Monday, June 26, 2023

HARI ARAFAH BERBEDA?

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasul SAW bersabda :

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berhentilah puasa (berhari raya) karena melihat hilal dan jika terhalang mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan 30 hari. [HR An-Nasa’i]

 

Catatan Alvers

 

Terjadi kebingungan berjamaah, kesimpang siuran massal. Ya, banyak orang bertanya-tanya, mengapa tanggal 9 Dzulhijjah atau hari Arafah di Indonesia berlainan hari dengan wukufnya jamaah haji di padang Arafah, Mekkah? Mengapa pula Hilal permulaan dzulhijjah 2023 ini di Indonesia lebih akhir dari saudi padahal waktu sholat di Indonesia lebih awal?

 

Persoalan pertama. mengapa kita di Indonesia tidak ikut saudi dalam penetapan awal bulan dzulhijjah? Jawabnya karena ada hadits yang populer dikenal dengan hadits kuraib. Beragama itu pakai dogma (wahyu), bukan pakai logika ansich. Hadits kuraib yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib dengan nama lengkap yaitu Abu Rusydain, Kuraib bin Abi Muslim Al-Hasyimiy, maula Ibnu 'Abbas, Seorang tabi'in yang lahir di madinah dan wafat pada tahun 98 H. Hadits kuraib ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih Muslim tepatnya pada bab :

بَاب بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوْا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ

Bab menerangkan bahwasannya setiap negara memiliki rukyah sendiri-sendiri dan jika penduduk di satu negeri telah melihat hilal maka hukum rukyatnya tidak dapat ditetapkan untuk penduduk (negeri lain) yang jauh.

 

Dari judul yang ditulis oleh Imam Muslim ini saja, permasalahan tersebut sudah jelas jawabannya. Imam Muslim mengemukakan bahwa setiap negara itu memiliki rukyat yang bisa jadi berbeda dengan negara lain yang jauh sehingga tidak harus satu tanggal itu bersamaan seluruh dunia sebagaimana terjadi perbedaan dalam penetapan hari arafah dan idul adha tanun ini.

 

Berikut ini adalah haditsnya. “Diriwayatkan dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang kembali ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah ibnu Abbas bertanya kepadaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia (ibnu Abbas) bertanya ; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Ia (ibnu Abbas) bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah (gubernur syiria mulai tahun 693 M di masa khalifah Umar bin Khattab) juga berpuasa”. Ia (ibnu Abbas) berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan terus berpuasa sampai sempurna tiga puluh hari atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) “. Aku (Kuraib) bertanya :

أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ

“Apakah tidak cukup engkau berpedoman dengan mengikuti ru’yatul hilalnya Mu’awiyah (negeri syam) dan puasanya?

(ibnu Abbas) menjawab :

لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Tidak (Kami di madinah tidak mengikuti rukyatnya penduduk Syam) ! Begitulah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami”. [HR Muslim]

 

Keterangan Ibnu Abbas menegaskan bahwa rukyat negeri syam ( saat ini mejadi beberapa negara meliputi Palestina, Yordania, Lebanon dan Suriah), itu tidak otomatis berlaku di madinah yang berjarak kurang lebih 1,200 KM dari negeri syam (suriah). Jika demikian maka rukyatul hilalnya madinah atau mekkah tidak otomatis berlaku di negeri kita Indonesia yang jaraknya lebih jauh dari syam, yaitu nya sekitar 12.000 KM (Via Darat Goggle Map) yakni 10 Kali lipatnya jarak madinah ke Syam.

 

Jadi perbedaan hari arafah dan idul adha antara Indonesia dan saudi itu bukanlah sesuatu yang patut dipermasalahkan. Mungkin kita berpikir bahwa orang islam itu hidup di zaman ini dimana dengan medsos dan internet sehingga kita dengan mudah mengetahui kapan hari arafah di mekkah. Namun coba bayangkan kalau kita hidup 1000 tahun sebelumnya, dimana belum ada teknologi komunikasi seperti sekarang, bagaimana bisa kita mengetahui dengan cepat bahwa hari ini adalah hari arafah jika harus disamakan dengan hari wukufnya jamaah haji? Boleh jadi hari arafah sudah lewat sebulan baru informasi itu sampai kepada kita di Indonesia. Lantas, kapan puasanya kalo begitu?

 

Hal yang sama juga ditegaskan oleh ulama saudi terkemuka dari kalangan wahaby yaitu Syeikh M Shalih Al-Utsaymin. Ulama yang wafat di jeddah pada tahun 2001 yang dikenal sebagai ahli dalam Fiqh juga sains, Murid dari Ulama wahabi ternama yaitu Syeikh Abdurrahman As Sa’di dan Syeikh Abdul Aziz bin Baz. Syeikh Utsaymin berkata “maka dari itu berpuasalah kalian dan berhari rayalah sesuai dengan penduduk negeri dimana kalian berada saat itu, baik itu bersamaan dengan negeri asal kalian ataukah berbeda”.  Dan beliau melanjutkan :  

وَكَذَلِكَ يَوْمُ عَرَفَةَ اِتَّبِعُوا الْبَلَدَ الَّذِي أَنْتُمْ فِيْهِ

“Begitu pula penetapan hari Arafah, Ikutilah negeri dimana kalian berada saat itu”. [Majmu Fatawa Wa Rasail Al-Utsaymin]

 

Itu artinya kalau seseorang sedang berada di Indonesia maka ikutilah hasil rukyat di Indonesia untuk berpuasa hari Arafah, meskipun ia bukan orang asli kelahiran indonesia. Jadi penetapan hari Arafah bukan dengan mengikuti penetapan hilal negera Saudi Arabia.

 

Pertanyaan kedua, mengapa pula Hilal permulaan dzulhijjah di Indonesia lebih akhir dari saudi padahal waktu sholat di Indonesia lebih awal dari saudi sekitar 4 jam? Alvers. Hal ini dikarenakan bahwa acuan waktu sholat itu berbeda dengan acuan penetapan tanggal. Sholat itu ditetapkan waktu-waktunya berdasarkan kepada posisi matahari, misalnya ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju ke arah tenggelamnya (barat) menandakan masuk waktu zhuhur. Ketika matahari telah tenggelam menandakan masuk waktu maghrib, terbitnya matahari menandakan habisnya waktu sholat subuh. Sementara penetapan tanggal itu berdasarkan kepada posisi bulan. Bulan sabit atau dikenal pula dengan hilal yang terlihat itu menandakan awal bulan atau tanggal 1 dari setiap bulannya sebagaimana hadits utama di atas. Dan kita tahu bahwa matahari dan bulan memiliki karakteristik yang berbeda. 

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk beribadah dengan berpedoman ilmu para Ulama yang bersumber dari ajaran Nabi SAW dan tidak menjadikan perbedaan pendapat sebagai adzab akan tetapi sebagai rahmat.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment