ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Sayyidna Ali
KW, Rasul SAW bersabda :
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ
Janganlah kamu
berdusta atasku, karena sesungguhnya barangsiapa berdusta atasku, maka silahkan
dia masuk ke neraka. [HR Bukhari
Muslim]
Catatan Alvers
Kita berada di zaman akhir,
zaman di mana kiamat sudah dekat. Betapa tidak, 14 Abad yang silam, Nabi SAW
telah bersabda :
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ هَكَذَا
(Jarak) diutusnya aku dan (datangnya) hari Kiamat seperti ini.
(Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah lalu merenggangkannya).
[HR Bukhari]
Zaman sekarang ini zaman hoax,
zaman dimana kebohongan menjadi “sego jangan” (makanan sehari-hari). Betapa
banyak kebohongan tersebar hingga kita tidak menyadari keberadaannya bahkan
terkadang kita menganggapnya sebagai kebenaran. Ya, Itulah perilaku di zaman
akhir. Nabi SAW bersabda :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى
تَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْكَذِبُ
Tidaklah terjadi
hari kiamat hingga muncul banyak fitnah dan banyak kebohongan- kebohongan ...[HR
Ahmad]
Maka berhati-hatilah dalam
berbicara ataupun menulis sesuatu bahkan hanya untuk sekedar meneruskannya
dengan klik share. Jangan sampai kita menjadi agen kebohongan tanpa sadar.
Ingat, kebohongan itu adalah perilaku yang paling dibenci Nabi SAW. Beliau
bersabda :
مَا كَانَ خُلُقٌ أَبْغَضَ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْكَذِبِ
Tidaklah ada
pekerti yang lebih dibenci oleh Rasulullah SAW daripada dusta…[HR
Turmudzi]
Jika berbicara dusta atas
orang lain yang nota bene adalah orang biasa saja itu dibenci oleh Nabi SAW dan
tentunya berdosa, maka bagaimana besarnya dosa jika kita berdusta anas nama
Nabi SAW. Beliau bersabda :
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atasku tidak seperti
berdusta atas orang yang lain. Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka
hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka”. [HR
Bukhari]
Namun tentunya ancaman
tersebut berlaku jika seseorang itu mengetahuinya. Jika tidak mengetahuinya,
maka tentulah tidak berdosa karena pena (catatan amal) itu diangkat (tidak
dituliskan) bagi orang yang tidak tahu.
Hal ini sebagaimana dipahami dari sabda Nabi SAW:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى
أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa
menceritakan sebuah hadits dariku, dia menyangka atau mengetahui bahwa hadits
itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta.
[HR Muslim]
Imam Nawawi menjelaskan bahwa
dalam hadits tersebut kata y-ra, Jika dibaca “Yura” maka berarti menyangka,
Jika dibaca “Yara” maka bermakna mengetahui. Selanjutnya beliau berkata :
وَقَيَّدَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ
لَا يَأْثَمُ إِلَّا بِرِوَايَتِهِ مَا يَعْلَمُهُ أَوْ يَظُنُّهُ
كَذِبًا أَمَّا مَا لَا يَعْلَمُهُ وَلَا يَظُنُّهُ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ فِي
رِوَايَتِهِ وَإِنْ ظَنَّهُ غَيْرُهُ كَذِبًا أَوْ عَلِمَهُ
Baginda Nabi SAW
memberikan qayyid atau catatan (lafadz Yura) karena seseorang tidaklah berdosa
kecuali dia meriwayatkan hadits yang diketahuinya atau disangkanya sebagai
hadits dusta. Adapun hadits yang tidak diketahuinya atau disangkanya sebagai
hadits palsu maka tidaklah berdosa meskipun orang lain menyangkanya atau
mengetahuinya sebagai hadits palsu. [Al-Minhaj
Syarah Muslim]
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
ketika mensyarahi hadits utama, ia berkata :
وَلَا يُعْتَدُّ بِمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ مِنَ الْكَرَّامِيَّةِ حَيْثُ
جَوَّزُوا وَضْعَ الْكَذِبِ فِي التَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ فِي تَثْبِيْتِ مَا
وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَاحْتَجُّوا بَأَنَّهُ كَذِبٌ لَهُ لَا عَلَيْهِ
وَهُوَ جَهل بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ
Dan (dalam hal ini) tidak
diperhitungkan silang pendapatnya sekte karramiyah yang mana mereka
memperbolehkan memalsukan kebohongan dalam masalah motivasi dan peringatan
untuk memantapkan perkara yang sudah ada dalam qur’an dan hadits. Mereka berargumen
bahwa hal itu adalah kebohongan yang bermanfaat kepada Nabi bukan kebohongan
(yang terlarang, yaitu) yang merugikan Nabi, dan ini adalah kebodohan (mereka) akan
bahasa Arab. [Fathul Bari]
So, kalau kita sudah
mengetahui bahwa suatu hadits itu palsu (maaf bedakan dengan dla’if ya) maka
hendaklah kita segera berhenti menyebarkannya bukan malah membela diri dan
tetap ngotot untuk berdusta atas nama Nabi SAW, Wal iyadzu billah. Contohnya
hadits mengenai keutamaan tarawih tiap malam selama sebulan penuh yang banyak
dishare di medsos pada bulan ramadhan dengan redaksi sebagai berikut :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ
وَالَّسلَامُ عَنْ فَضَائِلِ الترَاوِيْح فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ: يُخْرَجُ الْمُؤْمِنُ مِنْ ذَنْبِهِ
فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ....
