إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Saturday, October 19, 2024

RESIKO PENCERAMAH

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid RA, Rasul SAW bersabda :

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى

“Terdapat seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian ia dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan iapun berputar-putar di neraka seperti keledai berputar-putar mengitari alat penumbuk gandumnya...” [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Ceramah kini menjadi profesi yang menggiurkan sampai-sampai menjadi sorotan pajak. Menurut Kring Pajak, pengkotbah seperti Ulama masuk sebagai subjek pajak. Yaitu kategori jasa pekerjaan bebas. Sesuai Pasal 56 ayat (4) huruf d Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022”. terang @kring_pajak. [Belasting id]

 

Honor penceramah menjadi sorotan dan menuai pro kontra. Yang kontra beralasan bahwa ceramah lebih condong kepada tugas seorang nabi kepada kaumnya sehingga tidak layak menerima imbalan, sebagaimana para nabi tidak tidak pernah meminta imbalan. Adapun yang pro mereka beralasan bahwa jika seorang artis saja yang kerjanya menebar maksiat dan cuma menghadirkan kebahagiaan sesaat, bisa menerima honor ratusan juga rupiah. Masak seorang ustadz yang sebenarnya juga diminati oleh khalayak, kok cuma disampaikan ucapan terima kasih alias syukron? Bahkan seharusnya honor pak ustadz lebih tinggi dari honor para artis. Sebab yang diberikan pak ustadz itu adalah kebenaran hakiki, sedangkan para artis hanya bisa memberikan hiburan sesaat.  Di zaman Nabi saja, seorang tawanan yang bisa mengajarkan 10 orang untuk bisa sekedar membaca dan menulis akan mendapat imbalan berupa dibebaskan padahal harga tebusan untuk itu sangatlah tinggi.

 

Terlepas dari honor dan profesi, memberikan ceramah kepada orang lain akan memiliki konsekwensi yang sangatlah berat jika yang bersangkutan tidak mengamalkan apa yang ia sampaikan. Dalam hadits utama di atas disebutkan, Nabi SAW bersabda : “Seseorang didatangkan pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke neraka hingga ususnya terburai keluar dan ia berputar-putar di neraka seperti keledai berputar-putar mengitari alat penumbuk gandumnya, kemudian penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya: ‘Hai fulan! Apa yang menimpamu?, bukankah dulu kau menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari yang kemungkaran?’ Ia menjawab:

بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Benar, dulu aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku meninggalkannya dan aku mencegah kemungkaran tapi aku melanggarnya.” [HR Muslim]

 

As-Sya’bi meriwayatkan bahwa ada penduduk surga melihat penduduk neraka. Penduduk surga bertanya : Kenapa kalian masuk neraka padahal kami masuk surga sebab apa yang telah kau ajarkan dahulu? Mereka menjawab :

إِنَّا كُنَّا نَأْمُرُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَلَا نَفْعَلُهُ

Dahulu kami mengajarkan kebaikan kepada manusia namun kami sendiri tidak melakukannya. [Fi Ulumil Qur’an, Abdus salam Kafafy]

 

Dalam hadits lain, disebutkan :

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ

Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya di ahri kiamat adalah orang alim yang mana Allah tidak menjadikan ilmunya bermanfaat. [HR Al-Baihaqi]

 

Jundab bin Abdillah Albajaly berkata :

إِنَّ مَثَلَ الَّذِي يَعِظُ النَّاسَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَالْمِصْبَاحِ يَحْرِقُ نَفْسَهُ وَيُضِيءُ لِغَيْرِهِ

Perumpamaan orang yang menasehati orang lain semenatara ia melupakan dirinya sendiri, itu seperti lentera. Ia membakar dirinya untuk menerangi lainnya.

 

Malik Bin Dinar menemukan tulisan dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu :

مَا مِنْ خَطِيْبٍ إِلَّا وَتُعْرَضُ خُطْبَتُهُ عَلَى عَمَلِهِ

“Tidak ada penceramah melainkan nantinya materi khutbahnya akan diperlihatkan kepada amaliahnya”.

Jika sesuai maka ia dibenarkan namun jika (tidak sesuai) ia bohong maka kedua bibirnya digunting dengan gunting api. Setiap kali kedua bibirnya dipotong maka akan tumbuh lagi. [Ihya]

 

Hal ini sebagaimana kejadian ketika Isra’, Rasul SAW bertemu dengan segolongan orang yang mana bibir mereka digunting dengan gunting dari api. Rasul SAW bertanya siapakah mereka. Mereka menjawab :

خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Mereka itu adalah tukang ceramah ketika di dunia. Mereka memerintahkan orang lain untuk melakukan kebaikan namun mereka sendiri melupakannya padahal mereka membaca Al-Qur’an. Tidakkah mereka berpikir? [HR Ahmad]

 

Maka Abul Aswad Ad-Du’aly memberikan nasehat kepada para penceramah, Beliau berkata :

