إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain." [HR Muslim]

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا : مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً : مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).” [Syu’abul Iman]

الإخلاص فقد رؤية الإخلاص، فإن من شاهد في إخلاصه الإخلاص فقد احتاج إخلاصه إلى إخلاص

"Ikhlas itu tidak merasa ikhlas. Orang yang menetapkan keikhlasan dalam amal perbuatannya maka keihklasannya tersebut masih butuh keikhlasan (karena kurang ikhlas)." [Ihya’ Ulumuddin]

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur." [HR Muslim]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ.

“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamaMu.”[HR Ahmad]

Friday, December 20, 2024

BOOKING TEMPAT SHALAT

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasul SAW bersabda :

لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَقْعَدِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا

“Janganlah seseorang membangunkan orang lain yang sedang duduk (dari tempatnya yang semula) kemudian dia duduk padanya, akan tetapi bergeserlah dan berlapanglah“. [HR Muslim]

 

Catatan Alvers

 

Baru-baru ini viral di media sosial, video Paspampres dinarasikan usir jamaah saat Wapres Gibran Rakabuming Raka hendak salat salat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman Semarang (Desember 2024). Video itu menunjukan bahwa sejumlah jamaah yang sudah lebih dulu berada di shaf depan diminta untuk bergeser supaya Wapres Gibran bisa mendirikan shalat di shaf depan. Namun Wakil Komandan Paspampres membantah isu tersebut dan meluruskan bahwa orang yang terlihat diminta berpindah dalam video tersebut adalah anggota Paspampres sendiri yang sudah disiapkan di posisi tersebut. Dan itupun bukan di shaf pertama melainkan shaf keempat. [tribunnews com]

 

Berbicara mengenai masalah di atas, pada dasarnya seseorang mengusir orang lain dari tempat duduknya itu hukumnya terlarang. Larangan ini disampaikan oleh Rasul SAW dalam hadits utama : “Janganlah seseorang membangunkan orang lain yang sedang duduk (dari tempatnya yang semula) kemudian dia duduk padanya, akan tetapi bergeserlah dan berlapanglah“. [HR Muslim] Bukankah Allah SWT berfriman :

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي اْلمَجَالِسِ فَافْـسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman bilamana dikatakan kepada kalian: “Berlapang-lapanglah dalam majlis” maka lapangkanlah niscaya Allah memberikan kelapangan untuk kalian (di surga)”.[QS Al-Mujadilah : 11]

 

Dan Ibnu Umar RA berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقِيمَ الرَّجُلُ أَخَاهُ مِنْ مَقْعَدِهِ وَيَجْلِسَ فِيهِ

“Nabi SAW melarang seseorang membangunkan saudaranya dari tempat duduknya, lalu dia duduk di situ.” [HR Bukhari]

 

Dalam lanjutan hadits, Ibnu Umar RA bertanya kepada Nafi’: “Apakah (larangan itu) berlaku pada sholat Jum’at?” Nafi’ menjawab : “Larangan itu berlaku pada sholat Jum’at maupun selainnya.” [HR Bukhari].

 

Mengenai status larangan tersebut, Imam Nawawi menjelaskan :

هَذَا النَّهْيُ لِلتَّحْرِيمِ،

“Larangan ini (menyuruh orang lain berpindah tempat) maksudnya adalah haram”. [Al-Minhaj, Syarah Muslim]

Beliau melanjutkan : “Orang yang terlebih dahulu duduk di tempat yang mubah seperti duduk di masjid atau tempat lainnya, pada hari Jum’at atau di hari lainnya, untuk melaksanakan shalat atau untuk aktifitas lainnya; maka ia lebih berhak menempati tempat tersebut dan haram bagi orang lain menyuruhnya pindah dari tempat tersebut berdasarkan hadits ini.” [Al-Minhaj]

Syeikh Ahmad Zainuddin Al-Malibari berkata :  

وَيَحْرُمُ أَنْ يُقِيْمَ أَحَدًا بِغَيْرِ رِضَاهُ لِيَجْلِسَ مَكَانَهُ وَيُكْرَهُ إِيْثَارُ غَيْرِهِ بِمَحَلِّهِ، إِلَّا إِنِ انْتَقَلَ لِمِثْلِهِ أَوْ أَقْرَبَ مِنْهُ إِلَى الْاِمَامِ

