Abi Sufyan RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya faham tentang agamanya.” [HR Bukhari Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar mazhab Syafi'i, ahli di bidang fiqih dan hadits. Nama lengkap beliau adalah Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyi ad-Din Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam'ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 631 H dan wafat pada tahun 24 Rajab 676 H.

 

Imam Nawawi berbeda orang dengan Syeikh Nawawi, yaitu Al-Imam Al-'Allaamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani at-Tanari asy-Syafi'i atau lebih dikenal Syekh Nawawi al-Bantani yang lahir di Tanara, Serang, sekitar tahun 1230 Hijriyah atau 1813 Masehi - wafat di Mekkah, Hijaz, sekitar tahun 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi) yang familier dengan kitabnya Nashaihul Ibad, Uqudul Lujain, Kasyifatu Saja.

 

Imam Nawawi terkenal dengan kitabnya, Al-Majmu’ yang merupakan kitab terbesar yang menjadi rujukan dan referensi terbesar dan terpenting didalam madzhab Asy-Syafi’i. Kitab Al-Majmu’ merupakan syarah dari  kitab Al-Muhadzab karya imam Asy-Syirazi (476 H) yang tebalnya sekitar 140 lembar. Kitab Al-Majmu’ sebanyak 9 jilid (edisi cetakan menjadi 23 jilid) ini ditulis oleh Iman An-Nawawi hanya sampai bab riba, Lalu diteruskan oleh Imam Taqiyuddin As-Subki (756 H) sampai pada bab Ar-Radd Bi Al-‘Aib. Kemudian sempurnakan oleh Al-'Alim Al-Faqih As-Syeikh Muhammad Najib bin Ibrahim Al-Muthi' atau  Imam Al-Muthi’.

 

Imam Nawawi dalam mukaddimahnya berkata : “Meskipun kitab ini merupakan penjelasan dari kitab Al-Muhaddzab namun kitab ini juga merupakan penjelasan madzhab Syafii bahkan semua madzhab ulama, dan juga penjelasan mengenai bahasa, sejarah dan nama-nama ulama serta merupakan dasar-dasar yang agung untuk mengetahui hadits shahih, hasan dan dlaif, dan bagaimana cara mengkompromikan hadits hadits yang tampaknya kontradiktif, mentakwil lafadz yang samar dan mengambil kesimpulan hukum dari perkara-perkara yang penting”. [Al-Majmu’]

 

Disamping hadits utama di atas, beliau menyampaikan beberapa hadits dan atsar sebagai motivasi mempelajari ilmu agama dalam mukaddimah kitab Al-Majmu ini.  Diantaranya adalah Rasul SAW bersabda :

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh iri (ghibtah) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu lalu ia menunaikan dan mengajarkannya.” [HR Bukhari]

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasul SAW bersabda :

فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ

 

Seorang yang ahli agama itu lebih berat bagi setan melebihi 1000 Ahli ibadah. [HR Tirmidzi]

 

Di antara Atsar adalah perkataan Muadz bin Jabal RA : “Pelajarilah ilmu (syariat) karena mempelajarinya merupakan “khasyah” (takut kepada Allah), Menuntut ilmu adalah ibadah, mengulang-ngulanginya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan memberikannya kepada orang yang tepat adalah “qurbah” (mendekatkan diri kepada Allah).

 

Sayyidina Ali KW berkata :

اَلْعَالِمُ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْغَازِي فيِ سَبِيْلِ اللهِ

Orang berilmu itu lebih besar pahalanya daripada orang yang berpuasa, lagi qiyamul lail lagi Jihad di jalan Allah.

 

Abu Hurairah dan Abu Dzar RA berkata :

بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ نَتَعَلَّمُهُ أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ أَلْفِ رَكْعَةِ تَطَوُّعٍ

“Mempelajari satu bab dai ilmu lebih kami sukai daripada mengerjakan shalat sunnah 1000 rekaat”.

 

Dan keduanya pernah mendengar Nabi SAW bersabda :

إِذَا جَاءَ الْمَوْتُ طَالِبَ الْعِلْمِ وَهُوَ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ مَاتَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

Jika kematian datang kepada penuntut ilmu ketika ia berada dalam kondisi ini (menuntut ilmu) maka ia mati syahid.

 

Abu Hurairah RA berkata :

لَأَنْ أُعَلِّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ فِي أَمْرٍ وَنَهْيٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ سَبْعِيْنَ غَزْوَةً فِي سَبِيْلِ اللهِ

Mengajar satu bab dari ilmu mengenai perintah Allah dan larangan-Nya itu lebih aku sukai daripada 70 kali perang di jalan Allah.

 

Abud darda’ berkata :

مُذَاكَرَةُ الْعِلْمِ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ

“Mempelajari ilmu (syariat) selama satu jam itu lebih baik dari pada mendirikan ibadah satu malam”.