لا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وتأتِيَ مِثلَهُ :: عَارٌ علَيْكَ إذَا فَعَلْتَ عَظِيمُ

Janganlah engkau melarang sesuatu sementara engkau sendiri melakukannya. Sebab itu adalah aib yang sangat besar jika engkau melakukannya. [Tafsir Ibnu Katsir]

 

Dengan berbagai pertimbangan di atas maka banyak para ulama yang berat hati kalau harus memberikan ceramah. Al-Qurtubi meriwayatkan bahwa Ibrahim An-Nakha’i berkata : “Aku tidak senang untuk berceramah karena pertimbangan adanya tiga ayat”, Yaitu : Ayat Pertama :

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS Al-Baqarah : 44]

 

Ayat Kedua :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ :: كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [QS Ash-Shaf :2-3]

 

Ayat Ketiga :

وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ

Aku (sebenarnya) tidak ingin berbeda sikap denganmu (lalu melakukan) apa yang aku sendiri larang... [QS Hud : 88]  [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Kisah lain sebagaimana disampaikan oleh Abu Amr bin Mathar. Ia bercerita bahwa ia pernah menghadiri majelisnya Syeikh Abu Ustman Al-Hayri Az-Zahid. Syeikh datang lalu duduk di tempat ceramahnya namun syeikh terdiam lama sekali sehingga ada orang berkata “kenapa engkau terdiam, apakah ada sesuatu yang terjadi?” Maka  Abu Ustman berkata :

وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى :: طَبِيْبٌ يُدَاوِي وَالطَّبِيْبُ مَرِيْضُ

Orang yang tidak bertaqwa jika ia memerintahkan orang lain untuk bertaqwa itu sama halnya dengan dokter yang mengobati pasien sementara dokter tersebut sedang sakit”.

Maka setelah mendengar jawaban itu para jamaah yang hadir menjadi gaduh dengan suara tangisan. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Namun demikian ada pertimbangan lain ketika seorang ulama tetap menjalankan tugasnya memberikan ceramah dan nasehat meskipun dengan berat hati. Satu ketika Al-Hasan menyuruh Mutharrif bin Abdillah untuk berceramah di hadapan para sahabatnya maka Mutharrif tidak mau berceramah dengan  alasan takut termasuk golongan orang yang berkata atas apa yang tidak dikerjakan. Al-Hasan berkata :

يَرْحَمُكَ اللهُ! وَأَيُّنَا يَفْعَلُ مَا يَقُوْلُ! وَيَوَدُّ الشَّيْطَانُ أَنَّهُ قَدْ ظَفَرَ بِهَذَا، فَلَمْ يَأْمُرْ أَحَدٌ بِمَعْرُوْفٍ وَلَمْ يَنْهَ عَنْ مُنْكَرٍ

Semoga Allah merahmatimu. Siapa sih dianatara kita yang bisa melakukan apa yang ia ucapkan. Setan ingin mencegah kita dengan statement tersebut sehingga tidak ada seorangpun yang mau memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Dan senada dengan hal ini, Sa’id bin Jubayr berkata :

لَوْ كَانَ الْمَرْءُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ حَتَّى لاَ يَكُوْنَ فِيْهِ شَيْءٌ مَا أَمَرَ أَحَدٌ بِمَعْرُوْفٍ وَلَا نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ

Seandainya seseorang itu tidak boleh amar ma’ruf nahi mungkar sehingga orang itu bersih tanpa dosa maka tidak akan ada orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Ketika hal tersebut sampai kepAda Imam Malik maka beliau berkata :

صَدَقَ، مَنْ ذَا الَّذِي لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ

Benarlah apa yang ia katakan, siapa sih yang tidak punya dosa dalam dirinya? . [Tafsir Al-Qurtubi]

 

Ada hal lain yang memotivasi supaya seorang ulama terus mengajarkan kebaikan yaitu mengharap ampunan dari Allah SWT. Nabi SAW bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخَيْرَ

"Sesungguhnya Allah, para Malaikat-Nya, penduduk langit-langit dan bumi-bumi, hingga semut-semut yang ada di lubangnya, hingga ikat-ikan, benar-benar semuanya bershalawat (memintakan ampun) untuk orang yang mengajari kebaikan kepada manusia." [HR Tirmidzi]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk terus menjalankan tugas tabligh, menyampaikan ilmu Nabi SAW dengan disertai introspeksi diri supaya kita sendiri juga selamat di dunia dan akhirat.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Tuesday, October 15, 2024

