ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Abi Bakar bin Abi Mulaikah, Ia berkata :
أنَّ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَعْتَقَتْ غُلَامًا لَهَا عَنْ دُبُرٍ فَكَانَ
يَؤُمُّهَا فِي رَمَضَانَ فِي الْمُصْحَفِ
Bahwasannya Sayyidah Aisyah RA memerdekakan budaknya (yang
bernama dzakwan, abu amr) dengan cara “tadbir” (menngantungkan kemerdekaan
budak dengan wafatnya majikan) Dan ia mengimami Aisyah (dan orang-orang yang bersamanya)
di bulan Ramadlan dengan membaca mushaf al-Qur’an. [HR Ibnu Abi Syaibah]
Catatan Alvers
Bulan Ramadhan kali ini kita rasakan hal yang berbeda akibat pandemi
covid-19 dimana kita diharuskan melakukan semua aktifitas dari rumah karena
kita harus “Stay At Home”. Termasuk shalat tarawih yang biasanya dikerjakan
di masjid maka saat ini dianjurkan di rumah. Hingga beredar status menggelikan di
medsos “Dulu kalau rajin ke masjid namanya orang saleh namun sekarang orang
ke masjid kirira orang salah. Dulu orang ditegur kalo tidak pergi jumatan namun
sekarang yang ditegur justru orang yang pergi jumatan”.
Keberadaan shalat yang dianjurkan untuk dilakukan di rumah auto memunculkan
imam-imam baru yang boleh jadi tidak pernah menjadi imam sebelumnya. Maka disini
muncul masalah dimana imam tidak hafal surat-surat yang akan dibaca saat
tarawih sehingga perlu “ngrepek” saat menjadi imam. Dan di sinilah muncul pro
kontra atas berbagai pernyataan yang berkaitan dengan hal itu.
Sebenarnya shalat dengan membaca Qur’an dari mushaf bukanlah hal yang
baru. Hal ini telah ada di zaman sahabat sebagaimana hadits utama di atas yang
dilakukan oleh dzakwan, abu amr budak dari sayyidah A’isyah. Menjelaskan hadits
di atas, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
قَوْلُهُ
(فِي الْمُصْحَفِ) اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ قِرَاءَةِ الْمُصَلِّي مِنَ الْمُصْحَفِ
وَمَنَعَ مِنْهُ آخَرُوْنَ لِكَوْنِهِ عَمَلاً كَثِيْرًا فِي الصَّلَاةِ
Perkataan Imam Bukhari (Dzakwan mengimami shalat dengan
membaca mushaf) itu dijadikan dalil akan bolehnya orang yang shalat untuk membaca
Qur’an dari mushaf ketika shalat, dan ulama yang lain melarang hal ini karena
kan menimbulkan gerakan yang banyak di dalam shalat. [Fathul Bari]
Badruddin Al-Aini mengatakan: “(Perkataan “Membaca dari mushaf”) secara
jelas menunjukkan bolehnya membaca dari mushaf ketika shalat”. Dan Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan
al-Bashri, al-Hakam, dan Atha’. [Umdatul Qari]
Abu Bakar ibnu Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi berkata : Jika Seseorang yang
shalat itu membaca Al-quran dari mushaf, maka shalatnya batal menurut Imam Abu
Hanifah, sementara menurut Abu Yusuf dan Muhammad (asy-Syaibani keduanya Madzhab
Hanafi), shalatnya sempurna (sah) namun makruh. Selanjutnya Al-Kasani berkata :
وَقَالَ
الشَّافِعِيُّ لَا يُكْرَهُ
Dan Imam asy-Syafi’i berkata : Tidak makruh (hukum
membaca mushaf saat shalat).
Para ulama berhujjah dengan (1) riwayat bahwa Budak Aisyah RA yang
bernawa Dzakwan menjadi imam para jamaah pada bulan ramadlan dan ia membaca
dari mushaf. (2) melihat mushaf termasuk ibadah, membaca quran juga ibadah, dan
menggabungkan satu ibadah dengan ibadah yang lain, tidak menyebabkan batal.