 

Atha’ (bin Abi Rabah, wafat 114 H) berkata : “Yang dimaksud dengan majelis dzikir (yang dalam hadits disebut sebagai taman surga) adalah majelis dimana disitu dijelaskan mengenai halam dan haram, tatacara jual beli, tatacara shalat dan puasa, menikah dan thalak serta tatacara iabadah haji dan semisalnya”.

 

Imam Syafi’i (w 204 H) berkata :

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ

“Mencari ilmu itu lebih utama daripada Shalat sunnah”.

Dan beliau juga berkata : “Tidak ada perkara yang lebih utama setelah ibadah fardlu daripada menuntut ilmu”. “Orang yang tidak suka kepada ilmu maka tidak ada kebaikan baginya maka jangan sampai antara kamu dengannya ada hubungan perkenalan dan pertemanan”. “Ilmu itu akan menjadi harga diri bagi orang yang tidak memiliki harga diri”. “Barang siapa yang menginginkan dunia maka hendaknya ia mempelajari ilmu dan barang siapa yang menghendaki akhirat maka hendaknya ia mempelajari ilmu”. “Jika para ahli ilmu agama yang mengamalkan ilmunya itu tidak menjadi wali maka tidak ada lagi orang yang menjadi Waliyullah”.

 

Imam Bukhari (w 256 H) menjelaskan perkataan Uqbah bin Amir RA :

تَعَلَّمُوا قَبْلَ الظَّانِّيْنَ

“Belajarlah sebelum (datangnya) orang-orang yang mengira-ngira”

Maksudnya adalah belajarlah ilmu dari ahlinya, yang ahli tahqiq (meneliti kebenaran) dan wara’ (menjauhi perkara syubhat) sebelum mereka meninggal lalu digantikan oleh orang-orang yang berbicara ilmu dengan pendapat pribadinya dan dengan persangkaan-persangkaan yang tidak memiliki sandaran syariat.

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka fikiran kita untuk menjauhi senantiasa mempelajari ilmu agama sehingga kita memahaminya dan semoga kita termasuk orang-orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah SWT.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Thursday, January 23, 2025

SAMIALLAHU LIMAN HAMIDAH

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Anas Bin Malik RA, Rasul SAW bersabda :

وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Jika Imam membaca “Samiallahu Liman Hamidah” maka ucapkanlah “Rabbana Walakal Hamd”. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Abu bakar As-Shiddiq RA merupakan sahabat yang rajin shalat berjamaah bersama dengan Rasul SAW. Ia tidak pernah telat untuk shalat dibelakang Nabi SAW hingga satu ketika ia menyangka telat tertinggal shalat Ashar berjamaah bersama Nabi SAW. Dengan tergesa-gesa dan dengan raut muka sedih, ia berjalan menuju masjid. Di luar dugaan ternyata ia masih menemui shalat Rasul SAW yang mana saat itu beliau sedang bertakbir untuk menuju rukuk. Diapun bersyukur memuji Allah akan hal ini dengan mengucap “Alhamdulillah” dan segera ia bertakbir memulai shalat di barisan makmum. Dan di saat Nabi SAW masih dalam keadaan rukuk, Malaikat Jibril turun dan berkata :

يَا مُحَمَّدُ، سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

“Wahai Muhammad, Semoga Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya”.

 

Dan dalam riwayat yang lain, Nabi SAW bersabda :

اِجْعَلُوْهَا فِي صَلَاتِكُمْ

Jadikanlah ia (Samiallahu Liman Hamidah) dalam shalat kalian.

 

Maka lafadz tersebut diucapkan saat bangun dari rukuk. Sebelumnya, ketika hendak rukuk dan bangun dari rukuk Rasul SAW membaca takbir. Namun sejak saat itu kata “Samiallahu Liman Hamidah” menjadi sunnah berkahnya Abu Bakar RA. [I’anatut Thalibin]

 

Jadi bermula dari “Alhamdulillah” yang dikatakan oleh Abu bakar lalu doa malaikat Jibril yaitu “Samiallahu Liman Hamidah” lalu berlanjut kepada dzikir setelahnya. Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi berkata: “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi SAW. Ketika mengangkat kepalanya dari ruku beliau mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah” (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya). Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca :

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

(Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah).

