ONE DAY ONE HADITH
Diriwatakan dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah
SAW bersabda :
لَيْسَ
الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
“Mukmin yang sempurna bukanlah orang yang
banyak mencela, bukan pula orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang berkata-kata
kotor dan bukan pula jorok perkataannya.” [HR Tirmidzi]
Catatan Alvers
“Ya ayyuhalladzina amanu” (Wahai orang-orang
yang beriman). Kalimat yang merupakan seruan kepada orang yang beriman ini seringkali
kita temukan di dalam Al-Qur’an. Bagaiamana tidak, kalimat ini disebutkan dalam
Al-Qur'an sebanyak 89 kali. Dalam hadits utama di atas, Lafadz “Laysal Mu’min”
Orang mukmin itu bukanlah... kata mukmin disini dimaknai sebagai “Al-Mu’min
Al-Kamil” orang mukmin yang sempurna. [Tuhfatul Ahwadzi]
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa orang
mukmin yang sempurna adalah mereka yang
tidak memiliki sifat-sifat berikut. (1) Tha’an. Merupakan sighat mubalaghah
(bentuk superlatif) dari kata “Tha’in”. Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa Ia
berarti “Ayyaban Linnas” orang yang banyak menyebarkan aib orang lain, banyak
mencela atau tukang gosip. [Tuhfatul Ahwadzi]
Kata Tha’an tersebut merupakan derivasi dari
kata “ta’n” yang bermakna menusuk (dengan benda tajam). Ibnul Araby berkata :
وَإِنَّمَا
سَمَّاهُ طَعْنًا لِأَنَّ سِهَامَ الْكَلاَمِ كَسِهَامِ النِّصَالِ حِسًّا
وَجُرْحَ اللِّسَانِ كَجُرْحِ الْيَدِ
Rasul SAW menyebut perilaku mencela orang
lain dengan sebutan menusuk (dengan pisau) karena anak panah berupa perkataan
itu layaknya anak panah sesungguhnya, dan melukai orang dengan mulut itu
seperti melukai dengan tangan. [Faidlul Qadir]
Mencela orang lain tidak hanya pertanda iman
tidak sempurna namun juga pertanda kurang warasnya akal. Hal ini dipahami
secara kebalikan (mafhum Mukhalafah) dari perkataan Imam Al-Haddad :
أَدَلُّ
دَلِيْلٍ عَلَى كَمَالِ عَقْلِ الرَّجُلِ ثَنَاؤُهُ عَلَى أَقْرَانِهِ
Tanda utama yang menunjukkan kesempurnaan
akal seseorang adalah pujiannya kepada teman-temannya. [Al-Hikam]
Dengan demikian diketahui bahwa pekerjaan
orang beriman itu tidak cukup shalat, puasa dan ibadah yang lainnya namun juga
harus menjauhi perkataan atau perbuatan yang bisa menyakiti orang lain. Imam
Bukhari meriwayatkan bahwa ada seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya fulanah (seorang wanita) rajin mendirikan shalat malam, gemar
puasa di siang hari, mengerjakan (kebaikan) dan bersedekah namun ia menyakiti
tetangganya dengan ucapannya. (Maka bagaimanakah statusnya dia?)”
Rasulullah SAW menjawab :
لَا خَيْرَ
فِيهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk
penghuni neraka.”
Dan ada yang bertanya lagi: “Fulanah (wanita
lainnya) mengerjakan shalat wajib, dan bersedekah dengan beberapa kerat keju
(sedikit), tapi dia tidak menyakiti seorang pun.”
Rasulullah SAW menjawab :
هِيَ مِنْ أَهْلِ
الْجَنَّةِ
“Dia adalah penghuni surga. [Adabul Mufrad]
(2) La’an. Merupakan sighat mubalaghah
(bentuk superlatif) dari kata “La’in” yang merupakan derivasi dari kata
“la’nah” atau diadaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi “laknat” yang secara
bahasa berarti menjauhkan atau mengusir. Maka laknat itu berarti mendoakan
orang lain agar dijauhkan dari rahmat Allah, atau mendoakan orang lain masuk
neraka.
Syeikh Badruddin Al-Ayni berkata : melaknat seseorang secara personal
hukumnya adalah haram menurut kesepakatan ulama dan Imam Nawawi menggolongkan
perbuatan melaknat sebagai dosa besar. Maka tidak diperbolehkan melaknat
seseorang secara personal, baik muslim, kafir bahkan binatang. Melaknat yang
diperbolehkan adalah melaknat orang yang diketahui dari syariat bahwa ia telah
mati atau akan mati dalam keadaan kufur seperti abu Jahal dan Iblis. Melaknat
satu golongan yang memiliki sifat buruk (bukan personal) seperti penyambung
rambut, pemakan riba adalah diperbolehkan. [Umdatul Qari]
Baginda Rasul SAW bersabda :
لَعْنُ
الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ
Melaknat orang mukmin itu (dosanya) seperti
membunuhnya. [HR Ahmad]
(3) Fahisy. Al-Mubarakfuri menjelaskan yang dimaksud dengan
“Fahisy” :
الَّذِي
يَتَكَلَّمُ بِمَا يُكْرَهُ سَمَاعُهُ أَوْ مَنْ يُرْسِلُ لِسَانَهُ بِمَا لَا
يَنْبَغِي
Orang yang berbicara dengan sesuatu yang
tidak enak didengar atau orang yang mengumbar lisannya dengan mengatakan
sesuatu yang tidak pantas. [Tuhfatul Ahwadzi]
Kata “Fahisy”
merupakan derivasi dari kata “Fuhsy” dengan bentuk plural “Fahsya’” dan
didefinisikan oleh Al-Qurtubi sebagai :
وَهُوَ كُلُّ
قَبِيْحٍ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
Setiap perkara yang jelek, berupa perkataan
atau perbuatan. [Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an]
Suatu ketika ada serombongan orang-orang
Yahudi menemui Rasulullah SAW, lalu mereka mengucapkan: Assaamu 'alaika (Semoga
kematian bagimu) wahai Abal Qasim." Nabi SAW menjawab; 'Wa Alaikum.