“Haram hukumnya bagi seseorang untuk menyuruh orang lain berpindah dari tempat duduknya supaya ia menempati termpat duduk tersebut, tanpa ridlonya. Dan makruh hukumnya mempersilahkan orang lain menempati tempat duduknya kecuali jika bergeser atau berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan imam”. [Fathul Mu’in]

 

Syeikh Syatho memberikan komentar : “Jadi jika seseorang secara suka rela memberikan tempat duduknya kepada orang lain maka tidak makruh bagi orang lain tersebut untuk duduk di tempatnya. Namun boleh hukumnya dan tidak makruh jika ia memberikan tempatnya untuk penghafal Qur’an atau orang alim yang nantinya bisa membantu imam ketika lupa bacaan qur’annya karena hal itu mengandung kemaslahatan umum”. [I’anatut Thalibin] Dan masalah mengedepankan orang alim itu juga sesuai dengan hadits Nabi SAW :

لِيَلِيَنِّي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى

Hendaklah berdiri di dekatku (untuk shalat) di antara kalian, orang-orang yang baligh dan berakal. [HR Tirmidzi]

 

Dalam kasus paspampres di atas, dimana ia ditugaskan untuk duduk di satu tempat yang ditentukan di dalam masjid dan ia berpindah ketika wapres datang maka hal itu tidaklah terlarang. Syeikh Badruddin Al-Ayni berkata :  

فَإِنْ قَدَّمَ صَاحِبًا فَجَلَسَ فِي مَوْضِعٍ حَتَّى إِذَا قَامَ وَأَجْلَسَهُ مَكَانَهُ جَازَ فَعَلَ اِبْنُ سِيْرِينْ ذَلِكَ

Jika seseorang menyuruh temannya lalu ia duduk di satu tempat lalu ketika orang itu datang maka temannya berdiri dan mempersilahkannya duduk di tempatnya maka boleh hukumnya. Hal itu pernah dilakukan oleh Ibnu Sirin. [Umdatul Qari]

 

Dalam lanjutannya, Syeikh Badruddin Al-Ayni menjelaskan bahwa Ibnu Sirin menyuruh budaknya pada hari jum’at (ketika sholat jum’at, untuk berangkat terlebih dahulu ke masjid dan duduk di satu tempat)  dan tatkala Ibnu sirin datang maka sang budak berdiri (dan mempersilahkan Ubnu sirin duduk ditempatnya). [Umdatul Qari]

 

Teknik booking tempat di masjid dengan mengirim orang sebagai kasus paspampres dia atas itu lebih baik daripada titip sajadah ke orang lain yang berangkat terlebih dahulu. Al-Barmawi berkata :

وَيُكْرَهُ بَعْثُ سَجَادَةٍ وَنَحْوِهَا لِمَا فِيْهِ مِنَ التَّحْجِيْرِ مَعَ عَدَمِ إِحْيَاءِ الْبُقْعَةِ

Makruh hukumnya mengirim sajadah dan semisalnya karena hal itu bisa mempersempit tempat dengan tanpa adanya menghidupkan satu tempat dengan ibadah. [I’anatut Thalibin]

 

Dalam lanjutannya dikatakan : Terlebih jika hal itu dilakukan di Raudloh (area antara mimbar dan makam Nabi SAW di masjid Nabawi). Al-Halabi menilai hal itu (sajadah booking di masjid secara umum) haram hukumnya, demikian pula menurut Imam Ramli As-Shaghir. Dan Ali Syibramalisi berpendapat inilah pendapat yang mu’tamad. [I’anatut Thalibin]

 

Jika kita pergi ke shaf depan misalnya lalu kita menemukan ada tempat kosong namun disitu di pasang sajadah sebagaimana kasus di atas maka kita boleh menempati tempat itu dengan catatan sebagai berikut : Syeikh Ahmad Zainuddin Al-Malibari berkata :  

وَلَهُ تَنْحِيَةُ سَجَادَةِ غَيْرِهِ - بِنَحْوِ رِجْلِهِ - وَالصَّلَاةُ فِي مَحَلِّهَا، وَلَا يَرْفَعُهَا - وَلَوْ بِغَيْرِ يَدِهِ - لِدُخُوْلِهَا فِي ضَمَانِهِ

