ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan dari Anas Bin Malik RA, Rasul SAW bersabda :
وَإِذَا قَالَ
سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
Jika Imam membaca “Samiallahu Liman Hamidah” maka ucapkanlah “Rabbana Walakal
Hamd”. [HR Muslim]
Catatan Alvers
Abu bakar As-Shiddiq RA merupakan sahabat yang rajin shalat
berjamaah bersama dengan Rasul SAW. Ia tidak pernah telat untuk shalat
dibelakang Nabi SAW hingga satu ketika ia menyangka telat tertinggal shalat
Ashar berjamaah bersama Nabi SAW. Dengan tergesa-gesa dan dengan raut muka sedih,
ia berjalan menuju masjid. Di luar dugaan ternyata ia masih menemui shalat Rasul
SAW yang mana saat itu beliau sedang bertakbir untuk menuju rukuk. Diapun
bersyukur memuji Allah akan hal ini dengan mengucap “Alhamdulillah” dan segera
ia bertakbir memulai shalat di barisan makmum. Dan di saat Nabi SAW masih dalam
keadaan rukuk, Malaikat Jibril turun dan berkata :
يَا مُحَمَّدُ، سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ
“Wahai Muhammad, Semoga Allah mendengarkan orang yang
memuji-Nya”.
Dan dalam riwayat yang lain, Nabi SAW bersabda :
اِجْعَلُوْهَا
فِي صَلَاتِكُمْ
Jadikanlah ia (Samiallahu Liman Hamidah) dalam shalat
kalian.
Maka lafadz tersebut diucapkan saat bangun dari rukuk. Sebelumnya,
ketika hendak rukuk dan bangun dari rukuk Rasul SAW membaca takbir. Namun sejak
saat itu kata “Samiallahu Liman Hamidah” menjadi sunnah berkahnya Abu Bakar RA.
[I’anatut Thalibin]
Jadi bermula dari “Alhamdulillah” yang dikatakan oleh Abu
bakar lalu doa malaikat Jibril yaitu “Samiallahu Liman Hamidah” lalu berlanjut
kepada dzikir setelahnya. Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi
berkata: “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi SAW. Ketika mengangkat
kepalanya dari ruku beliau mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah” (Semoga
Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya). Kemudian ada seorang laki-laki
yang berada di belakang beliau membaca :
رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
(Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala
pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah).
Setelah selesai shalat, beliau bertanya:
‘Siapa orang yang membaca kalimat tadi?’ Orang itu menjawab, ‘Saya.’ (tidak
lain adalah Rifa’ah sendiri) Beliau bersabda :
رَأَيْتُ بِضْعَةً
وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
Aku melihat lebih dari 30 Malaikat,
berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu mencatat (kebaikan dari)
kalimat tersebut.” [HR Bukhari]
Lagi-lagi hal ini kemudian menjadi bacaan yang ditetapkan
oleh Nabi SAW sebagaimana dalam hadits utama di atas Rasul SAW bersabda : “Jika Imam membaca “Samiallahu Liman Hamidah”
maka ucapkanlah “Rabbana Walakal Hamd”. [HR
Muslim]
Kapan At-Tasmi’ (Bacaan “Samiallahu Liman Hamidah”) itu dibaca? Ibnu
Hajar Al-Asqalany berkata : menurut dzahirnya teks hadits di atas, tasmi’ itu
dibaca setelah seseorang mengangkat kepala dari posisi ruku’ sehingga tasmi’
merupakan dzikirnya i’tidal, namun dalam redaksi hadits Abu Hurairah dan lainnya
disebut bahwa tasmi’ adalah dzikir intiqal (perpindahan). Maka dengan menggabungkan
kedua hadits yang nampaknya kontradiktif tersebut dipahami bahwa maksud dari
perkataan “Ketika ia mengangkat kepala” maksudnya adalah ketika mulai bergegas
mengangkat kepala maka ia memulai membaca tasmi’ dan menyempurnakan hingga posisi
i’tidal. [Fathul Bari]
Bagaimana cara membaca tasmi’? Al-Khatib As-Syarbiny
berkata : “Imam membaca tasmi’ dengan suara keras dan membaca bacaan ‘Rabbana’ dengan
suara pelan, sedang bagi selain imam (makmum, orang yang shalat sendirian) membaca
dengan suara lirih keduanya. Muballigh (penyampai suara imam) membaca dengan
keras bacaan yang dikeraskan oleh imam dan membaca dengan lirih bacaan yang dilirihkan
oleh imam sebagaimana keterangan kitab al-Majmu’ karena kedudukan muballigh sebagai
pemindah bacaan dari imam”. [Al-Iqna’].