PINJAM DULU SERATUS

*ONE DAY ONE HADITH*
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA, Rasul SAW bersabda :
لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا
“Jangan kalian meneror diri kalian sendiri (dengan berhutang), padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.” [HR Ahmad]
_Catatan Alvers_
“Agar silaturahmi tidak terputus, Pinjam dulu seratus!” sering kita dengar statement ini di medsos. Dan ada juga yang berujar “hutang adalah pemutus silaturahmi paling tajam”. Dua statement tentang hutang tersebut bertentangan satu sama lain. Yang satu menjadikan sebagai sarana silaturahmi dan yang kedua justru sebagai pemutusnya. Yang satu menjadikan hutang bermakna positif namun yang kedua menjadikan hutang bermakna negatif. Lantas manakah yang benar?
Ketahuilah bahwa kendati berhutang itu hukumnya boleh di dalam Islam, namun demikian hendaknya kita tidak mudah-mudah dalam berhutang karena hutang akan mendatangkan berbagai risiko. Diantaranya (1) Hutang bisa menjadi penyebab hidup tidak tenang. Hidup yang awalnya tenang dan damai berubah menjadi hidup yang dipenuhi kesusahan. Orang bijak berkata “Jika minum kopi bikin tenang, Maka hidup tanpa hutang jauh lebih tenang”. Umar RA berkata :
أَلَا إِنَّ الدَّيْنَ أَوَّلُهُ هَمٌّ وَآخِرُهُ حُزْنٌ
Ketahuilah, Sesungguhnya hutang itu awalnya adalah kesusahan dan akhirnya adalah kesedihan. [Musykilul Atsar Lit Thahawi]
(2) Bahkan hutang bisa menjadikan seseorang hidup dalam keadaan mencekam dan dipenuhi ketakutan. Takut jika bertemu dengan orang yang menghutangi, takut ditagih hutangnya, takut tidak bisa membayar, takut didatangi debt collector, takut disita barang jaminannya. Rasul SAW jauh-jauh hari telah mengingaytkan kita, Beliau bersabda :
لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا
“Jangan kalian meneror diri kalian sendiri, padahal sebelumnya kalian dalam keadaan aman.”
Para sahabat bertanya, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Itulah hutang!’ [HR Ahmad]
(3) Hutang memang boleh saja namun seseorang bisa jadi terjerumus kepada perbuatan dosa akibat hutangnya. Ada seseorang berkata kepada beliau: “Betapa seringnya Engkau berlindung dari hutang, (mengapa demikian?)”. Beliau pun menjawab:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
Sesungguhnya seseorang yang berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia tidak menepatinya. [HR Bukhari]
(4) Statement “hutang adalah pemutus silaturahmi paling tajam” ada benarnya juga. “Satu ketika Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah yang merupakan sahabat Nabi dari kalangan Anshar menderita sakit. Dan ada hal yang aneh, yaitu minim sekali teman yang menjenguknya. Iapun bertanya-tanya sebabnya sehingga ada yang memberitahukan bahwa mereka malu kepadanya karena mereka masih punya hutang yang belum dilunasi. Lalu Qays berkata : “Semoga Allah menghinakan harta yang telah mencegah kawan-kawan menjengukku”. Lalu ia menyuruh orangnya untuk memberikan pengumuman :
مَنْ كَانَ لِقَيْسٍ عِنْدَهُ مَالٌ فَهُوَ مِنْهُ فِي حِلٍّ
“Barangsiapa yang punya hutang kepada Qays maka Qays telah membebaskan hutangnya”.
Setelah itu, banyak sekali orang yang datang menjenguknya sampai-sampai daun pintu rumahnya patah.” [Al-Mustathraf]
(5) Hutang akan menjadi sumber perselisihan. Seseorang akan kemungkinan akan berselisih dalam urusan hutang seperti tanggal jatuh tempo atau besaran hutangnya. Mengapa demikian? Kaena manusia itu tempatnya salah dan lupa. Dan Kelupaan tersebut berlaku dalam hal apa saja terutama dalam urusan hutang. Ada orang berkata “Riset membuktikan, orang akan mulai amnesia jika ditanya soal utang.” (katanya sih!). Nabi SAW bersabda :
اَلْغَفْلَةُ فِي ثَلاَثٍ : اَلْغَفْلَةُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَالْغَفْلَةُ عَنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ إِلَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ ، وَغَفْلَةُ الرَّجُلِ عَنْ نَفْسِهِ فِي الدَّيْنِ
Lupa itu (mudah) terjadi pada tiga perkara : 1. Lupa mengingat Allah azza wajalla, 2. Lupa (tidak) melakukan shalat subuh sehingga matahari terbit, 3. Lupanya seseorang dari hutangnya sendiri. [HR Baihaqi]
Dalam lain riwayat, pada bagian akhir hadits tadi terdapat tambahan :
