ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Amr Ibnul Ash RA, Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا
حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika
seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum lalu ia benar, maka ia mendapat dua pahala, namun
jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala” [HR Bukhari]
Catatan Alvers
Ketika berumrah atau haji, kita akan berkumpul dengan umat Islam sedunia
dengan amaliah yang beragam sesuai madzhab yang diikuti. Perbedaan madzhab
bukanlah satu kekeliruan karena itu adalah hasil ijtihad. Sebagaimana dalam
hadits di atas, jika benar maka sang mujtahid mendapat dua pahala, namun jika salah, maka
ia mendapat satu pahala. Hal ini terkadang tidak disadari oleh
sebagian jamaah sehingga mereka menganggap aneh perbedaan tersebut bahkan terkadang
ingkar kepada orang yang berbeda amaliyahnya. Dan sebaliknya,
terkadang kita sendiri yang menjadi korban protes mereka.
Ketika berhaji atau umrah maka hindari berdebat sebisa
mungkin. Allah SWT berfriman :
وَلا
جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Maka tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. [QS Al-Baqarah
: 197]
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ada dua pendapat dalam hal ini. Pertama,
tidak boleh berbantah-bantahan dalam masalah waktu dan tata cara pelaksanaan
ibadah haji karena Allah SWT telah menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya.
Kedua, tidak boleh berbantah-bantahan dalam segala hal yang menjadikan orang
yang berbantahan itu saling marah dan memusuhi. [Tafsir Ibnu Katsir]
Dengan demikian kita jangan usil dengan amaliyah
orang lain yang berbeda. Dzun Nun Al-Mishri berkata :
النَّاسُ
أَعْدَاءُ مَا جَهِلُوا
“Manusia itu menjadi musuh terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.”
[Al-Khulf Bayna Jaisy Mishr]
Selaras dengan pembahasan ini, ada sebuah kalam hikmah:
مَنْ كَثُرَ
عِلْمُهُ قَلَّ إِنْكَارُهُ
Barang siapa yang banyak ilmunya maka ia sedikit mengingkari.
Syeikh sa'ud as-syuraim (Lahir th.1966) imam masjidil haram menjelaskan
dalam statusnya di twitter :
إِذَا زَادَ
عِلْمُ الْمَرْءِ قَلَّ إِنْكَارُهُ عَلَى الْمُخَالِفِ لِعِلْمِهِ أَنَّ لَدَيْهِ
دَلِيْلًا
Jika ilmu seseorang bertambah banyak maka ia sedikit mengingkari orang
yang menyelisihinya (dalam suatu amalan) karena ia tahu bahwa orang lainpun
memiliki dalil (atas apa yang ia amalkan [@saudalshureem]
Sikap seperti inilah yang ditunjukkan para sahabat yang merupakan
generasi terbaik dalam menghadapi masalah khilafiyah. Mereka banyak beramal dan
sedikit berdebat dan sebaliknya orang sekarang banyak berdebat dan sedikit beramal. Muhammad bin
Abu Bakr bertanya kepada Anas di waktu pagi saat berada di Arafah,
"Bagaimana menurut Anda mengenai talbiyah di hari ini?" Anas menjawab :
سِرْتُ
هَذَا الْمَسِيرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَصْحَابِهِ فَمِنَّا الْمُكَبِّرُ وَمِنَّا الْمُهَلِّلُ وَلَا يَعِيبُ
أَحَدُنَا عَلَى صَاحِبِهِ
"Aku menelusuri jalan ini bersama Nabi saw, di antara kami ada yang
membaca takbir dan ada pula yang membaca tahlil, namun tak seorang pun dari
kami yang "usil" dengan mencela temannya. [HR Muslim]
Pengalaman saya pribadi ketika sa’i. Saya yang bermadzhab Syafi’i
melakukan idhtiba' sewaktu sa'i. Idhtiba’ adalah mengenakan selendang ihram
dengan posisi bagian tengah selendang ihram di bawah pundak kanan (sebelah
bawah ketiak kanan) sedangkan kedua ujung kain ihram di atas pundak kiri. Sayyed
bakri berkata :
وَكَذَا
يُسَنُّ الْاِضْطِبَاعُ فِي السَّعْيِ قِيَاسًا عَلَى الطَّوَافِ
Begitu pula, sunnah idhtiba' dalam sa'i dengan hukum qiyas kepada
thawaf. [I'anatut thalibin]
Dan lebih jelasmya, Imam Nawawi berkata :
قَالَ
أَصْحَابُنَا وَيُسَنُّ الِاضْطِبَاعُ أَيْضًا فِي السَّعْيِ هَذَا هُوَ
الْمَذْهَبُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِ وَجْهٌ شَاذٌّ أَنَّهُ لَا
يُسَنُّ فِيهِ
Para ulama pengikut imam syafi'i berkata ; idhtiba' hukumnya sunnah juga
ketika sa'i. Dan inilah pendapat madzhab syafi’i dan dipastikan oleh mayoritas ulama. Namun
ada pendapat Syadz (nyeleneh) bahwasannya hal itu tidak sunnah dilakukan ketika
sa’i. [Majmu']
Ketika mengamalkan idhtiba’ saat sa’i, dalam beberapa putaran ada beberapa orang
yang silih berganti memberi isyarat agar saya tidak melakukan idhtiba’. Mereka menyuruh agar
saya menutup pundak
kanan dengan kain ihram seperti yang mereka lakukan. Wal hasil saya tidak
berdebat dengan mereka, saya membiarkan saja bahkan karena berungkali
diingatkan maka saya pilih untuk menuruti permintaan mereka untuk menutup
pundak saya. Toh hal ini hanya sekedar kesunnahan dan bukan hal membatalkan sa’i
atau umroh.
Wallahu A'lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk
banyak belajar lagi dan bersikap toleran terhadap perbedaan amaliyah.
0 komentar:
Post a Comment