“Dari Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata: “Nabi SAW pernah
ditanya tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadhan, Nabi menjawab:
seorang mukmin akan dikeluarkan dari dosanya layaknya hari dimana ia dilahirkan
dari rahim ibunya...[Tanpa Sanad]
Tidak dipungkiri bahwa shalat
tarawih itu disunnahkan pada malam bulan ramadhan bahkan Syeikh Syamsuddin
As-Syirbini berkata :
وَقد اتَّفقُوا على سنيتها وعَلى
أَنَّهَا المرادة من قَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم من قَامَ رَمَضَان إِيمَانًا
واحتسابا غفر لَهُ مَا تقدم من ذَنبه رَوَاهُ البُخَارِيّ وَقَوله إِيمَانًا أَي
تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حق مُعْتَقدًا أفضليته
Para Ulama telah
sepakat atas kesunnahan shalat tarawih dan sesungguhnya tarawih itu adalah
shalat yang dimaksudkan dalam hadits Nabi “Barang siapa ibadah qiyamul (layli)
di bulan Ramadhan seraya ber-iman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang
telah lampau. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Adapun sabda Nabi
“imanan”, maksudnya adalah mempercayai bahwa yang demikian itu benar seraya
meyakini akan keutamaannya (shalat tarawih). [Al-Iqna]
Jadi mohon dipisahkan dan
dibedakan antara hukum kesunnatan tarawih dan keutamaannya dengan permasalahan
hadits keutamaan tarawih sebulan di atas. Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA
(Alm.), Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4 dan Pendiri Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences, Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia
(LepHi), juga penulis buku yang berjudul Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan.
Beliau mengatakan bahwa Hadits tersebut tidak ada dalam kitab-kitab hadits.
Namun, Syeikh Utsman dalam kitabnya Durrah al-Nashihin menyebutnya sebagai
hadits riwayat Ali bin Abi Thalib RA tanpa menyebutkan dari mana sumber hadits
tersebut. Maka dari itu, hadits tersebut adalah hadis maudlu’alias palsu.
[panrita id] Sangat penting meneliti keberadaan sumber hadits karena dengannya
kita akan mengetahui sanadnya. Abdullah bin al-Mubarak Rahimahullah berkata :
اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلَا
الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad itu bagian
dari agama. Kalau tidak ada sanad maka siapa saja berkata semaunya”.
[Dalam Shahih Muslim].
DR. KH. Ahmad Lutfi Fathullah
Mughni, MA, pakar hadis dan Ketua Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta telah menulis
disertasi yang meneliti hadit-hadits yang terdapat dalam kitab Durratun
Nashihin dan ia menemukan beberapa hadits palsu diantaranya adalah hadits
tentang keutaman shalat tarawih di atas. [Muidkijakarta or id]
Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim
Asy’ari ketika menjawab pertanyaan tentang Rebo Wekasan [aktual com], dimana
beliau menukil perkataan Syaikh Mulla Ali al-Qari :
لَا يَجُوْزُ نَقْلُ الْأَحَادِيْثِ
النَّبَوِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ وَالتَّفَاسِيْرِ اْلقُرْآنِيَّةِ
إِلَّا مِنَ الْكُتُبِ الْمُدَاوَلَةِ (الْمَشْهُوْرَةِ) لِعَدَمِ الْإِعْتِمَادِ
عَلَى غَيْرِهَا
"Tak boleh
menukil hadits-hadits Nabi dan masalah-masalah fikih juga tafsir al-Qur’an
kecuali dari kitab-kitab yang populer karena kita-kitab yang lainnya tak bisa
dibuat pedoman".[Tadzkiratul
Maudlu’at]
Dari sisi
matan, hadits tarawih tersebut terdapat kejanggalan diantaranya adalah
penggunaan istilah tarawih, dimana pada masa Nabi SAW masih digunakan “qiyam
Ramadhan” karena tarawih sebulan penuh berjamaah di masjid baru terjadi
pada masa Khalifah Umar dengan imam Ubay bin Ka'b RA. Kejanggalan lainnya
adalah pahala yang terlalu lebay dan fantastis seperti Pahala tarawih pada
malam ke 8, Allah akan memberikan apa yang telah diberikannya kepada Nabi
Ibrahim AS. Dan Malam ke 9, Seakan-akan ia telah beribadah kepada Allah seperti
Ibadahnya An-Nabi (Muhammad?) Alayhis Sholatu Was Salam. Pada malam ke 17, diberikan
pahala seperti pahala para Nabi. Pada Malam ke-29, Allah SWT akan memberinya
pahala seribu kali ibadah haji yang diterima.
Akhirnya
jangan salah paham, apalagi ber-paham salah. Artikel ini bukan menganjurkan
kita untuk meninggalkan sholat tarawih. Teruslah ber-tarawih, Tidakkah
“dihapuskannya dosa-dosa kita yang telah lalu” sebagai pahala melaksanakan
sholat tarawih sudah cukup untuk memotivasi kita?. Wallahu A'lam.
Semoga Allah Al-Bari membuka hati kita untuk terus melaksanakan shalat tarawih
secara istiqamah karena boleh jadi kita tidak lagi bisa melaksakannya di tahun
depan.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari, S.S.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Serasa Wisata Setiap Hari
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren Lho!
NB.
Hak cipta berupa karya ilmiyah ini dilindungi oleh Allah
SWT. Dilarang mengubahnya tanpa izin tertulis. Silahkan Share tanpa mengedit
artikel ini. Sesungguhnya orang yang copas perkataan orang lain tanpa menisbatkan kepadanya maka ia
adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam Alhaddad]
0 komentar:
Post a Comment