ONE DAY ONE HADITH
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah RA, Rasul SAW bersabda:
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa yang lamban
amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” [HR Muslim]
Catatan
Alvers
Nasab merupakan suatu
kelebihan yang banyak dicari orang sehingga ia menjadi salah satu faktor yang
dipertimbangkan dalam mencari pasangan. Tidak hanya sekarang, tapi sejak dulu
kala sehingga Rasul SAW sejak 14 abad silam bersabda : Li maliha (karena
hartanya), Li hasabiha (karena nasabnya), Li jamaliha (karena parasnya), dan Li
diniha (karena agamanya). [HR Bukhari]
Nasab atau keturunan yang
dimaksud di sini adalah nasab yang mulia. Menjelaskan hal ini, Imam Ghazali
berkata :
وَشَرَفُ
النَّسَبِ مِنْ ثَلَاثِ جِهَاتٍ جِهَةِ النُّبُوَّةِ وَجِهَةِ الْعِلْمِ وَجِهَةِ
الصَّلَاحِ الْمَشْهُورِ وَلَا عِبْرَةَ بِالْاِنْتِسَابِ إِلَى عُظَمَاءِ
الدُّنْيَا وَالظَّلَمَةِ
Kemuliaan nasab itu ditinjau
dari 3 sisi. Pertama, sisi nasab kenabian (Nasab sampai kepada Rasulullah SAW).
Kedua, Sisi Keilmuan (nasab kepada para ulama). Ketiga, Sisi ke-shalihan yang
masyhur (nasab kepada orang-orang shalih yang terkenal). Adapun Nasab kepada para pembesar dunia dan
para penguasa yang dhalim maka itu tidak diakui (meskipun sering kali dibanggakan).
[Asnal Mathalib]
Banyak orang mencari nasab karena
nasab diyakini bisa memperbaiki nasib. Nasab bisa mendatangkan hal-hal positif sebagaimana
sabda Rasul SAW :
تَعَلَّمُوا
مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ
مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
"Pelajarilah nasab
kalian, sesuatu yang dapat membantu kalian untuk menyambung tali persaudaraan.
Karena menyambung persaudaraan dapat menambah kasih sayang dalam keluarga,
menambah harta dan dapat menambah usia. [HR Turmudzi]
Nasab mulia merupakan satu
kehormatan sehingga karenanya seseorang bisa terhindar dari kejelekan orang
lain. Hal ini sebagaimana dialami oleh Nabi Syu’aib AS. Kaumnya berkata :
وَلَوْلَا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ
“... Kalaulah bukan karena (kemuliaan)
keluarga besarmu tentulah kami telah melempari-mu dengan batu, dan kau bukanlah
orang mulia di hadapan kami." [QS Hud : 91]
Namun demikian, Rasul melarang
kita untuk membangga-banggakan nasab. Beliau bersabda :
إِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا
بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ
بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ
Sungguh Allah telah
menghilangkan kesombongan dan kebanggaan Jahiliyah terhadap nenek moyang.
Sungguh seseorang itu ada yang beriman dan bertakwa, dan ada yang berdosa dan
celaka. Mereka semua adalah sama-sama keturunan Adam dan Adam diciptakan dari
tanah.” [HR Tirmidzi].
Al-Khatthabi menjelaskan :
“Manusia itu terdiri dari 2 golongan. (1) Golongan orang yang beriman dan
bertakwa maka ia adalah golongan terbaik dan utama meskipun ia tidak memiliki
nasab mulia dalam kaumnya dan (2) golongan pendosa dan celaka maka ia adalah
golongan yang hina meskipun ia memiliki nasab yang mulia dan tinggi. [Aunul
Ma’bud]
Dan Rasul SAW telah memberikan
teladan. Beliau adalah pemilik nasab mulia bahkan beliaulah sumber segala nasab
yang luhur karena beliau adalah manusia terbaik di muka bumi namun beliau tidak
menyombongkan diri dengan status tersebut. Beliau bersabda :
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ
Aku adalah pimpinan anak
Adam dan aku tidaklah sombong (dengan ucapan tersebut). [Ibnu Majah]
Allah swt menyuruh beliau
agar memperingatkan orang-orang terdekat dengan nasab beliau agar tidak
mencukupkan diri dengan nasab yang mulia. Allah SWT berfirman :
وَأَنْذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat [QS Asy-Syu’ara’ : 124]
Maka beliaupun memberikan
peringatan tersebut. Beliau bersabda : “Wahai orang Quraisy ..., Wahai Bani
‘Abdi Manaf ..., Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib ..., Wahai Shafiyah bibi
Rasulullah, selamatkanlah diri kalian sendiri karena aku tidak dapat menolong
kalian sedikit pun dari (adzab) Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah
padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat
menolongmu sedikit pun dari Allah.” [HR Bukhari].