حَتَّى يُرَكِّبَهُ
(seseorang lupa akan hutangnya sendiri) sehingga ia menumpuk hutangnya. [HR Baihaqi]
Oleh karena itu, untuk mengatisipasi perselihan tersebut maka Allah memerintahkan kita untuk mencatat hutang. Allah SWT berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. [QS Al-Baqarah : 282]
(6) Hutang akan berpotensi menjadi sumber kedzaliman. Bagaimana tidak? Kata orang “Ia selalu mengatakan tidak punya uang namun dari statusnya ia sering plesiran sama keluarganya bahkan flexing barang yang dibelinya. Di situ kadang saya merasa sedih.” Ada lagi yang berkata “Zaman sekarang, yang diutangin lebih galak daripada yang mengutangi”. Kecenderungan menunda-nunda bayar hutang padahal mampu membayar adalah perilaku tidak terpuji bahkan Nabi SAW bersabda :
ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ ‏
“Penundaan (pembayaran hutang dari) seorang yang mampu adalah sebuah kezaliman”. [HR Bukhari]
(7) Hutang akan mendatangkan kehinaan di dunia. Sufyan Ats-Tsauri berkata :
الدَّيْنُ هَمٌّ بِاللَّيْلِ وَذُلٌّ بِالنَّهَارِ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُذِلَّ عَبْدًا جَعَلَ عَبداً جَعَلَهُ قِلَادَةً فِي عُنُقِهِ
Hutang itu merupakan kesusahan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Jika Allah menghendaki untuk menjadikan seseorang hina maka Allah menjadikan hutang sebagai kalung (beban) di lehernya. [Al-Iqdul Farid]
Suatu ketika Umar RA melihat seseorang (Ibnu Juraij) sedang memakai penutup wajah (untuk menyamar karena malu memiliki hutang dari beberapa orang) maka Umar berkata : “Lukman Al-hakin pernah berkata : Menutup wajah itu mendatangkan prasangka di malam hari dan kehinaan di siang hari”, lalu orang tersebut menjawab:
إِنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيْمَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ
“Iya, karena itulah sesungguhnya Lukman Al-Hakim tidak pernah berhutang.” [Al-Iqdul Farid]
(8) Bahkan hutang juga akan mendatangkan kehinaan di akhirat kelak. Maka orang bijak berkata “Segeralah lunasi semua hutang karena kematian datang tanpa diundang”. Muhammad bin 'Abdullah bin Jahsy RA berkata; Suatu ketika Kami duduk di halaman masjid tempat diletakkannya jenazah sementara Rasulullah SAW duduk dihadapan kami, Rasul menengadahkan pandangan beliau ke arah langit, beliau melihat kemudian mengangguk-anggukkan pandangan dan meletakkan tangan diatas dahi lalu bersabda; "Subhaanallaah, subhaanallaah, kesulitan apa yang turun." Muhammad bin 'Abdullah RA terdiam; Kami diam sehari semalam dan kami tidak menilainya baik hingga pagi hari. Berkata Muhammad; Aku bertanya kepada Rasulullah SAW kesulitan apakah yang turun. Rasulullah SAW bersabda;
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ عَاشَ ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ عَاشَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَقْضِيَ دَيْنَهُ
"Itu urusan hutang. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangannya, andai seseorang mati syahid di jalan Allah kemudian hidup lagi kemudian mati syahid lagi di jalan Allah kemudian hidup lagi namun ia masih memiliki hutang (yang belum dilunasi) niscaya tidak masuk surga hingga ia melunasi hutangnya." [HR Ahmad]
Kembali ke pertanyaan di atas, manakah yang benar dari dua statement diatas. Apakah hutang itu menjadi penyambung silaturahmi atau pemutus silaturahmi? Jawab saya itu tergantung bagaimana pelaku menyikapinya. Jika hutang disikapi dengan positif yakni dijadikan sebagai sarana untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, kedua orang saling terbuka dan jujur serta ikhlas maka hutang akan menjadi perbuatan yang positif bahkan menjadi sarana datangnya pertolongan Allah bagi keduanya. Namun jika keduanya berniat jelek semisal pemberi hutang mencari keuntungan riba dan penerima hutang berniat tidak membayar dari awal atau salah satu dari mereka seperti itu maka hutang akan menjadi hal yang negatif sebagaimana paparan di atas.
Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk tidak mudah berhutang kecuali dalam kondisi terpaksa. Mari kita berdoa semoga yang sedang terlilit hutang segera diberikan rizki untuk melunasinya.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Saturday, October 12, 2024

