إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Monday, October 13, 2025

HADITS ZIARAH RASUL

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى

"Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku." [HR Baihaqi]

 

Catatan Alvers

 

Hadits utama di atas sering dikemukakan dalam masalah keutamaan ziarah rasul namun di sisi lain hadits itu pula sering dituduh sebagai hadits maudlu’ alias hadits palsu sehingga tidak boleh disebarkan karena diancam dengan neraka kepada siapapun yang menyampaikan hadits palsu.

 

Apakah benar hadits tersebut adalah palsu? Untuk menjawab hal ini maka saya kutipkan fatwa dari majelis fatwa yang berada di bawah naungan Departemen Dakwah dan Bimbingan Keagamaan di Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Negara Qatar dalam websitenya yaitu www islamweb net, sebagai berikut :

 

Hadits "Barang siapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya mendapat syafaatku" itu diriwayatkan oleh al-Hakim at-Tirmidzi, al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya, dari Ibnu Umar RA dari Rasulullah SAW. Para ulama berbeda pendapat tentang status Hadits  ini menjadi tiga pendapat: (1). Pendapat pertama : Hadits  ini dinilai palsu (maudhu‘) oleh Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lainnya. (2). Pendapat kedua : Hadits  ini dinilai hasan atau sahih oleh Imam as-Subki. Imam adz-Dzahabi berkata: "Seluruh jalurnya lemah, tetapi saling menguatkan satu sama lain." (3). Pendapat ketiga: Hadits ini dinilai lemah (da‘if) oleh sejumlah ahli Hadits  seperti Imam an-Nawawi. al-Munawi dalam Faydlul Qadir berkata :

وَبِالْجُمْلَةِ فَقَوْلُ ابْنِ تَيْمِيَّةَ مَوْضُوعٌ غَيْرُ صَوَابٍ

"Secara umum, pendapat Ibnu Taimiyah yang menilai hadits ini sebagai hadits palsu adalah tidak benar."[ www islamweb net]

 

Dengan demikian, hadits diatas dinilai sebagai hadits hasan (dibawah shahih dan diatas dla’if) atau paling tidak ia adalah hadits dla’if namun demikian hadits tersebut boleh diamalkan. Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) berkata :

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ ... يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا... وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ

Telah menjadi ketetapan bahwa hadits dha’if ... dapat diamalkan pada ranah “fadhail al-a’mal” (motivasi) dan tidaklah mengingkarinya kecuali orang bodoh lagi tertipu. [al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra]

 

Praktik ziarah rasul telah dilakukan semasa sahabat nabi. Nafi’, seorang tabi’in murid Ibnu Umar dan guru dari Imam Malik, ia berkata : “(Sahabat Nabi) Ibnu Umar biasa ber-salam ke makam nabi. Aku melihatnya seratus kali bahkan lebih datang ke makam nabi”. [As-Syifa bita’rifi Huquqil Mushtafa] dan senada dengan hadits utama di atas, Rasul SAW bersabda :

مَنْ زَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي.

"Barang siapa yang menziarahi kuburku setelah aku wafat, maka itu seperti halnya ia menziarahiku ketika aku masih hidup." [HR Thabrani]

 

Ada juga hadits yang mengaitkan ziarah rasul dengan haji, yaitu : "Barang siapa yang berhaji lalu menziarahi kuburku setelah wafatku, maka ia seperti orang yang menziarahiku saat aku masih hidup." [HR Thabrani].  Kenapa dalam hadits tersebut dikaitkan dengan ibadah haji? Pertama, seseorang sehabis menunaikan ibadah haji biasanya ia memiliki hati yang bersih dan merasa lebih dekat kepada Allah Ta‘ala dibandingkan waktu-waktu lainnya. Kedua, keberadaannya di kota mekkah yang dekat dengan kota madinah, sedang ia berasal dari negara yang jauh seperti Indonesia itu merupakan kesempatan yang boleh jadi tidak terulang dalam sepanjang hidupnya. Dengan demikian sungguh sangat disayangkan jika orang tersebut tidak melakukan ziarah Rasul.

 

Jadi bukan berarti ziarah rasul hanya dianjurkan sehabis haji, tidak demikian. Orang yang akan berhaji jika kota Madinah menjadi rute sebelum mekkah, maka dianjurkan baginya untuk ziarah Rasul meskipun ia belum berhaji atau ber-umrah, selama waktunya memungkinkan. Dan Imam Nawawi berkata: "Disunnahkan bagi orang yang berziarah kepada Nabi SAW untuk berniat “taqarrub” (mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ala) dengan perjalanannya ke masjid nabawi dan shalat di dalamnya." Hal ini mengingat bahwa perjalanan itu adalah sarana menuju dua ibadah tersebut, dan sarana ibadah itu memiliki hukum seperti hukum ibadahnya, yakni sama-sama hukumnya  sunnah sehingga mendapatkan pahala yang berlipat.