(semoga bagimu juga)' 'Aisyah menjawab; 'Bal 'alaikumus saam wal la'nah (Bagi
kalianlah kematian dan laknat).' Maka Rasulullah SAW bersabda ;
لَا تَكُونِي
فَاحِشَةً
Wahai 'Aisyah! Janganlah kau menjadi
“Fahisyah” (wanita yang mengucapkan perkataan yang jelek).'
'Aisyah menjawab; 'Tidakkah Anda mendengar
ucapan mereka? ' Jawab beliau: 'Bukankah aku telah membalas atas apa yang
mereka ucapkan, aku telah katakan kepada mereka; Wa Alaikum. [HR Muslim]
Dan Beliau bersabda :
اَلْجَنَّةُ
حَرَامٌ عَلَى كُلِّ فَاحِشٍ أَنْ يَدْخُلَهَا
Surga itu haram dimasuki oleh setiap orang
yang berkata-kata kotor. [HR Ibnu Abid Dunya]
Dan Ibrahim bin Maysarah berkata : Dikatakan
bahwa orang yang berkata-kata kotor lagi sengaja untuk berkata-kata kotor, ia
pada hari kiamat akan dibangkitkan dalam bentuk berupa anjing atau di dalam
perut anjing. [Ihya Ulumuddin]
(4)
Badzi’. Al-Mubarakfuri mendifinisikannya dengan :
المُتَكَلِّمُ
بِالْفُحْشِ وَرَدِئُ الْكَلَامِ
Orang yang berkata-kata jorok dan yang jelek
perkataannya. [Tuhfatul Ahwadzi]
Menurut Ibnul Araby, yang dimaksud dengan
Badzi’ adalah :
الْفَاحِشُ فِي
مَنْطِقِهِ وَإِنْ كَانَ الْكَلَامُ صِدْقًا
Orang yang jorok perkatannya meskipun
perkataannya jujur. [Faidlul Qadir]
Kata Al-Fahisy dan Al-Badzi’, keduanya
memiliki kemiripan makna karena keduanya merujuk kepada hal yang jelek dan kotor.
Supaya tidak tumpang tindah maka kata yang pertama yakni Al-Fahisy dikhususkan
kepada perbuatan sementara kata yang kedua yakni Al-Badzi’ dikhususkan kepada
ucapan. Atau boleh juga kata pertama dimaknai dengan makna yang umum (perbuatan
dan perkataan) sementara kata kedua adalah khusus (perkataan) untuk memberi
tambahan penekanan. [Tuhfatul Ahwadzi]
Makna yang berbeda dikatakan oleh Al-Qari :
اَلْبَذِيءُ هُوَ الَّذِي لَا حَيَاءَ لَهُ
Badzi’ adalah orang yang tak punya rasa malu
[Tuhfatul Ahwadzi]
Meskipun dibedakan namun Fahisy dan Badzi’ keduanya sama-sama
dibenci oleh Allah SWT. Rasul SAW bersabda :
وَإِنَّ اللَّهَ
لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ
Sesunguhnya Allah membenci orang yang
berkata-kata kotor lagi jorok perkataannya. [HR Tirmidzi]
Ada sesuatu yang mengganjal yaitu kenapa
kedua sifat pertama (1 dan 2) disebutkan dalam bentuk superlatif sementara sifat
berikutnya (3 dan 4) tidak demikian ? Al-Mubarakfuri berkata :
لِأَنَّ الْكَامِلَ قَلَّ أَنْ يَخْلُوَ
عَنِ الْمَنْقَصَةِ بِالْكُلِّيَّةِ
Karena hanya sedikit saja dari orang yang
sempurna imannya yang tidak memiliki kekurangan sama sekali (dalam sifat 1 dan
2). [Tuhfatul Ahwadzi]
Wallahu A’lam. Semoga Allah al-Bari
membuka hati dan fikiran kita untuk menghindari sifat-sifat negatif yang
menyebabkan iman kita menjadi tidak sempurna.
Salam Satu Hadits
Dr.H.Fathul Bari.,SS.,M.Ag
Pondok Pesantren Wisata
AN-NUR 2 Malang Jatim
Ngaji dan Belajar Berasa di tempat
Wisata
Ayo Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.