Hanya saja, semacam ini dihukumi makruh oleh keduanya (Abu Yusuf dan Muhammad
asy-Syaibani), karena hal itu merupakan perbuatan “tasyabbuh” menyerupai Ahli
kitab (Yahudi dan Nasrani yang sembahyangnya dengan membaca kitab). Sedangkan (3)
Imam asy-Syafi’i berkata : kita tidaklah dilarang tasyabbuh dengan mereka dalam
segala hal (buktinya) kita (boleh) memakan apa yang mereka makan. [Bada’iush Shana’i’
Fi Tartibis Syara’i’]
Dari sini jelas bahwa imam syafi’i membolehkan kita untuk membaca
al-Quran dengan mushaf ketika shalat. Dan ternyata hal itu juga dipraktekkan
oleh imam Syafi’i sendiri ketika shalat. Dikisahkan oleh Imam Ghazali bahwa sebagian
fuqaha dari mesir saat waktu sahur bertamu kepada imam syafii sementara di hadapan
beliau terdapat mushaf. Maka Imam Syafi’i berkata :
شَغَلَكُمُ
الْفِكْرُ عَنِ الْقُرْآنِ إِنِّي لَأُصَلِّي الْعَتَمَةَ وَأَضَعُ الْمُصْحَفَ بَيْنَ
يَدَيَّ فَمَا أُطَبِّقُهُ حَتَّى أُصْبِحَ
Kalian disibukkan
oleh memikir-mikir tentang (makna) al-Qur’an sementara aku shalat isya’ dan aku
letakkan mushaf ini di depanku maka aku (memikirkan) ayat apa yang aku terapkan,
sehingga aku masuk waktu subuh. [Ihya Ulumuddin]
Lebih jelasnya lagi Imam Nawawi berkata :
لَوْ قَرَأَ
الْقُرْآنَ مِنَ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ
لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إِذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ
قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلاَتِهِ لَمْ تَبْطُلْ
Jika seseorang
(yang shalat) ia membaca Al-Qur’an dari Mushaf maka tidaklah batal shalatnya,
baik dia hafal Al-Qur’an ataupun tidak. Bahkan, dia wajib melakukan hal
tersebut (membaca dari mushaf) jika dia tidak hafal surat Al-Fatihah
sebagaimana keterangan yang telah lalu. Jika dia sesekali membuka
lembaran-lembaran Mushaf dalam shalatnya maka tidaklah batal shalatnya. [Al-Majmu’]
Syaikh Zakaria
Al-Anshari memberikan alasannya :
لِأَنَّ ذَلِكَ
يَسِيْرٌ أَوْ غَيْرُ مُتَوَالٍ لَا يُشْعِرُ بِالْإِعْرَاضِ وَالْقَلِيْلُ مِنَ
الْفِعْلِ الَّذِي يُبْطِلُ كَثِيْرُهُ إِذَا تَعَمَّدَهُ بِلَا حَاجَةٍ مَكْرُوْهٌ
Hal itu tidaklah
membatalkan shalat, karena perbuatan itu dianggap ringan atau tidak bersifat
terus-menerus serta tidak mengindikasikan orang tersebut berpaling dari shalatnya.
Pekerjaan yang sedikit yang mana membatalkan shalat jika dilakukan dengan banyak
jika dilakukan dengan sengaja tanpa ada keperluan maka hukumnya makruh. [Asnal Mathalib]
Lantas bagaimana dengan gerakan-gerakan yang ditimbulkan ketika kita
membalikkan halaman mushaf, apakah itu dapat membatalkan shalat? Perlu
diketahui bahwa ketika sedang shalat, kita bukan berarti tidak boleh melakukan
aktifitas sama sekali. Dari Abu Qatadah RA menceritakan :
كَانَ
يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا
Rasul SAW pernah shalat sambil menggendong Umamah putri
Zainab bintu Rasul SAW. Apabila beliau sujud, beliau meletakkannya dan apabila
beliau bangkit maka beliau menggendongnya. [HR Bukhari]
Dari A’isyah RA juga menceritakan :
اسْتَفْتَحْتُ
الْبَابَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي تَطَوُّعًا
وَالْبَابُ عَلَى الْقِبْلَةِ فَمَشَى عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ يَسَارِهِ،
فَفَتَحَ الْبَابَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مُصَلَّاهُ
Aku minta dibukakan pintu, sementara Rasul SAWsedang
shalat sunah, dan pintu ada di arah kiblat. Kemudian beliau berjalan ke arah
kanan atau kiri, lalu membuka pintu dan beliau kembali ke tempat shalatnya. [HR Nasa’i]
Maka tatkala ada orang yang melakukan aktifitas dalam shalatnya seperti
apa yang dilakukan oleh Rasul SAW dalam hadits tersebut hendaknya kita tidak mengingkarinya.