 

Setelah selesai shalat, beliau bertanya: ‘Siapa orang yang membaca kalimat tadi?’ Orang itu menjawab, ‘Saya.’ (tidak lain adalah Rifa’ah sendiri) Beliau bersabda :

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

Aku melihat lebih dari 30 Malaikat, berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu mencatat (kebaikan dari) kalimat tersebut.” [HR Bukhari]

 

Lagi-lagi hal ini kemudian menjadi bacaan yang ditetapkan oleh Nabi SAW sebagaimana dalam hadits utama di atas Rasul SAW bersabda : “Jika Imam membaca “Samiallahu Liman Hamidah” maka ucapkanlah “Rabbana Walakal Hamd”. [HR Muslim]

 

Kapan At-Tasmi’ (Bacaan “Samiallahu Liman Hamidah”) itu dibaca? Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata : menurut dzahirnya teks hadits di atas, tasmi’ itu dibaca setelah seseorang mengangkat kepala dari posisi ruku’ sehingga tasmi’ merupakan dzikirnya i’tidal, namun dalam redaksi hadits Abu Hurairah dan lainnya disebut bahwa tasmi’ adalah dzikir intiqal (perpindahan). Maka dengan menggabungkan kedua hadits yang nampaknya kontradiktif tersebut dipahami bahwa maksud dari perkataan “Ketika ia mengangkat kepala” maksudnya adalah ketika mulai bergegas mengangkat kepala maka ia memulai membaca tasmi’ dan menyempurnakan hingga posisi i’tidal. [Fathul Bari]

 

Bagaimana cara membaca tasmi’? Al-Khatib As-Syarbiny berkata : “Imam membaca tasmi’ dengan suara keras dan membaca bacaan ‘Rabbana’ dengan suara pelan, sedang bagi selain imam (makmum, orang yang shalat sendirian) membaca dengan suara lirih keduanya. Muballigh (penyampai suara imam) membaca dengan keras bacaan yang dikeraskan oleh imam dan membaca dengan lirih bacaan yang dilirihkan oleh imam sebagaimana keterangan kitab al-Majmu’ karena kedudukan muballigh sebagai pemindah bacaan dari imam”. [Al-Iqna’].

 

Ada catatan Ibnu Hajar yang menarik mengenai hadits tasmi’ di atas. Pertama, Malaikat yang berebut untuk mencatat pahala tasmi’ tersebut bukanlah malaikat hafadzah (pencatat amalan) melainkan malaikat yang bertugas mencari ahli dzikir. Hal ini sebagaimana dalam hadits disebutkan :

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ

”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki malaikat-malaikat yang berkelana di jalan-jalan mencari Ahli Dzikir. [HR Bukhari].

Dalam lanjutannya disebutkan : “Jika mereka telah menemukan sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling mengajak : “Kemarilah, ini dia yang kalian cari”. Maka para malaikat itu mengelilingi orang-orang yang berdzikir dengan sayap mereka (dan bertumpuk-tumpuk) hingga sampai ke langit dunia. [HR Bukhari].

 

Kedua, bahwa jumlah malaikat yang berebut untuk mencatat itu berjumlah 30 lebih (bidl’un). Jadi jumlah mereka antara 31-39 malaikat. Sedangkan jumlah huruf dari “Rabbana Walakal Hamd dst” adalah 33 Huruf. Jadi terdapat kesesuaian antara jumlah malaikat dan jumlah hurufnya. [Fathul Bari]

 

Ketiga, hadits tersebut menjadi dalil bolehnya membaca dzikir baru yang tidak diajarkan Rasul SAW di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (diajarkan Rasul SAW). Keempat, diperbolehkan mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang yang bersamanya. [Fathul Bari]

 

Dalam riwayat lain, doa di atas dilatar belakangi kejadian bersin. Suatu ketika Rifa’ah shalat berjamaah di belakang Rasul SAW. Lalu ia bersin dan membaca :

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, lagi baik dan penuh berkah sebagaimana Allah senang dan ridla terhadapnya”.

Dan di akhir hadits, Nabi SAW bersabda : “Demi Allah, Terdapat lebih dari 30 Malaikat, berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu membawa kalimat tersebut ke atas (langit).” [HR Turmudzi]

 

Lantas bagaimana dengan hukum membaca hamdalah bagi orang yang bersin?  Ibnu Hajar Al-Haytami berkata :

وَيُسَنُّ لِمُصَلٍّ عَطسَ ... أَنْ يَحْمَدَ بِحَيْثُ يُسْمِعُ نَفْسَهُ

Sunnah bagi orang yang bersin ketika shalat agar ia membaca hamdalah dengan volume suara sekedar ia bisa mendengarkan ucapannya sendiri. [Tuhfatul Muhtaj]

 

Adapun bagi orang shalat yang lain, maka dia tetap dianjurkan mendoakannya seperti di luar shalat? Namun dengan redaksi do’a seperti Rahimahullah, Yarhamuhullah (semoga Allah merahmatinya) dan bukan dengan redaksi pembicaraan manusia seperti “Yarhamukallah” (semoga Allah merahmatimu, karena hal ini dapat membatalkan shalatnya). [Tuhfatul Muhtaj] Dan jika hal itu dilakukan di saat tengah membaca surat Al-fatihah maka bacaan fatihah tersebut harus diulang dari awal karena bacaan fatihahnya dinilai terputus. [Bughyatul Mustarsyidin]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka fikiran kita untuk senantiasa menambah ilmu setiap hari sehingga hari-hari sepanjang hidup kita menjadi berkah.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]