Boleh bagi seseorang menyingkirkan sajadah orang lain  atau semacamnya (dalam kasus booking tempat shalat) dengan pakai kaki misalnya, dan melaksanakan sholat di tempat tersebut namun (ketika menyingkirkan sajadah) jangan sampai ia mengangkat sajadah itu meskipun dengan pakai selain  tangan, karena (jika terangkat) akan menyebabkan sajadah tersebut berada dalam tanggungannya (ketika hilang nantinya)”. [Fathul Mu’in]

Jadi ketika kita mau menempati tempat kosong yang dihampari sajadah maka kita harus menyingkirkan terlebih dahulu sajadah itu. Jika tidak, maka itu terbilang ghasab. Syeikh Syatho berkata :  

فَلَوْ صَلَّى عَلَيْهَا حَرُمَ بِغَيْرِ رِضَا صَاحِبِهَا

Jika ia langsung shalat di atas sajadah (milik orang lain) maka haram hukumnya tanpa ridlo dari pemiliknya. [I’anatut Thalibin]

 

Tidak hanya untuk diri sendiri, menyingkirkan sajadah “booking” itu juga boleh dilakukan untuk orang lain. Syeikh Syatho berkata :  “Diperbolehkan bagi seseorang untuk menyingkirkan sajadah di tempat kosong supaya ditempati orang lain, hal ini dikarenakan pemiliknya telah berbuat sembrono dengan memasang sajadah tetapi orangnya tidak hadir”. [I’anatut Thalibin]

 

Yang menjadi catatan adalah sajadah yang boleh disingkirkan adalah sajadah booking. Hal ini berbeda dengan sajadah yang ditinggalkan pemiliknya sementara karena satu keperluan seperti untuk menaruh mushaf atau berwudlu. Rasul SAW bersabda :

مَنْ قَامَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

“Barang siapa berdiri (meninggalkan) dari tempat duduknya kemudian dia kembali (ke tempat itu) maka ia lebih berhak dengan tempat tersebut.” [HR Muslim]

 

Imam Nawawi berkata : Jika tempat yang ditinggal sementara tadi (dengan menaruh sajadah atau tidak) ditempati oleh orang lain maka pemilik sajadah boleh memintanya untuk pindah dan orang lain tersebut wajib hukumnya berpindah karena dasar hadits ini. [Al-Minhaj]

 

Wallahu A’lam Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk tidak mendhalimi orang lain bahkan untuk kepentingan shalat di masjid.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

Sunday, December 15, 2024

WISATA RELIGI DILARANG?

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda :

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Rasul SAW (Madinah) dan Masjidil Aqsha. [HR Bukhari]

 

Catatan Alvers

 

Ketika momen libur panjang, banyak masyarakat menggunakan kesempatan tersebut untuk rekreasi bahkan banyak diantaranya berwisata religi dengan mengunjungi masjid istiqlal, masjid Agung surabaya atau masjid lainnya disamping berziarah ke kubur wali lima hingga wali songo. Tradisi seperti ini seudah berlangsung lama, namun akhir-akhir ini banyak beredar larangan mengadakan wisata religi semacam itu dalam web maupun youtube.

 

Dalam uraiannya, mereka mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga masjid. Hadits ini (hadits utama diatas) menunjukkan akan haramnya  promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi ke  selain tiga masjid, seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam  berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. [almanhaj or id] dan di situs lain dikatakan : “Bahkan seandainya ada yang bersafar semata-mata untuk ke masjid Quba’, itu tidak boleh”. Dan “niatan untuk mengunjungi semata-mata pada kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah disyari’atkan, tidak pula diperintahkan.” [rumaysho com]

 

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan hadits utama di atas bahwa sebagian Ulama Ahli Tahqiq berkata : Perkataan “Kecuali pada tiga masjid” itu terdapat (Lafad yang menjadi) Mustasna minhu yang dibuang. Jika lafadz tersebut dikira-kirakan dengan lafadz yang umum (Fi Ayyi Amrin Kana) maka arti hadits tersebut adalah

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke tempat manapun dengan tujuan apapaun - kecuali ke tiga masjid.”

