ONE DAY ONE HADITH
Dari Ibnu Umar RA, Ia berkata:
كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِي يَكْرَهُهَا،
فَأَمَرَنِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله، طَلِّقِ امْرَأَتَكَ
“Aku memiliki seorang istri yang kucintai akan tetapi ayahku tidak
menyukainya maka ia memerintahkan aku untuk menceraikannya, namun aku menolak”.
Lalu kuceritakan hal tersebut kepada Nabi SAW. Beliau pun memerintahkan, ‘Wahai
Abdullah, ceraikanlah istrimu’.” [HR Tirmidzi]
Catatan Alvers
Hadits di atas menjelaskan tentang perihal menceraikan istri karena
perintah orang tua, hal ini seperti hadits bukhari mengenai kisah Nabi ibrahim AS
yang memerintahkan ismail mengganti ambang pintunya yakni menceraikan istrinya
(Lihat edisi 1d1h : membuka aib pasangan). Di sisi lain terdapat pemahaman dari
Imam Ahmad mengenai kondisi yang melatar belakangi hadits di atas :
سأل رجل أبا عبد الله قال: إن أبي يأمرني أن أطلق امرأتي قال: لا
تطلقها قال: أليس عمر أمر ابنه عبد الله أن يطلق امرأته قال: حتى يكون أبوك مثل
عمر رضي الله عنه.
Seseorang bertanya kepada Aba Abdillah (Kun-yah Imam Ahmad), “Ayahku
memerintahkanku untuk menceraikan istriku. Imam Ahmad berkata : “Jangan kau
ceraikan istrimu!” Lelaki itu berkata lagi, “Bukankah ‘Umar ibnul Khaththab,
telah memerintahkan puteranya; Abdullah untuk menceraikan istrinya?”. Imam
Ahmad berkata, “Tungglah hingga ayahmu itu seperti ‘Umar RA” [Kitab: Thabaqatul
Hanabilah]
Disini Imam Ahmad menilai bahwa orang tua penanya tidak sama dengan
umar RA. Karena ‘Umar tidak mungkin memerintahkan putranya Abdullah untuk
menceraikan istrinya kecuali karena sebab yang syar’i, sementara Abdullah
mungkin tidak mengetahuinya. Adapun Bapak dari si penanya menyuruh anaknya
menceraikan istrinya guna memisahkan antara keduanya tanpa ada sebab yang syar’i.”
Terlepas dari latar belakang pemahaman hadits di atas, seorang suami
bisa jadi menceraikan istrinya karena permintaan dari orangtuanya, alias mertua
dari istrinya. Ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan mertua. Terbukti lagi
bahwa mertua akan menjadi mahram selamanya walaupun setelah terjadi perceraian
antara suami dan istri atau meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan dalam ayat:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ...وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
Diharamkan bagimu… ibu-ibu isterimu (mertua) [QS An-Nisa’: 23].
Permintaan seorang mertua kepada puteranya untuk menceraikan istrinya
mestilah berawal dari ketidak cocokan antara keduanya yang berujung pada konflik.
Konflik menantu vs mertua seperti ini adalah masalah klasik dan yang paling sering
terjadi adalah konflik antara mertua perempuan dengan menantu perempuan. Menurut
seorang psikolog, umumnya hal ini dipicu oleh beberapa hal diantaranya : Kedekatan
antara ibu dan anak laki-lakinya menjadi pemicu "persaingan" antara
mertua dan menantu wanita. "Sang ibu menganggap dirinya lebih 'berhak'
atas anak laki-lakinya, sementara istrinya juga beranggapan demikian”. Mertua
dan menantu tersebut memiliki satu kesamaan, yaitu sama – sama seorang wanita.
Seorang wanita memiliki peran sebagai penjaga, pelindung, dan pengurus rumah
tangga. Secara fisik, Mata wanita berbeda dengan mata pria. Ketika seorang pria
berkonsentrasi penuh maka sudut pandangnya mengecil, karena itu seorang pria
disebut sebagai type pemburu dan sebaliknya ketika seorang wanita
berkonsentrasi penuh maka sudut pandangnya meluas, oleh karenanya wanita
disebut type pelindung. Begitu pula masalah kulit, Kulit pria lebih tebal
daripada kulit wanita. Karena itu kulit wanita lebih peka terhadap rangsangan.Pendengaran
wanita lebih tajam yang dapat “memahami” tangisan bayi ketika lapar atau ketika
pipis dll. Kesamaan inilah yang menjadi embrio konflik menantu vs mertua.
Untuk meredakan tensi konflik ini maka fathul bari menasehati para
istri, sadarilah bahwa mertuamu itu kedudukannya adalah seperti orang tuamu maka
janganlah kau memusuhinya. Hal ini dipahami dari sebuah pernyataan :
أباؤك ثَلاَثَةٌ: أَبُوْكَ الَّذِي وَلَدَكَ، وَالَّذِي زَوَّجَكَ
إِبْنَتَهُ، وَالَّذِي عَلَّمَكَ
“Bapakmu itu ada tiga. (1) bapak
yang menyebabkan kelahiranmu. (2) mertuamu. (3), gurumu.” [Al-Mahaj al-Sawi]
Wahai wanita, seburuk apapun mertua maka ingatlah bahwa dia adalah
wanita yang mengandung suamimu dalam kepayahan selama sembilan bulan. Dia adalah
wanita yang air susunya menjadi makanan pertama bagi suamimu. Dia ialah wanita yang
mendidik dan membesarkan suamimu serta mengajarkannya akhlaq sehingga aku
nyaman di sisinya. Bukankah kau tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun untuk biaya
sekolahnya hingga ia dapat ijazah dan sekarang ijazah itu ia gunakan untuk
mencari nafkah untukmu. Kau tidak sedikitpun mendidik suamimu hingga kini ia menjadi
pria yang penuh tanggung jawab dan kau merasakan bahagia menjadi istrinya. Setelah
pengorbanannya yang bertubi tubi anak
laki lakinya menikah denganmu. Dia bagi kasih sayang anaknya denganmu. Cemburu?
Pastilah dia cemburu. Kau adalah wanita asing yang kini selalu disayang-sayang
oleh anak laki lakinya. Harta anak laki lakinya tercurah kepadamu padahal ia yang
sudah payah melahirkan, membesarkan dan mendidiknya hingga ia bisa bekerja dan
berpenghasilan.
Wahai wanita, kau bukanlah malaikat yang bersih dari kesalahan sehingga
kau sering disalahkan mertua dan mertuamu pun juga bukan malaikat yang selalu benar
sehingga harus selalu kau bela. Adakalanya kau marah, cemburu dan sakit hati, Namun
ingatlah semua jasanya pada suamimu. Jasa yang sampai akhir hayatpun kau tidak
akan mampu membayarnya. Maka dukunglah suamimu untuk berbakti pada ibunya dan jangan
suruh ia memilih antara kau dan ibunya karena kelak kau akan merasakan
bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu oleh anak laki lakimu. Wallahu
A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita khususnya para wanita bahwa
mertua itu bukanlah monster yang menakutkan akan tetapi ia adalah ibu yang over
kasih sayang.
0 komentar:
Post a Comment