Imam Nawawi berkata :
فَيَنْبَغِي
أَلَّا يَتَّكِلَ عَلَى شَرَفِ النَّسَبِ وَفَضِيْلَةِ الْآباَءِ وَيُقَصِّرُ فِي
الْعَمَلِ
Maka hendaknya seseorang
tidak mengandalkan kemuliaan nasab dan keutamaan nenek moyangnya namun ia
sembrono dalam beramal. [Syarah Muslim]
Imam Ghazali memberikan
analoginya, beliau berkata :
مَنْ
ظَنَّ أَنَّهُ يَنْجُو بِتَقْوَى أَبِيهِ كَمَنْ ظَنَّ أَنَّهُ يَشْبَعُ بِأَكْلِ
أَبِيهِ، وَيَرْوَى بِشُرْبِ أَبِيهِ، وَيَصِيرُ عَالِمًا بِعِلْمِ أَبِيهِ،
وَيَصِلُ إِلَى الْكَعْبَةِ وَيَرَاهَا بِمَشْيِ أَبِيهِ.
Barang siapa yang menyangka
bahwa ia akan selamat karena ketaqwaan ayahnya maka sama halnya ia menyangka
akan menjadi kenyang sebab ayahnya makan, merasakan segarnya badan sebab
ayahnya minum, menjadi alim sebab ilmu yang dimiliki ayahnya, dan mencapai
ka’bah serta melihatnya langsung sebab ayahnya pergi kesana. [Ihya Ulumuddin]
Maka nasab mulia tidak akan
berguna jika seseorang tidak beramal shalih sendiri. Lihatlah, tatkala Nabi Nuh
(sang ayah) ingin menyelamatkan anaknya (Kan’an) dan iapun menagih janji kepada
Allah yang akan menyelamatkan keluarganya. Nabi Nuh berkata :
رَبِّ
إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ
"Ya Tuhanku,
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janjimu adalah benar
... " [QS Hud : 45]
Lalu Allah SWT menjawab :
يَانُوحُ
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ
"Hai Nuh, sesungguhnya
dia (kan’an) bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya
perbuatan yang tidak baik. [QS Hud : 46]
Maka nasab yang mulia akan
sia-sia jika seseorang tidak beramal shalih, sebagaimana hadits utama di atas. Penyair
dalam bahar mutaqarib berkata :
وَمَا
يَنْفَعُ الْأَصْلُ مِنْ هَاشِمٍ * إِذَا كَانَتِ النَّفْسُ مِنْ بَاهِلَةْ
Percuma punya nenek moyang
dari Bani Hasyim jika (kelakuan) dirinya dari Bani Bahilah (Nama Qabilah yang terkenal
paling jelek di kalangan Arab) [Tafsir Ruhul Ma’any]
Namun jika seseorang yang
bernasab mulia dan ia juga beramal shalih maka nasabnya akan menjadi sarana untuk
mendapatkan derajat yang lebih tinggi. Ibnu Abbas RA berkata :
إِنَّ
اللهَ لَيَرْفَعُ ذُرِّيَّةَ الْمُؤْمِنِ فِي دَرَجَتِهِ، وَإِنْ كاَنُوا دُوْنَهُ
فِي الْعَمَلِ، لِتَقِرَّ بِهِمْ عَيْنُهُ
Sesungguhnya Allah akan
mengangkat derajat keturunan dari seorang mukmin kepada derajatnya (yang lebih
tinggi) meskipun keturunannya itu memiliki amal yang lebih sedikit atau rendah.
Hal ini supaya ia bahagia dengan berkumpul bersama anak cucunya. [Tafsir Ibni
Katsir]
Lantas ia membaca (ayat yang
menjadi dasar perkataannya) yaitu :
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
Dan orang-orang yang
beriman, dan yang anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka ... [QS At-Thur : 21]
Jadi nasab yang mulia akan
menambah kemuliaan bagi orang yang berprilaku mulia. Maka dari itu Nabi SAW
memuji Nabi Yusuf secara khusus dengan sabdaNya :
الْكَرِيمُ
ابْنُ الْكَرِيمِ ابْنِ الْكَرِيمِ ابْنِ الْكَرِيمِ يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ بْنِ
إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِمْ السَّلَام
Yang mulia, putra Yang
mulia, putra Yang mulia, putra Yang mulia, Yakni Yusuf putra Nabi Ya’kub, putra
Ishaq, putra Ibrahim Alayhimus Salam. [HR Bukhari]
Wallahu A’lam. Semoga Allah
Al-Bari membuka fikiran kita untuk tidak membangga-banggakan nasab yang mulia,
karena yang menjadikan mulia seseorang di sisi Allah adalah ketaqwaannya.
Salam
Satu Hadits
Dr.H.Fathul
Bari.,SS.,M.Ag
Pondok
Pesantren Wisata
AN-NUR
2 Malang Jatim
Ngaji
dan Belajar Berasa di tempat Wisata
Ayo
Mondok! Mondok Itu Keren!
NB.
“Ballighu
Anni Walau Ayah” Silahkan Share sebanyak-banyaknya kepada semua grup yang ada.
Al-Hafidz Ibnul Jawzi berkata : _Barang siapa yang ingin amalnya tidak terputus
setelah ia wafat maka sebarkanlah ilmu (agama)._ [At-Tadzkirah Wal Wa’dh]