 

Dalam kitabnya, Al-Idlah Imam nawawi berkata : "Hendaknya ia menghadirkan dalam hatinya saat itu kemuliaan Kota Madinah, dan bahwa kota itu menurut sebagian ulama adalah tempat paling utama di dunia setelah Makkah, dan menurut sebagian lainnya bahkan lebih utama secara mutlak. Dan bahwa sosok yang menjadikan kota itu mulia — Nabi Muhammad SAW— adalah makhluk terbaik dari seluruh ciptaan. Hendaknya sejak awal kedatangannya hingga ia pulang, ia senantiasa merasakan pengagungan terhadap Nabi SAW, hatinya dipenuhi dengan rasa hormat dan kewibawaan, seakan-akan ia sedang melihat beliau. " [Al-Idlah Fi Manasikil Hajj]

 

Ketika seseorang sudah berada di area makam Nabi SAW maka hendaklah ia menghadap makam dengan penuh adab. Imam nawawi berkata : “Hendaknya peziarah berdiri menghadap bagian bawah dari dinding makam yang ada di hadapannya, dengan pandangan tertunduk dalam posisi penuh hormat dan pengagungan, hatinya kosong dari urusan dunia, dan ia menghadirkan dalam hatinya keagungan tempat tersebut dan kedudukan sosok yang ada dihadapannya. Kemudian ia mengucapkan salam, tanpa mengangkat suara, melainkan dengan suara yang tenang dan sedang-sedang." [Al-Idlah]

 

Satu ketika as-Sa’ib bin Yazid sedang berdiri di dalam masjid (nabawi), lalu seseorang melempariku dengan kerikil kecil. Maka aku pun menoleh, ternyata itu adalah ‘Umar bin al-Khattab. Umar menyuruhnya agar memanggil dua orang yang berkata dengan suara keras. Setelah keduanya hadir maka Umar bertanya : "Siapa kalian berdua, atau dari mana asal kalian?" Mereka menjawab: "Kami dari penduduk Tha’if." Umar berkata:

لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Seandainya kalian berdua dari penduduk kota ini (Madinah), niscaya aku akan menghukum kalian dengan keras, karena kalian meninggikan suara kalian di dalam masjid Rasulullah SAW." [Shahih Bukhari]

 

Untuk ber-salam kepada Nabi saat ziarah Rasul hendaknya memakai sighat salam yang panjang sebagaimana ada dalam buku tuntunan ziarah. Namun jika situasi tidak memungkinkan maka ber-salam boleh dengan sighat yang singkat. Imam nawawi berkata : "Telah datang (riwayat) dari Ibnu ‘Umar dan selainnya dari kalangan salaf radhiyallāhu ‘anhum, ucapan salam yang sangat ringkat. Maka Ibnu ‘Umar biasa mengucapkan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ

“Salam sejahtera semoga terlimpahkan kepadamu wahai utusan Allah” [Al-Idlah]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk ber-ziarah Rasul dengan penuh adab serta dengan harapan mendapat syafaat beliau di hari kiamat nanti.   

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

HUKUM ZIARAH RASUL

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Rasul SAW (Madinah) dan Masjidil Aqsha. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Ziarah rasul kita ketahui sebagai satu anjuran sejak dahulu bahkan sudah menjadi tradisi turun temurun. Imam Nawawi (1223 M/631 H-1277 M/676 H), seorang ulama besar dengan banyak sekali karya ilmiahnya yang terkenal seperti Arba’in An-Nawawi, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, Minhajuth Thalibin, Al-Majmu Syarah Al-Muhaddzab dll. berkata :

وَاعْلَمْ أَنَّ زِيَارَةَ قَبْرِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَهَمِّ الْقُرُبَاتِ وَأَنْجَحِ الْمَسَاعِي

"Dan ketahuilah, bahwa ziarah ke makam Rasul SAW termasuk amalan pendekatan diri (qurbah) yang paling utama dan usaha yang paling berhasil."  [Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab]

 

Namun akhir-akhir ini banyak beredar larangan mengadakan ziarah rasul baik berupa web maupun youtube. Pengharamkan ziarah rasul ini ternyata berasal dari satu sumber yang dikatakan oleh Syeikh Hasyim Asy’ari dalam Risalah nya : “Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli Bid’ah di Zaman ini... Hal ini terjadi sejak tahun 1330. Diantara mereka adalah kelompok yang ... mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah SAW ... Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi SAW sebagai sebuah bentuk ketaatan maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim.” [Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah]