Ada catatan Ibnu Hajar yang menarik mengenai hadits tasmi’
di atas. Pertama, Malaikat yang berebut untuk mencatat pahala tasmi’ tersebut
bukanlah malaikat hafadzah (pencatat amalan) melainkan malaikat yang bertugas
mencari ahli dzikir. Hal ini sebagaimana dalam hadits disebutkan :
إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً
يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ
”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki
malaikat-malaikat yang berkelana di jalan-jalan mencari Ahli Dzikir. [HR Bukhari].
Dalam lanjutannya disebutkan : “Jika mereka telah menemukan
sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling mengajak : “Kemarilah,
ini dia yang kalian cari”. Maka para malaikat itu mengelilingi orang-orang yang
berdzikir dengan sayap mereka (dan bertumpuk-tumpuk) hingga sampai ke langit
dunia. [HR Bukhari].
Kedua, bahwa jumlah malaikat yang berebut untuk mencatat
itu berjumlah 30 lebih (bidl’un). Jadi jumlah mereka antara 31-39 malaikat. Sedangkan
jumlah huruf dari “Rabbana Walakal Hamd dst” adalah 33 Huruf. Jadi terdapat
kesesuaian antara jumlah malaikat dan jumlah hurufnya. [Fathul Bari]
Ketiga, hadits tersebut menjadi dalil bolehnya membaca dzikir
baru yang tidak diajarkan Rasul SAW di dalam shalat selama tidak bertentangan
dengan yang ma’tsur (diajarkan Rasul SAW). Keempat, diperbolehkan mengeraskan
suara dzikir selama tidak mengganggu orang yang bersamanya. [Fathul Bari]
Dalam riwayat lain, doa di atas dilatar belakangi
kejadian bersin. Suatu ketika Rifa’ah shalat berjamaah di belakang Rasul SAW. Lalu
ia bersin dan membaca :
الْحَمْدُ
لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ كَمَا يُحِبُّ
رَبُّنَا وَيَرْضَى
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang
banyak, lagi baik dan penuh berkah sebagaimana Allah senang dan ridla terhadapnya”.
Dan di akhir hadits, Nabi SAW bersabda : “Demi Allah,
Terdapat lebih dari 30 Malaikat, berebut siapa
di antara mereka yang lebih dahulu membawa kalimat tersebut ke atas (langit).” [HR
Turmudzi]
Lantas bagaimana dengan hukum membaca
hamdalah bagi orang yang bersin? Ibnu Hajar Al-Haytami
berkata :
وَيُسَنُّ
لِمُصَلٍّ عَطسَ ... أَنْ يَحْمَدَ بِحَيْثُ يُسْمِعُ نَفْسَهُ
Sunnah bagi orang yang bersin ketika shalat
agar ia membaca hamdalah dengan volume suara sekedar ia bisa mendengarkan ucapannya
sendiri. [Tuhfatul Muhtaj]
Adapun bagi orang shalat yang lain, maka
dia tetap dianjurkan mendoakannya seperti di luar shalat? Namun dengan redaksi
do’a seperti Rahimahullah, Yarhamuhullah (semoga Allah merahmatinya) dan bukan
dengan redaksi pembicaraan manusia seperti “Yarhamukallah” (semoga Allah
merahmatimu, karena hal ini dapat membatalkan shalatnya). [Tuhfatul Muhtaj] Dan
jika hal itu dilakukan di saat tengah membaca surat Al-fatihah maka bacaan
fatihah tersebut harus diulang dari awal karena bacaan fatihahnya dinilai terputus.
[Bughyatul Mustarsyidin]
Wallahu A’lam. Semoga Allah Al-Bari membuka fikiran kita
untuk senantiasa menambah ilmu setiap hari sehingga hari-hari sepanjang hidup kita
menjadi berkah.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu Anni Walau Ayah” Silahkan Share
sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada. Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata :
_Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus setelah ia wafat maka
sebarkanlah ilmu._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]
0 komentar:
Post a Comment