Dan pemaknaan ini tentunya tidak dimungkinkan karena akan menimbulkan larangan mengadakan perjalanan ke satu tempat untuk berdagang, silaturahim, belajar dan lain sebagainya. Maka tidak ada pilihan lain kecuali pilihan kedua yaitu mengira-ngirakan lafadz yang paling sesuai dengan konteksnya sehingga hadits tersebut bermakna :

لَا تُشَدّ اَلرِّحَال (إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ) إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ

“Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan - ke satu masjid dengan tujuan melakukan shalat di sana - kecuali ke tiga masjid.” [Fathul Bari]

 

Pilihan ke dua di atas selaras dengan redaksi hadits lain yang serupa yaitu hadits dari Abu Said Al-Khudri suatu ketika ia mendengarkan perkataan orang shalat di Thur (Gunung Thursina) Maka ia, Abu Said Al-Khudri berkata : Nabi SAW bersabda :

لَا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلَاةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا

Tidak seyogyanya pengendara melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat di sana, selain Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku (nabawi). [HR Ahmad]

 

Maka dengan demikian boleh hukumnya kita pergi ke mana saja karena hadits di atas  lebih menjelaskan kepada keistimewaan tiga masjid tersebut yang tidak dimiliki oleh masjid selainnya sebagaimana dinyatakan dalam hadits :

صَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مِائَةُ أَلْفِ صَلَاةٍ وَصَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلَاةٍ وَفِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُمِائَةِ صَلَاةٍ

Satu kali shalat di Masjidil haram (bernilai lebih baik dari) seratus ribu shalat,

Satu kali shalat di masjidku (Nabawi) (bernilai lebih baik dari) seribu kali shalat

Dan satu kali shalat di Baitil Maqdis (Masjidil Aqsha, bernilai lebih baik dari) lima ratus kali shalat. [HR Baihaqi]

 

Jadi dipahami dari hadits bahwa percuma saja jika kita jauh-jauh pergi ke satu masjid, misalnya masjid istiqlal di jakarta atau masjid biru di turki untuk melakukan shalat di sana padahal pahalanya sama saja dengan shalat di masjid terdekat dengan rumah kita. Berbeda halnya kita datang kesana untuk satu keperluan rihlah lalu kita shalat di sana.

 

Selaras dengan hal ini, Imam An-Nawawi berkata : “Di dalam hadits ini terdapat dalil akan keutamaan tiga masjid (tersebut) serta keutamaan bepergian jauh dalam rangka ibadah di sana karena maknanya menurut jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) adalah :

لَا فَضِيلَةَ فِي شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى مَسْجِدِ غَيْرِهَا

“Tidak ada keutamaan dalam berpergian jauh ke selain masjid yang tiga tersebut”. [Syarh Shahih Muslim]

 

Imam Nawawi menolak pendapat dengan tegas pendapat yang berseberangan dengan pengertian tersebut. Imam Nawawi berkata :

وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ اَلْجُوَيْنِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا : يَحْرُمُ شَدُّ الرِّحَالِ إِلَى غَيْرِهَا وَهُوَ غَلَطٌ

“Syaikh Abu Muhammad Al-Juwaini dari sahabat kami berkata : Haram hukumnya bepergian ke selain tiga masjid tadi, dan pendapat tersebut adalah satu kesalahan.” [Syarh Shahih Muslim]

 

Adapun wisata religi dengan berziarah ke makam para wali maka juga diperbolehkan karena ziarah kubur snediri juga dilakukan oleh para sahabat. Diriwayatkan dari Abdullah bin abi mulaikah, ia berkata : satu ketika Aisyah pulang dari ziarah kubur, maka aku bertanya : Wahai ummal Mu’minin, dari manakah engkau datang? Aisyah menjawab: Dari (ziarah) kubur saudaraku, Abdur rahman. Aku bertanya lagi : Bukankah Rasul SAW melarang ziarah kubur? Ia menjawab:

نَعَمْ كَانَ نَهَى ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

Iya, Dulu Nabi melarang, lalu Nabi memerintahkan ziarah kubur. [HR Hakim]

 

Dan dalam lanjutan keterangan Al-Asqalani di atas, Ulama Ahli tahqiq menyimpulkan dengan berkata :