ULAMA VS PENCERAMAH

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam RA, Rasul SAW bersabda :

وَسَيَأْتِي زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ ، كَثِيرٌ خُطَبَاؤُهُ ، كَثِيرٌ سُؤَّالُهُ ، قَلِيلٌ مُعْطُوهُ ، الْعِلْمُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ

“Akan datang satu masa dimana orang-orang faqih-nya sedikit, sementara banyak para penceramahnya, banyak para peminta-minta dan sedikit orang-orang yang memberi, ketika itu ilmu lebih baik dari pada amal”. [HR Thabrani]

 

Catatan Alvers

 

Pada zaman sekarang kita dengan mudah menemukan penceramah di mana-mana. Mulai yang tua maupun yang muda bahkan anak-anak. Ajang lomba ceramah semacam PILDACIL (pemilihan da’i cilik) pun di gelar di berbagai tempat dan banyak sekali pesertanya. Sementara orang yang faham ilmu agama (Faqih) dan ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya semakin sulit untuk ditemukan. Banyak di antara mereka meninggal dunia lalu banyak diantara mereka tidak memiliki generasi penerus dalam keilmuan dan amalihah mereka. Hal ini sebagaimana sabda Rasul SAW :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada para pemuka-pemuka yang bodoh. Ketika ditanya, maka mereka itu berfatwa dengan tanpa ilmu. mereka itu sesat dan menyesatkan. [HR Bukhari]

 

Dengan demikian secara perlahan namun pasti akhirnya kita sampai pada zaman yang disebutkan oleh baginda Nabi SAW dalam hadits utama di atas “Akan datang satu masa dimana orang-orang faqih-nya sedikit, sementara banyak para penceramahnya. banyak para peminta-minta dan sedikit orang-orang yang memberi, ketika itu ilmu lebih baik dari pada amal”. [HR Thabrani].

 

“Faqih adalah orang yang faham agama dengan hatinya itu berbeda dengan khatib (penceramah) yang mana ia berceramah dengan lisannya. Terkadang hati itu memiliki pengetahuan dan ilmu yang agung namun orangnya tidak mengungkapkannya kepada orang lain. Dan sebaliknya, terkadang seseorang berbicara banyak ilmu pengetahuan hati dan hal ihwalnya sementara hatinya kosong. Hal ini seperti perumpamaan Nabi SAW mengenai orang munafiq yang membaca Qur’an, ia seperti tumbuhan Rayhanah. Baunya wangi namun rasanya pahit. Disini Rasul SAW menjelaskan bahwa ada orang yang membaca Qur’an dan berbicara mengenai kalam Allah namun ia dalah orang munafik yang mana di dalam hatinya tidak terdapat iman. Dan disisi lain, beliau memberikan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Quran ialah seperti buah kurma, tidak ada baunya, tetapi rasanya manis. Jadi ada orang yang hatinya beriman dan didalam hatinya terdapat tauhid, mahabbah dan khashyah yang agung namun dia tidak membicarakan hal itu kepada orang lain”. [Da’ru Ta’arudil Aql Wan Naql]

 

“Banyak diantara para penceramah saat ini tidak memilah milih kisah dan cerita yang disampaikan, yang penting bagi mereka kisahnya menarik perhatian bahkan tak jarang menyampaikan hadits palsu dan cerita bohong dengan niatan motivasi amal shalih ataupun sekedar biar tenar dan banyak mendapat job”. [Majalah Al-Bayan 98 Maktabah Syamilah]

Maka di zaman akhir dimana banyak penceramahnya, Ibnu Rajab Al-Hambali berkata :

فَمَنْ كَثُرَ عِلْمُهُ وَقَلَّ قَوْلُهُ فَهُوَ الْمَمْدُوحُ، وَمَنْ كاَنَ بِالْعَكْسِ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ

Barang siapa yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya maka dialah orang yang terpuji. Dan orang yang sebaliknya (Sedikit ilmu namun banyak bicara) dialaha orang yang tercela.  [Majmu’ Rasa’il Ibni Rajab]

 

Dalam konteks ini pula, Ibnu Mas’ud berkata :

اِعْلَمُوا أَنَّ حُسْنَ الْهَدْيِ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَيْرٌ مِنْ بَعْضِ الْعَمَلِ

Ketahuilah bahwa baiknya perilaku (teladan) di akhir zaman itu lebih baik daripada sebagian amalan. [Adabul Mufrad]

 

Kondisi sekarang ini berbanding terbalik dengan kondisi di zaman Nabi SAW. Pada hadits yang sama, sebelumnya Rasul SAW menjelaskan :

إِنَّكُمْ قَدْ أَصْبَحْتُمْ فِي زَمَانٍ كَثِيرٍ فُقَهَاؤُهُ ، قَلِيلٍ خُطَبَاؤُهُ ، كَثِيرٍ مُعْطُوهُ ، قَلِيلٍ سُؤَّالُهُ ، الْعَمَلُ فِيهِ خَيْرٌ مِنَ الْعِلْمِ

Kalian sekarang berada pada masa orang-orang faqih-nya banyak, sedangkan para khathib (penceramah)nya sedikit, banyak orang yang memberi dan dan sedikit para peminta-minta, amal itu lebih baik daripada ilmu.  [HR Thabrani]

 

Al-Qari menjelaskan bahwa makna dari “amal itu lebih baik daripada ilmu” adalah di zaman tersebut menampakkan amal itu lebih baik daripada menampakkan ilmu supaya orang-orang mudah untuk meneladaninya. Hal ini tentu tidak bertentangan dengan keutamaan ilmu secara mutlak. [Al-Iraqy, Takhrij Ahaditsil Ihya]

