ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Ummul Mukminin Hafshah RA, Rasul
SAW bersabda :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ
الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak “tabyit” (menjatuhkan niat pada malam
hari) sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.”
[HR An-Nasa’i]
Catatan Alvers
Semua ibadah tak terlepas dari
yang namanya niat karena niat itulah yang membedakan mana ibadah dan mana adat
kebiasaan. Duduk di masjid ada yang berniat i’tikaf maka mendapat pahala karena
menjadi ibadah dan ada yang sekedar untuk beristirahat melepas lelah sepanjang
perjalanan maka hal itu menjadi hal yang biasa yang tak berpahala. Begitupula
puasa, ia tak bisa dilepaskan dari niat.
Niat secara etimologi berarti
“Qashd” yakni menyengaja. Ibnu Qasim Al-Gazzi berkata :
شَرْعًا قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا
بِفِعْلِهِ فَإِنْ تَرَاخَى عَنْهُ سُمِّيَ عَزْمًا
Secara syara’,
niat adalah menyengaja untuk melakukan suatu pekerjaan bersamaan sekaligus dengan
pekerjaannya. Jika penyengajaannnya tidak bersamaan dengan pekerjaannya maka
disebut dengan “Azm”. [Fathul Qarib]
Merupakan hal yang unik adalah
niat puasa dimana niat itu tidak sesuai dengan definisi di atas. Dalam puasa
ramadhan atau puasa wajib, niatnya justru tidak boleh bersamaan dengan awal
pekerjaan puasa yaitu terbitnya fajar. Niat puasa harus dilakukan sebelum memulai
puasa yakni pada malam hari sebagaimana hadits utama di atas, bukankah waktu
pelaksanaan puasa tersebut di mulai pada awal terbitnya fajar (shubuh)?. Lantas apa yang membedakan? Syeikh Muhammad
Al-Khatib As-Syarbiny berkata :
وَإِنَّمَا لَمْ يُوجِبُوا
الْمُقَارَنَةَ فِي الصَّوْمِ لِعُسْرِ مُرَاقَبَةِ الْفَجْرِ وَتَطْبِيقِ
النِّيَّةِ عَلَيْهِ
Para ulama tidak
mewajibkan “muqaranah” (membarengkan niat dengan pekerjaan) pada masalah puasa
karena sulitnya “Muraqabatul Fajr” menantikan waktu terbitnya fajar dan sulit
untuk menjatuhkan niat tepat dengan terbitnya fajar.
[Al-Iqna’]
Menurut Ibnu Hajar Al-Haytami
bahwa dalam urusan puasa, syariat menempatkan “azam” sebagai “niat”
karena sulitnya menantikan fajar. [Tuhfatul Muhtaj] dan alasan lain disampaikan
oleh Zakaria As-Saniki, ia berkata : Tidak diperbolehkannya “muqaranah”
dalam niat puasa itu dikarenakan sulitnya menjatuhkan niat tepat pada waktu
tyerbitnya fajar sehingga pada prakteknya niat itu akan banyak terjadi luput antara
sebelum atau setelahnya terbit fajar.
Maka para ulama mewajibkan untuk mendahulukan niat puasa (wajib) karena alasan “ihtiyath”
(kehati-hatian). [Al-Ghurar Al-Bahiyyah Syarah Al-Bahjah Al-Wardiyah] Lain
halnya dengan pendapat Al-Qalyubi, ia berpendapat bahwa maksudnya sulit
menjatuhkan niat pada waktu fajar bukan karena seseorang tidak bisa
melakukannya akan tetapi karena menjatuhkan niat saat fajar yang merupakan
bagian dari siang akan menyebabkan puasanya batal sebab meninggalkan tabyit.
[Hasyiyata Qulyubi Wa Umayrah] Jadi, jika niat puasa bersamaan dengan terbitnya
fajar akan menyebabkan puasa tidak sah karena itu artinya tidak “tabyit”
(menjatuhkan niat pada malam hari) sebagaimana dipahami dari hadits utama di
atas. [Al-Bayjuri]
Syihabuddin Ar-Ramly berkata :
Khusus dalam puasa diperbolehkan untuk mengakhirkan niat dari pekerjaannya,
jika puasanya adalah sunnah dan (wajib) didahulukan dari pekerjaannya jika
puasanya wajib. Jadi, Ibadah puasa (ramadhan atau puasa wajib lainnya)
merupakan satu-satunya ibadah yang mana niatnya wajib di dahulukan dari
pekerjaannya. Adapun Zakat, Kifarat, Qurban itu ketiga-tiganya adalah ibadah
yang mana niatnya boleh untuk didahulukan sebelum pekerjaannya yaitu setelah
menentukan kadarnya (dan sebelum memberikan kepada mustahiqnya)... [Ghayatul
Bayan]
“Tabyit” yang dimaksudkan
dalam hadits adalah menjatuhkan niat pada malam hari yaitu mulai dari
terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Jadi, tidak ada syarat dalam niat
puasa harus dilakukan pada separoh yang terakhir dari waktu malam. Dan tabyit niat
itu haruslah dilakukan setiap hari karena puasa satu hari merupakan satu ibadah
yang tersendiri atau terpisah dari hari berikutnya buktinya adalah diantara dua
hari puasa itu disela-selai oleh hal yang menafikan puasa seperti makan dan
minum sebagaimana dua shalat yang disela-selai oleh salam. Namun berbeda dengan
pendapat Imam malik yang menganggap cukup untuk berniat sekali saja untuk puasa
satu bulan penuh yaitu pada malam awal bulan ramadhan. Bagi orang bermadzhab
syafi’i diperbolehkan bertaqlid kepadanya sebagai antisipasi jika suatu hari
kelupaan “tabyit” atau tidak berniat pada malam harinya sehingga ia tidak perlu
meng-qadla’inya di lain hari meskipun ia tetap diwajibkan “imsak” (tidak
boleh makan dan minum) pada hari itu. [Al-Bajuri]
Perlu diketahui bahwa tidaklah
merusak niat jika setelah berniat lalu seseorang melakukan aktifitas makan,
minum, tidur, jima’ dll sehingga ia tidak diwajibkan untuk mengulangi lagi
niatnya setelah itu. [Al-Bayjuri] bahkan Syihabuddin Ar-ramli berkata :
وَلَو نَوَتْ الْحَائِضُ صَوْمَ غَدٍ قَبْلَ
انْقِطَاعِ دَمِهَا ثُمَّ انْقَطَعَ لَيْلًا صَحَّ صَوْمُهَا بِهَذِهِ النِّيَّةِ
Jika wanita yang
sedang haidh ia berniat puasa untuk keesokan harinya sebelum darah haidhnya
berhenti dan ternyata pada malam itu juga terhenti darah haidhnya maka sah
puasanya dengan menggunakan niat tadi.