Bukankah kita diperintah untuk mencontoh beliau. Rasul SAW bersabda dalam
hadits yang begitu familier :
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Lakukanlah shalat sebagaimana
kalian melihat aku shalat. [HR Daruquthni]
Namun yang perlu kita perhatikan, bagaimana aktifitas tersebut tidak
menimbulkan gerakan-gerakan yang berlebihan sehingga mengakibatkan shalat kita
batal. Di sinilah kita perlu kita ketahui batasan-batasannya. Secara global,
Al-Malibari memberikan batasan yaitu :
تَبْطُلُ
الصَّلاَةُ...وَبِفِعْلٍ كَثِيْرٍ وِلَاءً وَلَوْ سَهْوًا كَثَلَاثِ خَطَوَاتٍ تَوَالَتْ
Shalat itu batal dengan sebab melakukan
gerakan yang banyak dan bersambung meskipun dilakukan dalam keadaan lupa
seperti tiga langkah kaki yang bersambung. [Qurratul Ain]
Dalam perinciannya, Al-Malibari berkata :
وَإِمْرَارُ
الْيَدِ وَرَدُّهَا عَلَى التَّوَالِي بِالْحَكِّ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ، وَكَذَا رَفْعُهَا
عَنْ صَدْرِهِ وَوَضْعُهَا عَلَى مَوْضِعِ الْحَكِّ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ أَيْ إِنْ
اتَّصَلَ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ وَإِلَّا فَكُلٌّ مَرَّةٌ
Menggerakkan tangan dan mengembalikannya secara
bersambung (langsung) dihitung satu gerakan, begitu juga mengangkat tangan dari
dada dan meletakkannya di tempat yang akan digaruk itu dihitung satu gerakan
yakni jika dilakukan secara bersambung antar satu gerakan dengan yang lain,
Namun jika (gerakan pertama dan kedua) itu terpisah maka setiap gerakan dihitung
masing-masing satu gerakan. [Fathul Mu’in]
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata :
وَلَا
يَضُرُّ الْفِعْلُ الْقَلِيْلُ الَّذِي لَيْسَ بِفَاحِشٍ وَمِنْهُ الْخَطْوَتَانِ
وَإِنِ اتَّسَعَتَا وَاللُّبْسُ الْخَفِيْفُ وَفَتْحُ كِتَابٍ وَفَهْمُ مَا فِيْهِ
لَكِنَّهُ مَكْرُوْهٌ
Tidak berbahaya (tidak membatalakan shalat) “Fi’il”
(pekerjaan) yang sedikit dan tidak melampaui batas seperti dua langkah kaki
meskipun langkahnya lebar-lebar, mengenakan pakaian ringan, membuka kitab dan
memahami apa yang ada didalam kitab tersebut, hanya saja yang demikian itu makruh
hukumnya. [Al-Minhajul Qawim]
Lantas bolehkah jika imam membaca qur’an dari Smart Phone? Menurut hemat
saya hukumnya sama bolehnya meskipun saya kesulitan menemukan ta’birnya di
kitab kuning mengingat smart phone ini adalah hal yang baru. Namun masalah lain
muncul, yaitu bagaimanakah hukumnya ketika sedang membaca qur’an di tengah-tengah
shalat lalu ada pesan WA masuk yang itu boleh jadi terbaca sekilas? Menjawab
hal ini, saya mengutip perkataan Imam Nawawi berikut :
وَلَوْ نَظَرَ
فِي مَكْتُوْبٍ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَرَدَّدَ مَا فِيْهِ فِي نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ
صَلَاتُهُ وَإِنْ طَالَ لَكِنْ يُكْرَهُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ
Jika ia melihat
tulisan selain al-Qur’an kemudian ia membacanya dalam hati maka tidaklah batal
shalatnya meskipun hal itu berlangsung lama akan tetapi hukumnya makruh
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafii dalam kitab Al-Imla’. [Al-Majmu]
Makanya, kalau membacanya dari HP jangan lupa di offkan dulu jaringan internetnya
atau pakai mode pesawat biar lebih aman sehingga shalatnya bisa lebih khusu’
karena tidak khawatir sewaktu-waktu ada WA atau panggilan masuk. Wallahu A'lam.
Semoga Allah Al-Bari membuka hati kita untuk beribadah sesuai dengan ilmunya dan
mempelajari ibadah yang hendak dilakukan sehingga tidak mudah mengingkari perbuatan
tanpa berdasar ilmunya.
Salam Satu Hadits,
Dr. H. Fathul Bari Alvers
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Sarana Santri ber-Wisata Rohani Wisata Jasmani
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren Lho!
NB.
Hak cipta berupa karya ilmiyah ini dilindungi oleh Allah
SWT. Mengubah dan menjiplaknya akan terkena hisab di akhirat kelak. *Silahkan
Share tanpa mengedit artikel ini*. Sesungguhnya orang yang copas perkataan
orang lain tanpa menisbatkan kepadanya
maka ia adalah seorang pencuri atau peng-ghosob dan keduanya adalah tercela [Imam Alhaddad]
0 komentar:
Post a Comment