 

Dalam hadits tersebut terdapat tigal hal yang berbanding terbalik dengan berbedanya zaman yaitu Ulama VS penceramah, Pemberi VS peminta-minta, Ilmu VS Amal. Dan terdapat tambahan penjelasan mengenai Hal ini. Suatu ketika ada orang Yaman mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata : Tolong ajarkan Al-Qur’an kepadaku. Ibnu Mas’ud menyuruhnya pulang. Di perjalanan, orang itu bertemu dengan satu kaum yang mendengarkan kisah tadi maka mereka menganjurkannya untuk belajar “kalam” (berpidato). Orang yaman itu kembali kepada Ibnu Mas’ud. Lalu Ibnu Mas’ud berkata :  “Engkau sekarang berada pada masa dimana orang-orang faqih-nya banyak, sedangkan para penceramahnya sedikit, banyak orang yang memberi dan sedikit para peminta-minta”

الْعَمَلُ فِيهِ قَائِدٌ لِلْهَوَى

saat ini amal bisa menuntun hawa nafsu. dan sebentar lagi akan datang satu masa dimana para khathib (penceramah)nya banyak sedangkan ulama’nya sedikit. Banyak orang yang meminta-minta dan sedikit orang yang memberi.

الْهَوَى فِيهِ قَائِدٌ لِلْعَمَلِ

Saat itu hawa nafsu akan mengendalikan amal seseorang. [Al-Ibanah Al-Kubra Libni Batthah]

 

Di dalam riwayat lain, Ibnu Mas’ud berkata : “Kalian sekarang berada pada masa dimana para khathib (penceramah)nya sedikit sedangkan ulama’nya banyak,

يُطِيلُونَ الصَّلَاةَ، وَيُقَصِّرُونَ الْخُطْبَةَ

“mereka memanjangkan shalat dan memendekkan khutbah”.

Dan akan datang satu masa dimana ulama’nya sedikit namun para khathib (penceramah)nya banyak.

يُطِيلُونَ الْخُطْبَةَ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ

Mereka itu memanjangkan khutbah dan mengakhirkan shalat”.  [HR Thabrani]

 

Kapan itu terjadi? Ibnu Mas’ud menjelaskan : “(dan itu semua terjadi) Jika kalian sudah melihat orang-orang meninggikan bangunan, berlaku tidak adil dalam hukum, menerima suap, semoga semua selamat dan selamat. Orang yaman itu bertanya : Lantas perkara apakah  yang bisa menyelamatkan kami? Ibnu Mas’ud menjawab :

تَأْخُذُ حِلْسًا مِنْ أَحْلَاسِ بَيْتِكَ فَتَلْبَسهُ , وَتَكُفُّ لِسَانَكَ وَيَدَكَ

“Hendaknya engkau mengambil alas rumahmu dan memakainya, menahan mulut dan tanganmu”. [Al-Ibanah Al-Kubra Libni Batthah]

 

Begitu beratnya mengamalkan ilmu di akhir zaman ini maka Rasul SAW bersabda :

إِنَّكُمْ الْيَوْمَ فِي زَمَانٍ كَثِير عُلَمَاؤُه ، قَلِيلُ خُطَباَؤُه ، مَنْ تَرَكَ عُشْرَ مَا يَعْرِفْ هَوَى ، وَيَأْتِي مِنْ بَعْدُ زَمَانٌ كَثْير خُطَبَاؤُه ، قَلِيلُ عُلَمَاؤُه ، مَنْ اسْتَمْسَكَ بِعُشْرِ مَا يَعْرِفُ فَقَدْ نَجَا».

Sesungguhnya kalian hari ini berada pada suatu zaman banyak ulamanya, dan sedikit penceramahnya. Barangsiapa yang meninggalkan sepuluh persen dari yang dia ketahui maka dia akan tergelincir. Dan akan datang setelahnya zaman dimana banyak penceramahnya, dan sedikit ulama’nya. Barangsiapa yang berpegang teguh dengan sepeuluh persen saja dari apa yang dia ketahui maka sungguh dia telah selamat. [Al-Amal As-Shalih]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk terus belajar ilmu dan berusaha mengamalakannya semampu kita supaya kita menjadi orang yang selamat di zaman akhir ini.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Wednesday, October 9, 2024

TIPS SHALAT KHUSYU’


ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abud Darda’ RA, Rasul SAW bersabda :

أَوَّلُ مَا يُرْفَعُ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ الْخُشُوعُ حَتَّى لَا تَرَى فِيْهَا خَاشِعًا

Perkara pertama yang diangkat (hilang) dari ummat ini adalah khusyu’ sehingga engkau tidak menemukan orang yang shalat dengan khusyu’. [HR Thabrani]

 

Catatan Alvers

 