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ اَلصَّالِحِينَ

Dengan demikian menjadi tertolak pendapat orang yang (menggunakan hadits utama di atas untuk) melarang mengadakan perjalanan untuk ziarah kubur yang Mulia (Nabi SAW) dan kuburan lain seperti kuburan para shalihin. [Fathul Bari]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka fikiran kita untuk memahami hadits dengan pemahaman para ulama yang terkemuka sehingga kita tidak salah dalam mengamalkan hadits dalam kehidupan sehari-hari.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]

 

Saturday, December 14, 2024

JALAN-JALAN

 

ONE DAY ONE HADITH

 

Diriwayatkan dari Abu Umamah RA, Rasul SAW bersabda :

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]

 

Catatan Alvers

 

Momen akhir tahun seperti sekarang ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang dengan jalan-jalan. Berbicara mengenai jalan-jalan, ternyata banyak sekali macamnya. Orang-orang terdahulu mengadakan perjalanan jauh dengan tujuan ibadah menurut kepercayaan mereka seperti mengembara untuk mencari kitab suci seperti yang ditayangkan di film-film atau mereka yang menganggap bahwa perjalanan itu bisa menjadi sarana untuk mengekang nafsu dan meletihkan raga sebagai wujud zuhud (menjauhi) terhadap urusan duniawi sebagaimana dilakukan oleh para pertapa.

 

Perjalanan yang demikian tidaklah di syariatkan dalam agama islam. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya mana yang lebih disukai antara seseorang yang berkelana (mengadakan perjalanan jauh dengan pengertian di atas) ataukah orang yang menetap di daerahnya? Beliau menjawab :

مَا السِّيَاحَةُ مِنَ الْإِسْلَامِ فِي شَيْءٍ ، وَلَا مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّيِنَ وَلَا الصَّالِحِيْنَ

Perjalanan (seperti di atas) sama sekali bukan ajaran Islam dan tidak pernah dilakukan oleh para Nabi dan Orang-orang shalih. [Talbisu Iblis]

 

Ibnu Rajab Al-Hambaly berkata : Perjalanan (yang demikian) itu dilakukan oleh golongan yang ahli ibadah dengan kesungguhan namun tidak disertai ilmu (syariat). Di antara mereka ada yang berhenti dari hal tersebut ketika sudah mengetahui syariatnya. [Fathul Bari Libni Rajab]

 

Suatu ketika ada seseorang yang menghadap Nabi SAW meminta ijin untuk mengadakan perjalanan (mengembara seperti pengertian di atas), maka Nabi SAW melarangnya dan bersabda :

إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

“Sesungguhnya perjalanan ummatku adalah jihad di jalan Allah Ta’ala.” [HR Abu Dawud]

 

Dalam Islam, perjalanan yang disyariatkan berkenaan dengan ibadah adalah perjalanan ke tanah suci mekkah untuk menunaikan rukun islam yang ke lima yaitu ibadah haji dan umrah. Perjalanan juga dianjurkan jika bertujuan untuk menuntut ilmu. Dahulu, para ulama mengadakan perjalanan jauh untuk mencari hadits. Jabir bin Abdillah RA berkata :

بَلَغَنِي عَنْ رَجُلٍ حَدِيْثٌ سَمِعَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاشْتَرَيْتُ بَعِيْرًا ثُمَّ شَدَدْتُ رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا

“Pernah aku mendengar ada hadits yang dimiliki oleh seseorang yang didengar langsung dari Nabi SAW, lalu aku membeli unta (kendaraan) kemudian aku mengadakan perjalanan menuju alamatnya selama satu bulan”. [Fathul Bari]

 

Selaras dengan hal ini, kata “As-Sa’ihun” [QS At-Taubah : 112] menurut satu pendapat (Ikrimah) adalah :

هُمْ طَلَبَةُ الْعِلْمِ يَسِيْحُوْنَ فِي الْأَرْضِ يَطْلُبُوْنَهُ فِي مَظَانِّهِ

(orang-orang yang mengadakan perjalanan) mereka adalah para penuntut ilmu, mereka mengadakan perjalanan di atas bumi untuk mencari ilmu di tempat dimana ilmu itu berada. [Tafsir Al-Kassyaf]

Mengadakan perjalanan yang juga dianjurkan adalah dalam rangka dakwah, mengajarakan syariat islam dan mengajak masyarakatnya masuk islam serta mengamalkan ajaran Islam sebagaimana hal tersebut adalah tugas para rasul terdahulu dan diteruskan oleh para sahabat lalu generasi setelahnya, hingga para wali seperti yang terkenal yaitu wali songo yang menyebarkan islam di bumi nusantara ini.

