Abdullah bin Amr bin Ash RA berkata :
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُهُنَّ بِيَدِهِ
“Saya melihat, Rasulullah SAW menghitung dzikir beliau dengan
tangannya.” [HR. Ahmad]
Catatan Alvers
Secara bahasa, Dzikir berasal dari kalimat ذكر،
يذكر، ذكرا yang artinya mengingat sesuatu atau
menyebut setelah lupa atau berdoa kepada Allah. Dzikir juga bermakna mengingat
sesuatu atau menghafalkan sesuatu. Juga dapat dimaksudkan dengan sesuatu yang
disebut dengan lidah atau suatu yang baik. [Mu’jam al-Wasit]
Al
-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan “yang dimaksud dengan dzikir
adalah mengucapkan dan memperbanyak segala bentuk lafadh yang di dalamnya
berisi tentang kabar gembira, seperti kalimat : subhaanallaahi, walhamdulillah,
wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar; dan yang semisalnya, doa untuk
kebaikan dunia dan akhirat. dan termasuk juga dzikir kepada Allah adalah segala
bentuk aktifitas amal shalih yang hukumnya wajib ataupun sunnah, seperti membaca
Al-Qur’an, membaca Hadiits, belajar ilmu agama, dan melakukan shalat-shalat
sunnah”[Fathul-Bari]
Menurut Imam an-Nawawi, berdzikir adalah suatu amalan yang
disyari’atkan dan sangat dianjurkan di dalam Islam. Ia dapat dilakukan dengan
hati atau lidah. Afdhalnya dengan kedua-duanya sekaligus.[al-Adzkar] Kita diperintahkan
untuk Dzikir sebanyak-banyaknya, sebagaimana firmanNya:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah
dengan sebanyak-banyaknya. [QS Al-Ahzab : 41]
Di sisi lain, Rasul mengajarkan beberapa kalimat dzikir yang dibaca
dengan jumlah tertentu seperti anjuran dzikir tasbih, tahmid dan takbir setelah
selesai sholat atau mau tidur dengan hitungan masing-masing 33 x. Untuk
memudahkan dalam menghitung jumlah dzikir maka beliau menggunakan jari jemari sebagaimana
keterangan hadits di atas. Dan ternyata, menghitung dzikir dengan jari memiliki
faidah yang lain sebagaimana perintah Nabi kepada shahabiyat berikut:
يَا
نِسَاءَ الْمُؤْمِنَينَ، عَلَيْكُنَّ بِالتَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ
وَالتَّقْدِيسِ، وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَةَ، وَاعْقِدْنَ
بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ
“Wahai para wanita mu’minah, bertasbihlah kalian, bertahlil, mensucikan
nama Allah. Janganlah kalian lalai, sehingga melupakan rahmat Allah. Hitunglah
dengan jari-jari kalian, karena semua jari itu akan ditanya dan diminta untuk
bicara (saksi).” [HR. Ahmad]
Lebih lanjut, Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan :
ومعنى
العقد المذكور في الحديث إحصاء العد، وهو اصطلاح للعرب بوضع بعض الأنامل على بعض
عُقد الأُنملة الأخرى، فالآحاد والعشرات باليمين، والمئون والآلاف باليسار، والله
أعلم
Makna kata ‘al-aqd’ (menghitung) yang disebutkan dalam hadis [pada
kata: وَاعْقِدْنَ] adalah
menghitung jumlah dzikir. Ini merupakan istilah orang arab, yang bentuknya
dengan meletakkan salah satu ujung jari pada berbagai ruas jari yang lain.
Satuan dan puluhan dengan tangan kanan, sementara ratusan dan ribuan dengan
tangan kiri. Allahu a’lam. [Nata’ij Al-Afkar fi Takhrij Ahadits Al-Adzkar]
Namun demikian, hal ini bukan berarti menghitung dzikir dengan sesuatu
yang lain seperti tasbih, counter ataupun tasbih digital di smartphone adalah tidak
boleh dan bid’ah, walaupun memang yang lebih afdhal menghitung dengan jari-jemari
tangan.
Sayyidah Shafiyyah istri Rasulullah, beliau berkata:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَبَيْنَ
يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلاَفِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا، فَقَالَ: لَقَدْ سَبَّحْتِ
بِهَذَا؟ أَلاَ أُعَلِّمُكِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سَبَّحْتِ بِهِ؟ فَقَالَتْ:
عَلِّمْنِيْ، فَقَالَ: قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ مِنْ شَىْءٍ
“Suatu ketika Rasulullah menemuiku dan ketika itu ada di hadapanku 4.000
biji yang aku gunakan untuk berdzikir. Lalu Rasulullah berkata: Apakah kamu bertasbih
dengan biji-biji ini?! Maukah kamu aku ajari sesuatu yang lebih banyak dari
ini? Shafiyyah menjawab: Iya, ajarkanlah kepadaku. Lalu Rasulullah bersabda:
“Bacalah: “Subhanallah ‘Adada Ma Khalaqa Min Sya’i” [HR. at-Tirmidzi]
Dalam hadits ini Rasulullah tidak melarang, serta tidak mengingkari
perbuatan Shafiyyah tersebut. Rasulullah hanya menunjukkan kepada Shafiyyah
terhadap yang lebih mudah dan lebih afdhal. Adapaun Tasbih zaman sekarang itu
di qiyaskan kepada biji-biji tersebut. Syekh Mulla ‘Ali al-Qari menjelaskan :
وَهذَا
أَصْلٌ صَحِيْحٌ لِتَجْوِيْزِ السُّبْحَةِ بِتَقْرِيْرِهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ
وَسَلّمَ فَإِنَّهُ فِيْ مَعْنَاهَا، إِذْ لاَ فَرْقَ بَيْنَ الْمَنْظُوْمَةِ
وَالْمَنْثُوْرَةِ فِيْمَا يُعَدُّ بِهِ.
“Ini adalah dasar yang shahih untuk membolehkan penggunaan tasbih,
karena tasbih ini semakna dengan biji-bijian dan kerikil tersebut. Karena tidak
ada bedanya antara yang tersusun rapi (diuntai dengan tali) atau yang terpencar
(tidak teruntai) bahwa setiap itu semua adalah alat untuk menghitung dzikir”[Syarh
al-Misykat].
Jadi menggunakan tasbih itu hukumnya boleh-boleh saja bahkan jika
diperlukan menjadi lebih afdhal. Ibn Hajar al-Haitami berkata :
إِنْ أَمِنَ الْمُسَبِّحُ الْغَلَطَ كَانَ عَقْدُهُ بِالأَنَامِلِ
أَفْضَلَ، وَإِلاَّ فَالسُّبْحَةُ أَفْضَلُ.
“Jika orang yang berdzikir tidak khawatir salah hitung maka menghitung
dzikir dengan jari-jari tangan hukumnya lebih afdlal. Namun jika ia khawatir
salah hitung maka menghitung dengan tasbih lebih afdlal” [al-Fatawa al-Kubra
al-Fiqhiyyah]. Wallahu A’lam. Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati
dan fikiran kita agar senantiasa memperbanyak dzikir, mengingat keagungan-Nya
dalam setiap kesempatan.
0 komentar:
Post a Comment