Shalat sangatlah penting bagi seorang muslim. Tidak hanya sebagai kewajiban namun shalat bisa menjadikannya sebagai muslim yang baik karena shalat bisa menjauhkannya dari kejelekan. Allah SWT berfirman :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ  إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. [QS Al-'Ankabut : 45]

 

Jika ada fakta orang yang shalat namun ia tetap melakukan kejelekan maka shalatnya haruslah lebih diperhatikan. Adakah kesalahan dalam shalatnya. Dalam hadits disebutkan :

مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْداً

Barang siapa yang shalatnya tidak bisa menjadikannya tercegah dari perbuatan keji dan mungkar maka ia tidak bertambah dari Allah melainkan bertambah jauh dari-Nya. [Ihya]

 

Ya, boleh jadi orang itu mengerjakan shalatnya dengan asal-asalan, ia mengerjakannya dengan lalai dan tidak khusyu’ dalam shalatnya. Imam Ghazali berkata :

وَالصَّلاَةُ مُنَاجَاةٌ فَكَيْفَ تَكُونُ مَعَ الْغَفْلَةِ؟

Shalat itu munajat (berbisik kepad Allah) maka bagaimana bisa shalat itu dilakukan dengan lalai? [Ihya]

 

Maka shalat itu tidak cukup dikerjakan sesuai syarat dan rukunnya namun khusyu juga merupakan hal yang tak boleh diabaikan. Allah SAWt berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. [QS Al-Mu’minun 1-2]

 

Khusyu’ itu sulit dilakukan apalagi di akhir zaman seperti sekarang ini. Nabi SAW dalam hadits utama bersabda : Perkara pertama yang diangkat (hilang) dari ummat ini adalah khusyu’ sehingga engkau tidak menemukan orang yang shalat dengan khusyu’. [HR Thabrani]

 

Namun demikian kita harus tetap berusaha belajar khusyu’ dalam shalat karena shalat yang dilakukan dengan lalai maka itu akan sia-sia. Dalam hadits disebutkan :

لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى صَلَاةٍ لَا يُحْضِرُ الرَّجُلُ فِيْهَا قَلْبَهُ مَعَ بَدَنِهِ

Allah tidak memperhatikan shalat yang mana orangnya tidak menghadirkan hati bersama badannya [Ihya]

 

Bagaimana cara agar kita bisa shalat dengan khusyu’? Rasul SAW memberikan tipsnya. Dalam satu hadits disebutkan :

وَإِذَا صَلَّيْتَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ

“Dan jika engkau shalat maka lakukan shalat seperti shalatnya orang yang berpamitan” [Ihya]

 

Imam ghazali menjelaskan maksud berpamitan adalah :

مُوَدِّعٌ لِنَفْسِهِ مُوَدِّعٌ لِهَوَاهُ مُوَدِّعٌ لِعُمْرِهِ سَائِرٌ إِلَى مَوْلَاهُ

(Orang yang shalat itu berpamitan karena ia akan) meninggalkan hawa dan nafsunya dan juga meninggalkan umurnya (akan meninggal dunia) dan ia mulai berjalan menuju Tuhannya. [Ihya]

 

Dengan cara shalat yang demikian maka pantaslah jika Sayyidah Aisyah menceritakan bahwa Rasul SAW bercengkrama dengan kami lalu ketika waktu shalat tiba maka :

 

فَكَأَنَّهُ لَمْ يَعْرِفْنَا وَلَمْ نَعْرِفْهُ

Seakan-akan beliau tidak mengenali kami dan kami tidak mengenalinya. [Ihya]

 

Bagaimana cara agar kita bisa shalat dengan khusyu’? Sahabat Ali KW punya kiatnya. Ali bin Abi Thalib RA, ketika hendak shalat maka badannya gemetar dan wajatnya pucat pasi. Ketika ditanya mengenai hal itu maka ia menjawab :

جَاءَ وَقْتُ أَمَانَةٍ عَرَضَهَا اللهُ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلْتُهَا

Telah tiba waktu mengemban amanat yang dahulu ditawarkan oleh Allah keapda langit, bumi dan gunung namun mereka menolaknya dan meminta belas kasihan agar amanat tersebut tidak dibebankan kepada mereka dan sekarang aku akan  mengemban amanat tersebut (shalat). [Ihya]

 

Bagaimana cara agar kita bisa shalat dengan khusyu’? Ada tips dari cicit Nabi SAW yaitu agar setiap hendak shalat kita membayangkan akan menghadap siapa. Ali bin Al-Husain sehabis berwudlu (untuk shalat), mukanya menjadi pucat pasi. Maka keluarganya bertanya penyebabnya. Lalu ia menjawab :

أَتَدْرُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ مَنْ أُرِيْدُ أَنْ أَقُوْمَ؟

Tahukah kalian, aku akan menghadap kepada siapa? [Ihya]

 

Bagaimana cara agar kita bisa shalat dengan khusyu’? Ada tips yang lebih terperinci dari seorang ulama yang dalam kita Siyar A’lamin Nubala digelari sebagai “Luqmanu Hadzihil Ummah” (Luqman hakimnya ummat muhammad SAW)”. Ulama abad ketiga Hijriyah yang wafat pada tahun 237 H dan pernah berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Ia adalah Hatim Al-Asham.