Lantas bagaimana dengan perjalanan dengan tujuan jalan-jalan, rekreasi atau wisata sebagaimana dipahami sekarang ini? “Siyahah” pada masa kini dimaknai sebagai :

التَّنَقُّلُ مِنْ بَلَدٍ إلى آخَرَ لِقَصْدِ الرَّاحَةِ والتَّنَزُّهِ وَحُبِّ الاسْتِطْلاعِ

adalah berpindah (perjalanan) dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan mencari ketenangan atau rekreasi atau kesenangan dengan melihat-lihat (pemandangan dll.) [Qamus Al-Ma’any]

 

Sedangkan “Tanazzuh” atau rekreasi dimaknai sebagai :

رُؤْيَةُ مَا تَنْبَسِطُ بِهِ النَّفْسُ لِإِزَالَةِ هُمُوْمِ الدُّنْيَا

Melihat sesuatu (pemandangan dll.) yang dapat melapangkan hati untuk menghilangkan kesumpekan urusan duniawi. [Al-Jamal]

Kedua kata ini saling berkaitan karena “Siyahah” itu adalah perjalanannya sedangkan “tanazzuh” merupakan salah satu tujuannya.

 

Ketika ulama fiqih membahas Shalat Jamak Qashar maka mereka menetapkan syarat diantaranya adalah “Safar Mubah” (perjalanan yang diperbolehkan, yakni bukan karena maksiat) dan “Gharad Shahih” (tujuan yang benar, seperti berkunjung atau silaturahim, berdagang atau berhaji). Maka perjalanan yang tidak termasuk kategori “Gharad Shahih” itu tidak diperbolehkan qashar. Contohnya sebagaimana disebutkan :

وَلَا لِمَنْ سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ

Tidaklah (diperbolehkan shalat dengan cara qashar) bagi musafir yang bertujuan hanya melihat-lihat satu negara atau daerah. [I’anatut Thalibin]

 

Dari keterangan ini dipahami  bahwa orang yang ber-rekreasi tidak boleh menjalankan shalat dengan cara qashar karena wisata atau rekreasi termasuk perjalanan yang boleh namun tidak dianggap sebagai tujuan yang benar. Namun pemahaman ini diluruskan oleh Ibnu Hajar. Beliau membedakan diantara keduanya; rekreasi vs hanya melihat-lihat satu tempat. Beliau berkata : “Rekreasi itu termasuk kategori tujuan yang benar, karena biasanya rekreasi bertujuan untuk pengobatan (relaksasi, memenangkan pikiran), menghilangkan kesumpekan dan motivasi.  Berbeda dengan hanya sekedar melihat satu daerah tanpa ada tujuan seperti di atas, seperti hanya ingin melihat-lihat bangunannya, berasal dari material apa, dan bagaimana bentuk bangunannya besar atau kecil, dan lain sebagainya. Ini lebih menyerupai “Abats” (perbuatan yang sia-sia). Maka dari itu, perjalanan untuk rekreasi boleh qashar sementara perjalanan yang hanya untuk melihat-lihat satu daerah maka tidak boleh mengqashar”. [Al-fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra]

 

Maka lebih baik lagi jika wisata atau jalan-jalan juga diniati untuk merenungi keindahan ciptaan Allah SWT, menikmati indahnya alam nan agung sebagai sarana memperkuat keimanan. Allah SWT berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  

 

Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan Makhluk dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. [QS Al-Ankabut : 20]

 

Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari membuka hati dan fikiran kita untuk melihat makhluknya sebagai ciptaan-Nya yang agung sehingga kita bertambah iman kepada Allah sang pencipta yang maha agung.

 

Salam Satu Hadits

Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag

 

Pondok Pesantren Wisata

AN-NUR 2 Malang Jatim

Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata

Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!

 

 NB.

“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]