 

Usut punya usut ternyata pengharamkan ziarah rasul itu disebabkan karena mereka salah paham terhadap hadits utama di atas yang berbunyi : ‘Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Rasul SAW (Madinah) dan Masjidil Aqsha”. [HR Bukhari] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan bahwa Ulama Ahli Tahqiq berkata : Perkataan “Kecuali pada tiga masjid” itu terdapat (Lafad yang menjadi bagian dari susunan) “Mustasna minhu” yang dibuang. Jika lafadz tersebut dikira-kirakan dengan lafadz yang umum (Fi Ayyi Amrin Kana) maka arti hadits tersebut adalah :

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke tempat manapun dengan tujuan apapaun - kecuali ke tiga masjid.”

Dan pemaknaan ini tentunya tidak dimungkinkan karena akan menimbulkan larangan mengadakan perjalanan ke satu tempat untuk berdagang, silaturahim, belajar dan lain sebagainya. Maka tidak ada pilihan lain kecuali pilihan kedua yaitu mengira-ngirakan lafadz yang paling sesuai dengan konteksnya sehingga hadits tersebut bermakna :

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke satu masjid dengan tujuan melakukan shalat di sana - kecuali ke tiga masjid.” [Fathul Bari]

 

Pilihan ke dua di atas selaras dengan redaksi hadits lain yang serupa yaitu hadits dari Abu Said Al-Khudri suatu ketika ia mendengarkan perkataan orang shalat di Thur (Gunung Thursina) Maka ia, Abu Said Al-Khudri berkata : Nabi SAW bersabda :

لَا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلَاةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا

Tidak seyogyanya pengendara melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat di sana, selain Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku (nabawi). [HR Ahmad]

 

Maka dengan demikian boleh hukumnya kita pergi ke mana saja karena hadits di atas  lebih menjelaskan kepada keistimewaan tiga masjid tersebut yang tidak dimiliki oleh masjid selainnya sebagaimana dinyatakan dalam hadits :

صَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مِائَةُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَصَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلَاةٍ وَفِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُمِائَةِ صَلَاةٍ

Satu kali shalat di Masjidil haram (bernilai lebih baik dari) seratus ribu shalat,

Satu kali shalat di masjidku (Nabawi) (bernilai lebih baik dari) seribu kali shalat

Dan satu kali shalat di Baitil Maqdis (Masjidil Aqsha, bernilai lebih baik dari) lima ratus kali shalat. [HR Baihaqi]

 

Jadi dipahami dari hadits itu bahwa percuma saja jika kita jauh-jauh pergi ke satu masjid, misalnya masjid istiqlal di jakarta atau masjid biru di turki untuk melakukan shalat di sana padahal pahalanya sama saja dengan shalat di masjid terdekat dengan rumah kita. Berbeda halnya kita datang kesana untuk satu keperluan rihlah lalu kita shalat di sana.

 

Selaras dengan hal ini, Imam An-Nawawi berkata : “Di dalam hadits ini terdapat dalil akan keutamaan tiga masjid (tersebut) serta keutamaan bepergian jauh dalam rangka ibadah di sana karena maknanya menurut jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) adalah :

لَا فَضِيلَةَ فِي شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى مَسْجِدِ غَيْرِهَا

“Tidak ada keutamaan dalam berpergian jauh ke selain masjid yang tiga tersebut”. [Syarh Shahih Muslim]

 

Imam Nawawi menolak pendapat dengan tegas pendapat yang berseberangan dengan pengertian tersebut. Imam Nawawi berkata :

وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ اَلْجُوَيْنِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : يَحْرُمُ شَدُّ الرِّحَالِ إِلَى غَيْرِهَا وَهُوَ غَلَطٌ

“Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini dari sahabat kami berkata : Haram hukumnya bepergian ke selain tiga masjid tadi, dan pendapat tersebut adalah satu kesalahan.” [Syarh Shahih Muslim]

 

Dan dalam lanjutan keterangan Al-Asqalani di atas, Ulama Ahli tahqiq menyimpulkan dengan berkata :

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ اَلصَّالِحِينَ

Dengan demikian menjadi tertolak pendapat ulama yang (menggunakan hadits utama di atas untuk) melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah kubur yang Mulia (Nabi SAW) dan kuburan para shalihin lainnya. [Fathul Bari]

 

Jika Anda ber-ziarah Rasul maka jangan lupa adab-adabnya. Imam Nawawi berkata :

وَيَنْوِيَ الزَّائِرَ مَعَ الزِّيَارَةِ التَّقَرُّبَ وَشَدَّ الرَّحْلِ إلَيْهِ وَالصَّلَاةَ فِيْهِ

"Hendaknya orang yang melakukan ziarah Rasul berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, melakukan perjalanan menuju beliau, dan shalat di masjid beliau.