[Ghayatul Bayan]
Begitu pula tidak merusak niat
dan puasa, jika seseorang yang telah berniat puasa lalu ia ber-jima’ kemudian
masuk waktu fajar sementara ia belum mandi besar. Diriwayatkan dari Aisyah RA
bahwasanya ada seorang laki-laki datang meminta fatwa (tentang hukum) kepada
Nabi SAW, sementara Aisyah waktu itu mendengar dari balik pintu. Laki-laki itu
bertanya: "Wahai Rasululah, waktu shalat telah tiba sedangkan aku dalam
keadaan junub. Bolehkah aku meneruskan puasaku?" Rasulullah SAW menjawab:
وَأَنَا تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ
وَأَنَا جُنُبٌ فَأَصُومُ
"Aku pun
pernah mendapati waktu shalat (Subuh) dalam keadaan junub, dan aku tetap
berpuasa." [HR Muslim]
Berbeda dengan puasa ramadhan,
niat puasa sunnah bisa di akhirkan setelah terbitnya fajar. Hal ini dikarenakan
ada tuntunan Nabi Saw sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah RA, Ia berkata,
'Suatu hari, Nabi SAW bertanya, “apakah engkau punya makanan?” Maka aku menjawab,
Wahai Rasulallah, Kami tidak punya (makanan) apa-apa” . Kemudian beliau
bersabda:
فَإِنِّي صَائِمٌ
“(Kalau begitu), sesungguhnya
Aku akan berpuasa." [HR Muslim]
Hal ini diteladani oleh Abud
Darda’, yaitu ketika waktu dluha (pagi hari) ia bertanya kepada Istrinya, Ummud
Darda’ mengenai sarapan maka tatkala Ummud Darda’ menjawab tidak ada niscaya ia
berkata “sesungguhnya aku berpuasa pada hariku ini” Hal yang sama juga
dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Hudzaifah RA. [Shahih
Bukhari] Adapun Ibnu Abbas, Ia berkata :
وَاللهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ وَمَا أُرِيْدُ
الصَّوْمَ وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ وَلَأَصُوْمَنَّ
يَوْمِيْ هَذَا
Demi Allah, Aku
masuk pagi hari tadi dalam keadaan tidak ingin puasa, namun aku belum makan dan
minum sejak (pagi) hari ini. Sungguh aku akan berpuasa pada hariku ini. [Fathul
Bari]
Hadits dan atsar ini
menjelaskan Nabi dan para sahabat memutuskan untuk berpuasa karena tidak ada
makanan di rumah. Padahal, sebelumnya mereka tidak berniat untuk berpuasa. Ini
juga menunjukkan bahwa mereka tidak sahur pada malam harinya. Maka disimpulkan
bahwa “tabyit” tidak disyaratkan untuk puasa sunnah. Namun perlu diketahui
bahwa niat puasa sunnah di siang hari disyaratkan (1) maksimal sampai “zawal” yakni
tergelincirnya matahari atau tengah hari dan (2) belum melakukan sesuatu yang
merusak puasa seperti makan dan minum. [AL-Bayjuri]
Ada hal yang menarik dari
lanjutan hadits mengenai Nabi SAW berniat puasa di pagi hari, Sayyidah Aisyah
berkata : Lalu Rasul SAW pun pergi keluar. Tak lama kemudian, aku mendapat hadiah
berupa makanan. Ketika Rasulullah kembali, Aku berkata : "Ya Rasulullah,
tadi ada orang datang memberi kita makanan dan kusimpan untukmu." Beliau
bertanya: "Makanan apa itu?" Aku menjawab : "Kue hays"
Beliau bersabda: "Bawalah kemari." Maka kue itu pun aku sajikan untuk
beliau, lalu beliau menyantapnya, kemudian beliau bersabda :
قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا
"Sungguh aku
telah berpuasa dari pagi tadi."
[HR Muslim]
Wallahu A'lam. Semoga Allah Al-Bari membuka hati kita untuk senantiasa menambah
ilmu pengetahuan tentang agama sehingga kita bisa beribadah dengan benar sesuai
dengan tuntunan Nabi SAW.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari Alvers
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren Lho!
NB.
Hak cipta berupa karya ilmiyah ini dilindungi oleh Allah
SWT. Mengubah dan menjiplaknya akan terkena hisab di akhirat kelak. *Silahkan
Share tanpa mengedit artikel ini*. Sesungguhnya orang yang copas perkataan
orang lain tanpa menisbatkan kepadanya
maka ia adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam Alhaddad]
0 komentar:
Post a Comment