 

Ketika ia ditanya mengenai shalat (khusu’)nya Hatim berkata : “Ketika datang waktu shalat maka aku berwudlu dengan sempurna lalu aku mendatangi tempat shalat dan duduk di situ sehingga semua anggota badanku tenang. Kemudian aku berdiri untuk shalat sambil membayangkan ka’kab ada di hadapan pandanganku, titian shirath membentang di bawah telapak kakiku, surga di kananku dan neraka di kiriku, malaikat maut ada di belakangku dan akupun menyangka bahwa shalat yang aku kerjakan adalah shalat terakhirku. Aku berdiri dengan harap-harap cemas lalu aku membaca takbir “Allahu Akbar” dengan mantab dan jelas lalu aku mulai membaca bacaan shalat dengan tartil (pelan). Ketika rukuk aku melakukannya dengan tawadlu, aku sujud dengan khusyu’ lalu aku duduk sesuai aturan hingga selesai. Dan terakhir aku meng-ikhlaskan shalatku namun aku tidak tahu apakah shalatku diterima ataukah tidak?”. [Ihya]

 

Dengan melakukan shalat yang demikian maka wajarlah banyak cerita-cerita kekhusyu’an dari para ulama yang mempraktekkannya. Diantaranya adalah Said At-Tanukhi, ia ketika shalat maka air mata tak henti-hentinya mengalir dari pipi hingga ke jenggotnya.

 

Khalaf bin Ayyub ia adalah orang yang khusu’ dalam shalatnya. Ia tidak mengusir lalat bahkan badannya tidak bergerak sedikitpun meskipun ia di kerubungi lalat ketika sedang shalat. Orang-orangpun bertanya mengenai rahasia kesabarannya dalam menahal gatal karena lalat sepanjang shalatnya. Ia berkata : Jika seorang penjahat ia sabar menahan sakitnya cambukan di depan penguasa supaya ia disebut sebagai orang yang tahan pukul dan iapun bangga dengan predikat itu maka bagaimana aku tidak sabar karena seekor lalat sedangkan aku berada di hadapan tuhanku (shalat)?”.

 

Muslin Bin Yasar Al-Bashri (wafat 100 H) ketika hendak shalat ia berkata kepada keluarganya :”Silahkan kalian berbicara karena aku tidak akan mendengar pembicaraan kalian (ketika aku shalat).” Dan pernah satu ketika ia sedang shalat di Masjid Jami’ Kota Bashrah. Ketika ia sedang shalat, sebagian gedung masjid runtuh dan orang-orang ramai berkumpul melihat kejadian tersebut namun ia tidak menyadari hal itu sehingga ia rampung dari shalatnya. [Ihya]

 

Namun demikian shalat khusyu’ itu tidaklah harus merasakan pengalaman seperti kisah-kisah di atas. Rasul SAW adalah teladan terbaik dalam shalat khusyu’ namun beliau dalam berbagai hadits diceritakan bahwa beliau masih sadar dengan situasi kondisi sekitar tempat shalatnya.

 

Satu ketika Nabi mengimami shalat dengan melakukan sujud dalam waktu yang lama sehingga selepas shalat, orang-orang bertanya “wahai Rasulullah SAW, saat shalat engkau memperlama sujud, hingga kami mengira bahwa ada sesuatu yang telah terjadi atau ada wahyu yang diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab,

كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ

“Bukan karena semua itu, tetapi cucuku (Hasan atau Husain) menjadikanku sebagai kendaraan (menaiki punggungku), maka aku tidak mau membuatnya terburu-buru, (Aku biarkan) hingga ia selesai dari bermainnya” [HR An-Nasa’i’]

 

Rasul SAW juga menganjurkan imam shalat berjamaah agar memperhatikan kepentingan jamaahnya. Rasul SAW bersabda :

 إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ

"Jika salah seorang dari kalian menjadi imam shalat, hendaklah dia melaksakannya dengan cepat karena di antara mereka ada orang yang lemah, orang yang sakit dan orang berusia lanjut. Namun bila dia shalat sendiri maka silahkan dia panjangkan sesukanya." [HR Bukhari]

 

Perintah itupun juga dipraktekkan sendiri. Beliau bersabda :

إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلَاةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

"Aku pernah ingin memanjangkan shalat, namun aku mendengar tangisan bayi. Maka aku pendekkan shalatku karena khawatir akan memberatkan ibunya." [HR Bukhari]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk terus belajar khusyu’ ketika shalat dengan sehingga kita bisa melakukan shalat dengan khusyu’ meskipun kita berada di akhir zaman.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.