Ketika di perjalanan, hendaklah ia memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi SAW”.

“Ketika ia melihat pepohonan Madinah, tanah haramnya, dan tanda-tandanya, hendaklah ia menambah shalawat dan salam kepada Nabi SAW serta memohon kepada Allah Ta‘ala agar ziarah ini bermanfaat baginya dan agar Allah menerimanya”. [Al-Majmu Syarah Al-Muhaddzab]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan pikiran kita untuk ber-ziarah Rasul dengan niat dan usaha serta  

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi SAW menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.

Friday, October 10, 2025

MAHAR 3 MILYAR

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA, Rasul SAW bersabda :

خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

Pernikahan yang terbaik adalah yang paling murah (maharnya). [HR Tirmidzi]

 

Catatan Alvers

 

Pernikahan di Pacitan pada (8/10/2025) bikin heboh warganet. Seorang pria berusia 74 tahun menikahi gadis 24 tahun dengan mahar fantastis berupa seperangkat alat shalat dan cek senilai Rp 3 miliar. Momen akad inipun viral di medsos.[detik com] Menurut kepala KUA nilai mahar yang dituliskan saat pendaftaran adalah Toyota Camry dan uang sebesar Rp 1 miliar. Namun dua hari sebelum akad, nilai mahar dinaikkan menjadi Rp 3 miliar. Dan mobil Camry yang sebelumnya disebut sebagai bagian dari mahar, kemudian dijadikan sebagai hadiah.

 

Pasca viral, muncul dugaan bahwa cek mahar Rp 3 miliar itu (diduga) palsu, dan mobil Toyota Camry yang digunakan dalam prosesi akad merupakan mobil rental. Dan beredar kabar pengantin kabur membawa sepeda motor milik keluarga pengantin perempuan. Polisipun turun tangan dan mendapat informasi bahwa mempelai pria yang dulunya berprofesi sopir bis memiliki rekam jejak negatif namun kita harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Dan ibu mempelai wanita meluruskan bahwa pengantin berdua tengah pergi untuk bulan madu dan ia mengaku tidak mengetahui tentang keaslian mahar cek Rp 3 miliar karena sampai saat ini (10/10/2025) belum dicairkan. [kompas com]

 

Mahar didefinisikan sebagai suatu  benda (barang, uang, maupun jasa) yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebut  dalam akad nikah sebagai  pernyataan persetujuan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.[ al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah] Dalam Islam, mahar itu tidak harus banyak dan mahal bahkan sebaliknya Rasul SAW menganjurkan agar calon mempelai wanita tidak menuntut mahar tinggi. Beliau bersabda :

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ صَدَاقًا

"Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling murah maskawinnya."[HR Al-Hakim]

 

Pada zaman Rasul terdapat seorang perempuan dari Bani Fazarah yang secara suka rela dinikahkan dengan mahar sepasang sandal. [HR Tirmidzi] dan ada lelaki yang hendak menikah namun ia tidak memiliki mahar selain baju yang sedang dipakainya maka Nabi SAW bersabda :

اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ

“Carilah (maskawin), meskipun berupa cincin dari besi”.

Lalu karena ia tetap tidak mendapatkannya maka menikahkannya dengan beberapa surat ia miliki dari Al-Qur’an . [HR Bukhari]

 

Namun demikian, sebaiknya besar kecilnya mahar itu sesuai range ketentuan. Apa itu? al-Mahalli berkata : Dalam memberikan mahar itu di sunnahkan tidak kurang dari 10 dirham murni (uang perak), karena menurut Abu Hanifah mahar tidak boleh kurang dari 10 dirham itu,

 

 

 

وَأَنْ لَا يُزَادَ عَلَى خَمْسِمِائَةِ دِرْهَمٍ خَالِصَةٍ صَدَاقِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِأَزْوَاجِهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ

dan disunnahkan tidak melebihi 500 dirham murni, yaitu mahar Rasulullah untuk istri-istrinya sebagaimana yang ada dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Sayyidah 'Aisyah. [Al-Mahalli]

 

Mahar bukanlah merupakan rukun nikah sehingga tetaplah dinilai sah jika dalam akad tidak ada penyebutan tentang mahar, namun demikian makruh hukumnya akad nikah yang di dalamnya tidak menyebutkan mahar. [Mughnil Muhtaj] meskipun tidak disebutkan, mahar tetap wajib ditunaikan dengan berupa mahar mitsil (mahar standar umum). Dan sunnah untuk tidak berhubungan suami istri hingga si suami membayar maskawinnya. Syeikh Syamsuddin As-Syarbini berkata:

وَيُسَنُّ أَنْ لَا يَدْخُلَ بِهَا حَتَّى يَدْفَعَ إلَيْهَا شَيْئًا مِنْ الصَّدَاقِ خُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ

Sunnah untuk tidak berhubungan suami istri hingga si suami membayar sesuatu dari maskawinnya, hal ini dikarenakan keluar dari khilaf ulama’ yang mewajibkannya. [Mughnil Muhtaj]

 

Dalam kasus mahar 3 milyar diatas, suami wajib membayar sesuai jumlah yang disebut saat akad namun jika istri karena satu alasan tertentu kemudian menggugurkan sebagian atau membebaskan mahar 3 milyar tersebut maka gugurlah maharnya sebagaimana firman Allah SWT :

وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. [QS An-Nisa : 4]

 

Menafsiri ayat ini, Ibnu Katsir berkata :

فَإِنْ طَابَتْ هِيَ لَهُ بِهِ بَعْدَ تَسْمِيَتِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَلْيَأْكُلْهُ حَلَالًا طَيِّبًا

Jika istri kemudian merelakan mahar tersebut kepada suami, baik seluruhnya atau sebagian setelah mahar disebutkan besarannya, maka bolehlah suami memakannya (mengambilnya) dengan halal dan baik. [Tafsir Ibnu Katsir]

 

Dalam kasus mahar 3 milyar di atas, seumpama terjadi dua kali akad. Akad pertama dilaksanakan dengan mahar 3 Juta, lalu beberapa hari kemudian di akadkan legi di hadapan para undangan dengan mahar 3 milyar maka yang wajib dibayarkan suami adalah mahar dari akad yang pertama. Syeikh Zainuddin Al-Malibari berkata :

وَإِذَا عُقِدَ سِرًّا بِأَلْفٍ ثُمَّ أُعِيدَ جَهْرًا بِأَلْفَيْنِ تَجَمُّلًا لَزِمَ أَلْفٌ

"Jika akad nikah dilakukan secara “sirri” (rahasia) dengan mahar seribu, lalu akad nikahnya diulangi secara terang-terangan dengan mahar dua ribu dengan tujuan bergaya, maka mahar yang wajib dibayarkan adalah seribu." [Fathul Muin]

 

Sayyid Abu Bakar Syatha menjelaskan : "Jika terjadi kesepakatan (sebelum akad) atas mahar sebesar dua ribu, lalu akad dilakukan atas mahar sebesar seribu, maka yang wajib adalah seribu. Dan jika terjadi kesepakatan atas mahar seribu, lalu akad dilaksanakan atas mahar dua ribu, maka yang wajib adalah dua ribu. Seperti ini berlaku jika akad tidak diulang, alias terlaksana satu kali. Namun jika akadnya diulang, maka yang wajib adalah mahar yang disebut pada akad pertama, baik sedikit maupun banyak, baik saksi akad rahasia dan akad terbuka itu sama atau berbeda orang.

وَذٰلِكَ لِأَنَّ العِبْرَةَ بِالعَقْدِ الأَوَّلِ، وَأَمَّا الثَّانِي فَهُوَ لَاغٍ لَا عِبْرَةَ بِهِ

Hal itu dikarenakan yang menjadi patokan adalah akad pertama, sedangkan akad kedua itu sia-sia dan tidak dianggap." [I’anatut Thalibin]

 

Dengan uraian di atas kita mengetahui bahwa pernikahan tersebut tetaplah sah. Mahar yang belum dibayarkan tidaklah mengganggu keabsahan sebuah pernikahan namun demikian yang sunnah adalah tidak berhubungan suami istri hingga si suami membayar maskawinnya. Dan mahar 3 milyar akan gugur jika istri memberikan kepada suami atau menggugurkannya. Al-Malibari berkata : "Sah bagi wanita (istri) yang telah mukallaf (baligh dan berakal) untuk merelakan maharnya dengan lafaz: pengguguran, pemaafan, pengguguran, penghalalan, pembolehan, atau pemberian, meskipun tanpa disertai adanya qabul (penerimaan dari suami)."[Fathul Muin]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk tidak menjadikan mahar sebagai sarana kebanggaan namun sebagai sumber keberkahan sehingga rumah tangga kita menjadi barokah dan sakinah mawaddah wa rahmah.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada supaya sabda Nabi  menghiasi dunia maya dan menjadi amal jariyah kita semua.